Home » Ilmu Psikologi » Psikologi Perkembangan » Psikologi Perkembangan – Sejarah dan Tahapannya

Psikologi Perkembangan – Sejarah dan Tahapannya

by Khanza Savitra

Psikologi perkembangan merupakan cabang ilmu psikologi yang secara umum mempelajari tentang mengapa dan bagaimana seorang manusia mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Pada awal perkembangannya cabang ilmu ini lebih berfokus pada perkembangan bayi dan anak-anak, dan barulah kemudian diperluas kepada remaja, perkembangan menjadi dewasa, proses penuaan, dan akhirnya mencakup seluruh masa hidup manusia.

Baca juga:

Psikologi perkembangan mempelajari perubahan dalam tiga dimensi besar, yakni:

  • Perkembangan fisik.
  • Perkembangan kognitif.
  • Perkembangan sosio-emosional.

Ketiga dimensi ini sendiri mencakup beragam subyek pembahasan yang luas, seperti kemampuan motorik, fungsi eksekutif, pengertian moral, penguasaan bahasa, perubahan sosial, kepribadian, perkembangan emosional, konsep diri, dan pembentukan identitas.

Psikologi perkembangan mempelajari bagaimana alam dan pola pengasuhan mempengaruhi perkembangan seseorang, dan bagaimana proses perkembangan itu di dalam konteks dan seiring berjalannya waktu. Ada banyak penelitian diadakan untuk menyelidiki hubungan antara sifat-sifat dan perilaku seseorang dengan faktor-faktor lingkungan, termasuk di dalamnya konteks sosial dan lingkungan buatan (built environment).

Psikologi perkembangan mencakup beragam cabang ilmu, seperti psikologi pendidikan, psikopatologi anak, psikologi perkembangan forensik, perkembangan anak, psikologi kognitif, psikologi ekologi, dan psikologi kultural.

Baca juga:

Sejarah Psikologi Perkembangan

Ahli psikologi perkembangan yang terbilang berpengaruh di abad ke-20 antara lain adalah Urie Bronfenbrenner, Sigmund Freud, Erik Erikson, Jean Piaget, Esther Thelen, Barbara Rogoff, dan Lev Vygotsky. Namun, yang dipandang sebagai peletak dasar psikologi perkembangan modern adalah John Broadus Watson dan Jean Jacques Rousseau.

Pada pertengahan abad ke-18 Rousseau di dalam karyanya yang berjudul “Emile, ou de L’Education”, menggambarkan tiga tahap perkembangan di masa awal kehidupan, yakni masa bayi (infancy), masa kanak-kanak (childhood), dan masa remaja (adolescence). Pemikiran Rousseau pun banyak dipakai dan dijadikan referensi oleh praktisi pendidikan di kala itu.

Pada abad ke-19 kalangan psikolog yang mempercayai teori evolusi Darwin mulai mencari gambaran evolutif dari perkembangan psikologis, dan yang paling berpengaruh dari antara kalangan psikolog ini adalah Granville Stanley Hall.

Baca juga:

Tahapan Perkembangan Sigmun Freud & Erik Erikson

Sigmund Freud meyakini bahwa manusia memiliki tiga tingkat kesadaran mental, yakni kesadaran, pra-kesadaran, dan ketidaksadaran. Pada tingkat kesadaran, seseorang menyadari akan berlangsungnya proses mentalnya. Pada tingkat pra-kesadaran, informasi yang diperoleh dapat dibawa ke dalam kesadaran, sekalipun informasi tersebut tidak sedang tersimpan di dalam pikiran. Sedang tingkat ketidaksadaran seseorang mencakup proses mental yang tidak disadari orang tersebut.

Baca juga:

Freud meyakini adanya ketegangan antara kesadaran dan ketidaksadaran, karena kesadaran berusaha menahan apa yang ingin diekspresikan keluar oleh ketidaksadaran. Untuk menjelaskan hal ini, Freud menjabarkan tiga struktur kepribadian, yakni id, ego dan superego.

