Home » Ilmu Psikologi » Psikologi Faal » Psikologi Faal – Sejarah, Pengertian dan Kajiannya

Psikologi Faal – Sejarah, Pengertian dan Kajiannya

by Khanza Savitra

Psikologi faal (physiological psychology) adalah salah satu cabang ilmu psikologi yang berfokus pada perilaku manusia. Psikologi faal dalam kaitannya dengan segi fisiologis manusia. Dengan kata lain, psikologi faal adalah gabungan antara psikologi dan fisiologi.

Ilmu ini khususnya mempelajari fungsi dan respon otak dan organ-organ tubuh terhadap perilaku tertentu, misalnya stress, marah, gembira, dsb. Penelitian membuktikan bahwa stress yang dialami seseorang (fenomena psikis) dapat menimbulkan atau memperparah penyakit (fenomena fisiologis) pada orang tersebut. Baca juga: Antropologi

Tentang Psikologi Faal

Kemudian, psikologi faal ini mengandalkan pendekatan empiris dan praktis dalam mempelajari otak dan perilaku manusia. Para ahli psikologi faal umumnya mempercayai bahwa pikiran manusia merupakan fenomena yang berakar dari sistem syaraf. Sehingga, dengan memahami mekanisme sistem syaraf, dapat diungkapkan banyak hal berkaitan dengan perilaku manusia.

Psikologi sendiri pada mulanya muncul pada abad ke-19 sebagai bagian dari ilmu faal. Sedangkan, pemikiran filosofis yang menyoroti perilaku manusia sudah mulai berkembang pada zaman peradaban kuno Mesir, Persia, Yunani, Cina dan India.

Hingga tahun 1870-an, psikologi dianggap sebagai bagian dari ilmu filsafat. Sejak masa itulah psikologi mulai berkembang di Jerman dan Amerika Serikat sebagai disiplin ilmu yang berdiri tersendiri. Pda tahun 1879 di Leipzig, Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium pertama yang dikhususkan bagi penelitian bidang psikologi, dan pada tahun 1890, Lightner Witmer mendirikan klinik psikologi yang pertama di dunia.

Baca juga : Cabang – Cabang Psikologi

Sejarah Psikologi Faal

Sejak sejuta tahun lalu, manusia sudah memberi perhatian khusus kepada otak, dan mengetahui bahwa kerusakan pada otak dapat berujung kematian. Bahkan pada zaman Neolitik, sekitar tahun 7000 sM, telah diadakan pembedahan otak yang pertama.

Hippocrates (470-410 SM), melalui penelitiannya terhadap para gladiator yang menderita kerusakan otak, menemukan bahwa otak adalah sumber segala perasaan gembira, kesenangan, kesedihan dll. Begitu pula Plato (447-327 sM), berpendapat bahwa kedudukan pikiran adalah di otak. Akan tetapi muridnya, Aristoteles (384-322 sM), berpendapat bahwa pikiran terletak di dalam hati, sedang otak dianggapnya hanya seperti “radiator” untuk mendinginkan darah.

Baca juga: Psikologi Sastra

Sejalan dengan Plato, Rene Descartes (1596-1650) berpendapat bahwa di dalam pikiranlah tersimpan gagasan-gagasan manusia. Descartes mengemukakan teorinya yang terkenal, yakni “Keterpisahan Tubuh dan Pikiran” (Mind-Body Distinction), yang menyatakan bahwa tubuh dan pikiran itu terpisah karena sifatnya yang sama sekali berbeda satu sama lain. Sebagai implikasinya, yang satu dapat saja ada (eksis) tanpa keberadaan yang lain. Ia juga menjelaskan bahwa gerak refleks disebabkan aliran “roh” ke dalam otot-otot dan menjadikannya berkontraksi.