Id, yang paling primitif dari antara ketiganya, bekerja berdasarkan prinsip yang sederhana, yakni mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit. Superego berperan lebih kritis dan menonjolkan prinsip-prinsip moral. Ego adalah bagian yang realistis yang bertugas mengatur dan menengahi antara nafsu id dan moralitas superego.

Berdasarkan hal ini, Freud menjabarkan lima tahap perkembangan yang universal, yang didasarkan pada zona erogen yang merupakan sumber energi psikoseksual seorang anak. Kelima tahap itu ialah:

  • Tahap oral, yang berlangsung sejak lahir hingga usia 12 bulan. Pada tahap ini, dikatakan bahwa “libido bayi berpusat pada mulutnya”, karena bayi baru mampu menghisap.
  • Tahap anal, yang berlangsung sejak satu hingga tiga tahun. Pada tahap ini, bayi menggunakan anusnya sebagai saluran pembuangan.
  • Tahap falik, yang berlangsung sejak usia tiga hingga lima tahun. Ini adalah tahap terpenting, karena pada tahap inilah sebagian besar unsur kepribadian si anak mulai terbentuk. Di sini si anak mulai menyadari keberadaan organ-organ seksualnya.
  • Tahap latensi, yang berlangsung sejak usia lima tahun hingga masa pubertas. Selama tahap ini, minat seksual si anak seperti terpendam atau tertahan.
  • Tahap genital, yang berlangsung sejak masa pubertas hingga masa dewasa. Selama tahap inilah pubertas mulai terjadi.

Baca juga : psikologi pendidikan – psikologi cinta

Kemudian ada beberapa tahap – tahap perkembangan yang terjadi pada diri seseorang, diantaranya:

a. Tahapan Perkembangan Moral

Menurut Lawrence Kohlberg, proses perkembangan moral seseorang pada dasarnya berkaitan dengan prinsip-prinsip keadilan, dan hal itu berlangsung sepanjang umur hidup orang tersebut. Kohlberg menjabarkan adanya tiga tingkatan pertimbangan moral, yakni prakonvensional, konvensional, dan pasca-konvensional:

1. Pertimbangan moral prakonvensional, adalah khas anak-anak, yang menjadikan penghargaan dan hukuman untuk berbagai bentuk tindakan yang berbeda-beda sebagai dasar pertimbangan moralnya.
2. Pertimbangan moral konvensional, terjadi pada akhir masa kanak-kanak dan awal masa remaja, dan dicirikan oleh pertimbangan berdasarkan aturan dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
3. Pertimbangan moral pascakonvensional, terjadi pada tahap di mana seseorang memandang aturan dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat itu sebagai bersifat relatif dan subyektif, dan bukannya otoritatif atau mutlak untuk diikuti.

Dalam mengaplikasikan tiga tingkatan yang dijabarkannya itu, Kohlberg menggunakan “Dilema Heinz”, yakni sebuah contoh kasus yang terkenal tentang seorang bernama Heinz. Istrinya sedang sekarat karena kanker, sedang di lain pihak sudah dikembangkan suatu jenis obat yang diyakini sangat manjur untuk mengobati kanker, akan tetapi harganya sangat mahal. Karena tidak mempunyai cukup uang untuk membelinya, Heinz terpaksa mencurinya.

Baca juga: Konsep Diri Dalam Psikologi

b. Tahapan Perkembangan Psikososial

Erik Erikson dan Joan Erikson, pasangan psikolog Amerika asal Jerman, mengkonsepkan delapan tahap perkembangan psikososial, yang menurut pendapat mereka akan dilewati setiap individu yang sehat sejak masa bayi hingga masa dewasa. Pada setiap tahap, sang individu diperhadapkan pada tantangan-tantangan baru yang diharapkan dapat dia atasi dan kuasai. Kegagalan dalam mengatasi suatu tantangan pada tahap tertentu, mungkin saja menimbulkan masalah di kemudian hari.

Kedelapan tahap itu ialah:

1. Kepercayaan vs Ketidakpercayaan

Tahap ini terjadi pada masa bayi. Kebaikan terbesar yang dapat dicapai pada tahap ini adalah harapan, di mana si bayi belajar tentang siapa orang yang dapat dipercayai dan kelompok orang yang mana yang dapat diharapkan selalu ada untuknya.

Figur utama yang berperan dalam tahap ini adalah orang tua (atau figur seorang pengasuh). Kesan si anak terhadap dunia sekitarnya terwakili oleh perlakuan orang tua terhadap dirinya. Kegagalan orang tua dalam menyediakan kebutuhan dasarnya, seperti kehangatan, kenyamanan, maupun rasa aman, dapat menimbulkan pandangan tidak baik dari si anak terhadap dunia, yang diwarnai dengan kecurigaan, frustrasi dan cenderung menarik diri.

Baca juga:

2. Kemandirian vs Rasa Malu dan Keraguan

Tahap ini terjadi pada awal masa kanak-kanak, di mana si anak mulai belajar untuk lebih mandiri dengan menemukan apa kemampuan dan kepandaian yang dimilikinya. Pada tahap ini juga seorang anak mulai menemukan minat-minat awalnya. Kebaikan terbesar yang dapat dicapai pada tahap ini adalah kemauan.

Di lain pihak, seorang anak yang terlalu diatur dan dikendalikan akan cenderung tidak percaya diri dan kurang yakin akan kemampuan dirinya untuk melakukan segala sesuatu secara mandiri. Ini dapat mengantarkannya kepada harga diri yang rendah dan sifat peragu.

Disarankan agar orang tua memberinya lebih banyak kebebasan dan bahkan mendorongnya untuk mencoba hal-hal baru secara mandiri, namun perlu mengawasi dan menjauhkannya dari hal-hal yang berbahaya bagi kesehatan dan keamanan dirinya.

Baca :

3. Inisiatif vs Rasa Bersalah

Tahap ini terjadi pada usia bermain, dan kebaikan mendasar yang hendak dicapai pada tahap ini adalah tujuan. Ini adalah masa di mana si anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, banyak bertanya, dan banyak berinteraksi dengan anak-anak lainnya. Dia mulai belajar mengambil inisiatif dan melakukan hal-hal tertentu dengan tujuan yang jelas.

Di lain pihak, jika tujuannya tidak tercapai atau apa yang dilakukannya tidak membuahkan hasil yang diinginkan, dapat timbul rasa bersalah. Hal ini pada gilirannya dapat menghambat dan mempersulit si anak dalam berinteraksi dan bersosialisasi. Perilaku negatif seperti memukul, berteriak, ataupun berlaku kasar, juga mulai nampak pada tahap ini, sebagai buah frustrasinya atas kegagalan berinsiatif dan mengejar tujuannya.

Baca : Teori Belajar dalam Psikologi

4. Kompetensi vs Inferioritas

Tahap ini terjadi pada usia sekolah, dan kebaikan yang mendasar pada tahap ini adalah kompetensi. Ini adalah tahap di mana si anak berusaha untuk diterima oleh anak-anak lainnya, mencocokkan diri dengan kelompoknya, dan memahami nilai dari prestasi dan pencapaiannya. Si anak belajar untuk semakin mandiri, dan efek sampingnya dapat muncul dalam bentuk ketidakpatuhan atau melawan teguran.

Pada tahap ini juga si anak belajar kepandaian yang lebih kompleks, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Dengan belajar menghasilkan sesuatu, seperti menggambar atau mengerjakan hitungan, si anak belajar bertanggung jawab mengerjakan sesuatu hingga selesai.

Orang tua dan pendidik perlu berhati-hati agar tidak merendahkan dan menghukum si anak atas usahanya, agar tidak timbul perasaan inferior pada dirinya. Pastikan juga dia mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan dan mengembangkan minat dan bakatnya.