Pengertian Psikologi Faal menurut Ahli

Francis Bacon (1561-1626), yang dikenal sebagai “Bapak Empirisisme”, berpendapat bahwa pada dasarnya “pengetahuan diperoleh dari pengalaman”, terutama pengalaman inderawi. Empirisisme menyatakan bahwa teori dan hipotesa harus diuji melalui pengamatan dan eksperimen. Dengan demikian, Bacon menolak rasionalisme yang semata-mata berpegang pada penalaran (reasoning ) sebagai jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Metode induktif, yakni metode yang menggunakan bukti empirik yang spesifik untuk sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum, harus diutamakan sebagai metode sains.

Kemudian, Charles Bell (1774-1842) dan Francois Magendie (1783-1855) adalah dua tokoh yang untuk pertama kali menemukan keberadaan syaraf sensorik dan syaraf motorik pada tubuh manusia. Syaraf sensorik berfungsi mengirimkan informasi sensorik dari seluruh tubuh berupa impuls ke sistem syaraf pusat. Sebaliknya, syaraf motorik bertugas membawa impuls motorik dari sistem syaraf pusat ke otot-otot tubuh, sehingga menimbulkan reaksi atau gerakan tertentu dari anggota tubuh. Baca juga: Psikologi pendidikan

Wilhelm Wundt (1832-1920) berpendapat akan adanya ‘aliansi antara dua bidang ilmu’, yakni fisiologi dan psikologi. Dengan adanya aliansi ini, secara metodologis berarti alat atau teknik pengukuran dalam bidang fisiologi diterapkan kepada bidang psikologi. Wundt menamakan bidang ilmu temuannya ini ‘psikologi eksperimental’.

Ada pula Johannes Mueller (1801-1858) dengan “Hukum Energi Spesifik” (Law of Specific Energies), menyatakan bahwa jenis persepsi inderawi yang diterima bergantung kepada reseptor yang mengirimkan informasi sensorik itu. Kemudian persepsi inderawi tersebut tidak bergantung kepada sumber rangsangan tersebut. Oleh karena itu, perbedaan persepsi yang diterima oleh indera dengar, pandang atau sentuh tidak disebabkan oleh sumber rangsang itu sendiri, melainkan oleh perbedaan struktur syaraf yang dirangsang olehnya.

Lalu, Marshall Hall (1790-1857) dalam penelitiannya tentang gerak refleks, menyatakan bahwa setiap gerak refleks yang terjadi dipengaruhi hanya oleh syaraf tulang punggung (spinal cord) dan tidak oleh otak. Sehingga terjadi gerak yang tidak disadari. Baca juga: Psikologi Keluarga

Mengenai pendefinisian gerak refleks ini timbul kontroversi antara Pfluger dan Lotze. Menurut Pfluger, refleks bermanfaat bagi organisme, sehingga merupakan gerakan yang disadari. Sedang Lotze berpendapat, walaupun bermanfaat tapi refleks tidak berfungsi dalam situasi baru yang belum pernah dihadapi oleh organisme. Menurut Lotze, dalam setiap situasi yang baru bagi organisme tersebut, gerakan yang disadari adalah cara organisme menyesuaikan diri dengan situasi baru itu.

Sumber kontroversi ini adalah pendefinisian kesadaran. Menurut Hall dan Lotze, otak adalah satu-satunya sumber kesadaran, sedang menurut Pfluger, kesadaran diatur oleh seluruh sistem syaraf. Definisi oleh Hall dan Lotze lebih dapat diterima dalam kerangka perkembangan ilmu faal dan psikologi di waktu kemudian, karena dalam perkembangannya gerak refleks menjadi subyek pengkajian ilmu faal, sedang psikologi berfokus pada gerakan yang disadari.

Baca juga: Psikologi Sosial

Kajian 1 : Biopsikologi

Biopsikologi (disebut juga behavioral neuroscience) merupakan ilmu yang mempelajari perilaku manusia melalui pendekatan biologis atau fisiologis. Dengan kata lain, biopsikologi menerapkan prinsip-prinsip biologi pada studi tentang mekanisme perilaku manusia dari sudut fisiologis, genetis, dan perkembangan.