Baca Juga : Kode Etik Psikologi

5. Identitas vs Kebingungan akan Peran

Tahap ini terjadi pada usia remaja, dengan kebaikan mendasar yang dicapai adalah kesetiaan. Ini adalah tahap di mana si remaja mulai menemukan siapa dirinya di tengah-tengah masyarakat, dan peran seksual apa yang dipilihnya. Pada awalnya, seorang remaja akan mengalami kebingungan dalam menemukan identitas dan perannya, dan mencoba-coba berbagai macam aktivitas dalam proses pencarian itu.

Apa yang disebut Erikson sebagai “krisis identitas”, sebenarnya terjadi dalam setiap tahap, namun paling rentan terjadi pada tahap ini, karena di sinilah tahap transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Di sini terjadi kesenjangan antara pribadi yang sudah terbentuk (di masa lalu) dengan pribadi yang diharapkan (di masa depan), baik oleh diri sendiri maupun oleh masyarakat.

Baca juga:

6. Keintiman vs Keterisolasian

Tahap ini terjadi pada usia dewasa muda, dengan kebaikan mendasar yang hendak dicapai adalah cinta. Ini adalah tahap di mana seseorang mulai membagi kehidupan pribadinya dengan seseorang yang lain secara intim dan emosional. Tanpa melakukan hal ini, yang dapat terjadi adalah keterisolasian.

Pada awalnya, seorang dewasa muda yang sudah menemukan identitasnya pun masih ingin bertahan dan berbaur dengan teman-temannya, dan justru merasa terisolasi dengan adanya keintiman hubungan dengan seseorang. Namun, pada saatnya ia akan siap memasuki komitmen jangka panjang yang diperlukan oleh keintiman hubungan semacam itu.

7. Generativitas vs Stagnasi

Tahap ini terjadi pada usia dewasa, dan kebaikan yang dicapai di sini adalah perhatian atau kasih sayang. Pada tahap ini seseorang boleh dibilang sudah stabil dan mulai memberikan sumbangsih dengan cara membentuk dan memelihara keluarga serta ikut aktif di dalam masyarakat. Salah satu peran dalam tahap ini adalah membimbing generasi selanjutnya, dan bekerja dalam rangka ikut membentuk masyarakat yang lebih baik.

8. Integritas Ego vs Keputusasaan

Tahap ini terjadi pada orang dewasa yang sudah matang usianya, dan sudah memperoleh kebijaksanaan. Ini adalah masa di mana seseorang di dalam kematangan usianya mulai merenung dan mengkilas balik hidupnya beserta segala keberhasilan maupun kegagalan yang dialaminya selama jalan hidupnya. Ini adalah juga tahap di mana seseorang itu dapat memperoleh akhir yang damai dan menghadapi kematian tanpa rasa takut.

Baca juga:

C. Tahapan Perkembangan Kognitif

Menurut Jean Piaget, seorang anak belajar dengan cara mengkonstruksi pengetahuan yang didapatnya melalui pengalaman langsung. Piaget menganjurkan agar orang dewasa turut berperan dalam proses pembelajaran si anak dengan cara menyediakan bahan-bahan yang memadai yang dengannya si anak dapat berinteraksi, dan yang dapat digunakannya untuk proses mengkonstruksi tersebut.

Piaget menjabarkan adanya empat tahap dalam perkembangan kognitif seorang anak, yakni, sensorimotor, pra-operasional, operasional kongkrit, dan operasional formal. Keempat tahap ini tidak berdiri sendiri-sendiri atau terpisah satu dari yang lain, melainkan setiap tahap dibangun di atas tahap sebelumnya di dalam alur proses pembelajaran yang berkelanjutan, dan seorang anak harus menguasai setiap tahap sebelum melangkah ke tahap selanjutnya.

Baca juga:

D. Tahapan Sensorimotor

Tahap ini berlangsung sejak lahir hingga si anak mencapai tahap penguasaan berbahasa. Pada tahap ini si anak secara progresif mengkonstruksi pengetahuan dan pemahamannya akan dunia sekitarnya dengan cara mengkoordinasi antara pengalaman-pengalaman sensoriknya, misalnya apa yang dilihat maupun didengarnya, dengan interaksi fisiknya dengan obyek-obyek di sekitarnya, misalnya dengan mencengkeram, menghisap, maupun menginjak.