Secara khusus biopsikologi mengkaji bagaimana cara kerja otak dan neurotransmiter mempengaruhi perilaku, pikiran dan perasaan manusia. Neurotransmiter merupakan senyawa organik seperti asam amino, monoamina, dll., yang menghantar sinyal antar neuron, yang memungkinkan terkirimnya pesan-pesan kimiawi dari otak ke bagian-bagian tubuh, dan sebaliknya.

Baca juga: Psikologi Kognitif

Walau kajian atas perilaku manusia (ilmu psikologi) telah melalui sejarah yang panjang, namun biopsikologi sendiri sebagai salah satu cabang disiplin ilmu neurosains baru mulai berkembang pada abad ke-20. Jurnal ilmiah karya D. O. Hebb berjudul The Organization of Behavior yang terbit pada tahun 1949 dipandang sebagai tonggak dan asal-mula berkembangnya biopsikologi.

Kemudian. di dalamnya Hebb mengemukakan teori bahwa fenomena psikologis yang rumit seperti persepsi, emosi, pikiran dan ingatan mungkin bersumber dari aktivitas otak. Ia membantah anggapan yang sebelumnya berlaku umum bahwa fungsi-fungsi psikologis itu terlalu rumit untuk dikaitkan dengan faktor-faktor fisiologis dan kimiawi otak. Hebb mendasarkan teorinya pada hasil-hasil percobaan laboratorium atas manusia maupun hewan, berbagai studi kasus klinis, dan pengamatan pribadinya atas kehidupan sehari-hari.

Baca juga: Psikologi Abnormal

Kajian Biopsikologi

Boleh dibilang biopsikologi merupakan kombinasi antara psikologi dasar dan neurosains. Biopsikologi adalah disiplin ilmu yang integratif, yang menggabungkan hasil-hasil kajian berbagai cabang neurosains, seperti neuroanatomi, neuropatologi, neuroendokrinologi dll., dan menerapkannya pada studi tentang perilaku manusia.

Sebagaimana seseorang mewarisi sifat-sifat genetis dari orang tua, kakek nenek, bahkan dari leluhurnya yang terdahulu, yang nampak dari ciri-ciri fisiknya yang khas, begitu juga sifat dan tingkah lakunya yang khas juga dapat merupakan warisan genetis. Entah itu sifat pendiam, dominan, ekstrovert dsb., itu dapat merupakan sifat bawaan lahir, dan bukan berkembang dalam dirinya melalui pengalaman.

Dari segi obyek material, biologi sama dengan psikologi, karena sama-sama mempelajari manusia. Perbedaan terletak pada segi obyek formal. Pada biologi, obyek formalnya adalah tubuh jasmaniah manusia, sedangkan pada psikologi obyek formalnya adalah perilaku manusia itu.

Kemudian, dalam memahami biopsikologi, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai proses-proses biologis, anatomis, dan fisiologis. Pemahaman ini mencakup tiga komponen utama yaitu otak, susunan syaraf dan neurotransmiter.

Baca juga: Psikologi Industri

Otak dan Susunan Syaraf

Susunan syaraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Bagian terluar otak, yang dikenal sebagai cerebral cortex, berperan dalam fungsi-fungsi kognitif, penginderaan, kemampuan motorik, dan emosi.

Sistem Syaraf Tepi (Periferal)

Bertempat di dalam tengkorak dan tulang belakang, Sistem syaraf ini terbagi atas 2 bagian:

1. Sistem Syaraf Somatik, yang berfungsi mengontrol dan menggerakkan otot-otot skeletal dengan cara mentransmisi sinyal-sinyal sensorik atau motorik dari otot-otot dan indera ke sistem syaraf pusat, dan sebaliknya.
2. Sistem Syaraf Otonom, yang berfungsi mengontrol proses-proses dalam tubuh yang berjalan otomatis, seperti detak jantung, pernafasan, dan tekanan darah, dengan cara mengirimkan al sinyal-sinyal sensorik atau motorik dari sistem syaraf pusat ke organ-organ dalam tubuh, dan sebaliknya.

Baca juga: Psikologi Anak

Neurotransmiter

Ada bermacam-macam tipe neurotransmiter yang mempengaruhi tubuh dengan cara yang berbeda-beda. Misalnya, neurotransmiter dopamine yang mempengaruhi pergerakan tubuh dan proses belajar. Kelebihan kadar dopamine sering dikaitkan dengan gangguan psikologis seperti skizofrenia, sementara kekurangan dopamine dikaitkan dengan penyakit semacam Parkinson.

Obyek Manusia dan Non-Manusia

Sebagai obyek studi, manusia memiliki kelebihan yaitu ia dapat dengan menjalankan dengan setepat-tepatnya instruksi yang diberikan dalam rangka penelitian, dan ia juga dapat menceritakan pengalaman subyektif yang dialaminya. Namun terdapat juga kekurangan, yaitu dari segi etika, ada batas-batas etis tertentu yang tak dapat dilanggar dalam menjadikan manusia sebagai obyek penelitian.

Baca juga: Psikologi Forensik

Di lain pihak, obyek studi non-manusia pun memiliki keuntungan. Pada umumnya, obyek non-manusia lebih sederhana dalam hal perilaku maupun struktur otak. Dengan demikian, dari hasil penelitian atas obyek tipe ini seringkali lebih mudah mengambil kesimpulan yang fundamental tentang hubungan antara otak dan perilaku.

Keuntungan kedua adalah pendekatan komparatif, di mana hasil penelitian atas berbagai spesies obyek non-manusia yang berbeda-beda dibandingkan satu sama lain. Misalnya, dari hasil penelitian atas species yang memiliki cerebral cortex dibandingkan dengan species yang tidak memilikinya, dapat diperoleh informasi yang berharga mengenai fungsi kortikal otak. Keuntungan ketiga adalah dari segi etika, di mana batasan-batasan etis penelitian terhadap obyek non-manusia lebih sedikit (walaupun tetap ada), sehingga cakupan penelitian dapat lebih diperluas.

Baca juga: Kode etik psikologi

 Eksperimen dan Non-Eksperimen

Penelitian biopsikologi mencakup eksperimen dan non-eksperimen. Metode non-eksperimen sendiri terbagi dua, yaitu studi kuasi-eksperimental dan studi kasus. Mari kita kaji satu demi satu:

1. Eksperimen

Dalam meneliti obyek hidup, yang pertama kali dilakukan oleh peneliti adalah mendesain dua kondisi atau lebih di dalam mana obyek itu kemudian diteliti. Dalam tiap kondisi dapat dimasukkan kelompok obyek yang sama ataupun berbeda.

Selanjutnya obyek diberi perlakuan-perlakuan tertentu, dan hasilnya diukur, sedemikian rupa sehingga hanya ada satu perbedaan yang relevan di antara kondisi-kondisi yang diperbandingkan itu. Perbedaan itu disebut variabel bebas (independent variable).

Efek dari variabel bebas ini diteliti untuk mendapatkan variabel terikat (dependent variable). Jika penelitian itu dilakukan dengan benar, perbedaan antara variabel-variabel terikat itu di dalam kondisi-kondisi yang berbeda-beda pastilah disebabkan oleh variabel bebas tadi.

Kemudian, penting untuk memastikan tidak ada perbedaan apa pun antara kondisi-kondisi dimaksud, selain variabel bebas itu. Jika terdapat lebih dari satu perbedaan yang dapat mempengaruhi variabel terikat, maka sulit memastikan apakah itu adalah variabel bebas atau perbedaan yang tidak disengaja, yang disebut variable tercampur-aduk (confounded variable).Walau metode eksperimental ini pada dasarnya sederhana, akan menjadi sangat sulit untuk menghilangkan semua variabel tercampur-aduk ini.