Si bayi memperoleh pengetahuannya mengenai dunia di sekitarnya melalui interaksi-interaksi fisik yang dilakukannya. Dari reaksi-reaksi yang bersifat refleks dan naluriah pada waktu kelahiran, si anak bergerak maju ke awal pikiran-pikiran simbolik pada akhir dari tahap ini.

Pada tahap ini si anak juga belajar mengenai keterpisahan dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Mereka dapat berpikir mengenai berbagai aspek di dalam lingkungannya, sekalipun aspek-aspek ini berada di luar jangkauan inderawi si anak.

Piaget menyebut fenomena ini sebagai permanensi obyek, yakni pemahaman oleh si anak bahwa suatu obyek akan terus ada atau eksis sekalipun ia tak dapat melihat atau mendengarnya. Pada akhir tahap sensorimotor ini, si anak sudah memiliki kesadaran yang permanen akan dirinya dan obyek-obyek di sekitarnya.

Baca:

E. Tahapan Pra-Operasional

Tahap kedua versi Piaget ini dimulai pada sekitar usia dua tahun ketika anak mulai belajar berbicara, dan berlangsung hingga usia tujuh tahun.

Pada masa ini si anak belum mampu memahami kogika yang kongkrit, dan juga belum mampu secara mental memanipulasi informasi. Si anak juga meningkat kemampuannya baik dalam bermain maupun berpura-pura dalam permainan yang dilakoninya. Namun, ia masih mengalami kesulitan memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda-beda. Pada masa ini, permainan si anak didominasi permainan simbolik dan memanipulasi simbol.

Misalnya, selembar kertas diperlakukan seperti piring, atau sebuah kotak dijadikan meja, atau contoh-contoh lain permainan dengan seolah-olah menggunakan suatu benda di mana benda yang sebenarnya tidak ada di situ.

Pada masa ini juga si anak mampu memikirkan konsep-konsep yang stabil maupun hal-hal yang ajaib atau berkaitan dengan sihir. Proses berpikir si anak pada tahap ini masih bersifat egosentrik, yang berarti ia masih sulit memandang sesuatu dari sudut pandang orang lain.

Tahap pra-operasional ini terbagi atas dua subtahap, yakni:

a. Subtahap fungsi simbolik

Si anak memiliki kemampuan untuk memahami, mengingat, dan menggambarkan suatu obyek di dalam pikirannya tanpa memandang obyek itu sendiri di depan matanya. Kemampuan si anak untuk berpikir dalam bentuk gambaran dan simbol di pikirannya juga nampak dari bentuk permainan yang dilakoninya, yang didominasi oleh teman khayalan atau bermain role-play dengan teman-temannya, yang ditentukan oleh kreativitas dan kemampuan si anak bersosialisasi dengan anak-anak lainnya.

Kualitas dan sifat-sifat permainan simbolik yang sering dilakoni si anak dapat membawa pengaruh yang signifikan bagi perkembangannya kemudian menuju ke usia dewasa. Bila permainan simbolik yang sering dimainkannya lebih banyak bersifat kekerasan, lebih besar kemungkinan si anak sesudah dewasa kelak menunjukkan sifat-sifat antisosial yang lebih dominan.

Salah satu keterbatasan yang masih ada pada tahap ini ialah egosentrisme, di mana si anak cenderung untuk terus berpegang pada sudut pandangnya sendiri, dan sulit untuk melihat sesuatu hal dari sudut pandang orang lain. Ia bahkan mungkin tidak mengetahui bahwa ada sudut pandang yang lain itu.

Keterbatasan lainnya pada tahap ini adalah pemikiran prakausal, yang mengacu kepada cara si anak menjelaskan hubungan sebab akibat. Ada empat macam pemikiran prakausal pada tahap ini, yaitu:

1. Animisme

Keyakinan si anak bahwa benda-benda mati dapat melakukan hal-hal sebagaimana halnya makhluk hidup. Misalnya, si anak meyakini bahwa batu-batu di jalan itu jahat karena menyebabkan dia jatuh di saat berjalan; atau, dia meyakini bahwa bintang-bintang di langit itu berkelap-kelip karena mereka sedang bergembira.

2. Artifisialisme

Keyakinan si anak bahwa fenomena yang dilihatnya di alam berhubungan dengan aktivitas atau perbuatan manusia. Misalnya, dia meyakini bahwa angin berhembus karena ada seseorang yang meniup dengan sangat kuat; atau dia meyakini bahwa awan berwarna putih karena ada orang yang mengecatnya dengan warna itu.

c. Subtahap Pemikiran Transduktif

Si anak gagal memahami hubungan sebab akibat yang wajar dan logis. Di dalam pemikirannya dia menghubungkan dua kejadian yang sejatinya terpisah dan tidak berhubungan sama sekali, sebagai memiliki hubungan sebab akibat. Misalnya, dia berkesimpulan bahwa gonggongan anjing menyebabkan balonnya pecah, oleh karena dia mengalami kedua kejadian itu secara berturut-turut.

b. Subtahap Pikiran Intuitif

Si anak sering mengajukan pertanyaan “mengapa?” dan “bagaimana?”, mengindikasikan keingintahuan si anak untuk memahami segala hal, dan untuk mengetahui alasan mengapa sesuatu terjadi. Hal ini umumnya terjadi pada usia 4 hingga 7 tahun.

F. Tahapan Operasional Kongkrit

Tahap ini terjadi antara usia 7 dan 11 tahun, yang juga disebut usia pra-remaja. Pada tahap ini si anak mulai mampu berpikir logis dan menggunakan logika untuk memecahkan masalah. Namun, si anak belum mampu berpikir secara abstrak dan hipotetis, dan baru mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan kejadian maupun obyek yang kongkrit.

Pada tahap ini juga si anak mulai mampu berpikir induktif, yakni menarik kesimpulan dari pengamatan untuk membuat sebuah generalisasi. Di lain pihak, ia masih sulit berpikir deduktif, yakni menggunakan sebuah prinsip umum untuk memprediksi hasil akhir dari suatu kejadian yang spesifik.

Selain logika, perkembangan yang penting pada tahap ini adalah berkurangnya egosentrisme. Si anak mulai mampu memandang sesuatu dari sudut pandang orang lain, sekalipun ia berpendapat bahwa sudut pandang itu keliru.

G. Tahapan Operasional Formal

Tahap ini terjadi pada usia remaja dan menjelang usia dewasa, mulai kira-kira usia 11 hingga 15-20 tahun. Pada tahap ini kecerdasan intelektual seseorang dicirikan oleh penggunaan simbol-simbol secara logis sambil mengaitkannya dengan konsep-konsep yang bersifat abstrak.

Bentuk pemikiran semacam ini mencakup juga “mengasumsikan hal-hal yang terkadang tidak ada hubungannya dengan kenyataan yang sebenarnya.” Pada tahap ini juga seseorang sudah mulai mampu berpikir secara hipotetik dan deduktif, dan memikirkan konsep-konsep yang abstrak.

Ciri terpenting dari tahap operasional formal ini, menurut Piaget, adalah kemampuan “berpikir hipotetik-deduktif” ini, yang mencakup kemampuan memikirkan “bagaimana jika” yang sifatnya hipotetik. Ciri lain dari tahap ini adalah kemampuan berpikir sistematis dan metodik untuk memecahkan suatu masalah, meninggalkan cara pemecahan masalah dari masa kanak-kanak yang cenderung bersifat coba-coba (trial and error).

Meskipun demikian, riset menunjukkan bahwa tidak semua orang dari setiap lingkup budaya mencapai tahap operasional formal ini, dan kebanyakan orang bahkan tidak mempergunakan cara berpikir operasional formal dalam semua aspek kehidupan mereka.

Baca juga: Kepribadian Ganda

Demikian ulasan lengkap tentang Psikologi Perkembangan dan Tahapannya.

You may also like