Baca juga: Psikologi Keperawatan

2. Studi Kuasi-Eksperimental

Dalam situasi tertentu, terkadang tidak mungkin metode eksperimental ini dijalankan. Hal-hal yang membatasi, misalnya adalah batasan etis. Sebagai contoh, meneliti tingkat kerusakan otak akibat konsumsi alkohol selama bertahun-tahun. Sangatlah tidak etis menempatkan subyek penelitian dalam “kondisi” mengkonsumsi alkohol, apalagi sampai bertahun-tahun, demi mendapatkan hasil penelitian yang diinginkan. Sebagai gantinya dijalankan metode kuasi-eksperimental, di mana subyek yang diteliti memang sudah ada di dalam kondisi demikian di dalam kehidupan nyata.

Resiko metode ini adalah besarnya kemungkinan munculnya variabel tercampur-aduk yang tidak terkontrol. Dalam contoh di atas, walau sudah dibentuk 2 kelompok yang memisahkan antara pengkonsumsi alkohol dan yang tidak, tak dapat dipastikan bahwa tak terdapat faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi tingkat kerusakan otak di dalam 2 kelompok tersebut.

Pengalaman menunjukkan, pengkonsumsi alkohol cenderung lebih rendah tingkat pendidikannya, lebih berisiko mengalami cidera di kepala, lebih berisiko mengkonsumsi obat-obatan lainya, dan asupan gizinya cenderung lebih buruk. Semua faktor ini dapat turut berperan, sebagai variabel tercampur-aduk. Dengan demikian, metode ini dapat membuktikan tingkat kerusakan otak yang lebih tinggi pada pengkonsumsi alkohol, tapi tak dapat menunjukkan apa penyebabnya.

Baca juga: Psikologi Abnormal

3. Studi Kasus

Metode ini digunakan untuk meneliti satu kasus saja secara mendalam. Keuntungan metode ini adalah hasil yang lebih mendalam yang dapat diperoleh darinya. Namun kekurangannya adalah: sulit menerapkan secara langsung hasil-hasil itu pada kasus-kasus lainnya. Fungsi otak dan perilaku manusia itu berbeda yang satu dari yang lainnya, sehingga perlu kehati-hatian menyikapi teori-teori dalam biopsikologi yang disimpulkan lewat beberapa studi kasus saja.

4. Riset Murni dan Terapan

Ditinjau dari sebutannya, riset murni pada dasarnya ditujukan untuk sekadar “memenuhi rasa ingin tahu” sang periset, atau untuk menambah pengetahuan, sedang riset murni lebih ditujukan untuk memberi manfaat praktis bagi kemanusiaan. Namun tidak selamanya semua riset dapat digolongkan dengan tajam ke dalam salah satu dari kedua tipe ini, karena ada banyak program penelitian yang menggunakan pendekatan dari kedua tipe riset tersebut.

Baca juga: psikologi konseling

Kajian 2 : Fisiologi

Fisiologi (atau disebut juga ilmu faal) merupakan suatu ilmu tentang sistem penunjang kehidupan. Fisiologi sebagai bidang ilmu yang cukup luas, terbagi lagi atas beberapa disiplin ilmu, yakni fisiologi hewan (termasuk di dalamnya manusia), fisiologi tumbuhan, fisiologi sel, fisiologi mikrobial, fisiologi bakterial, dan fisiologi viral. Khusus fisiologi manusia, fokusnya adalah pada sistem organ dan jaringan tubuh manusia, yang mencakup otak, jantung, sistem syaraf, sampai ke sistem sel.

Sel merupakan unit dasar kehidupan. Tubuh manusia dibentuk oleh sebanyak kurang lebih 100 bilyun sel, masing-masing dengan satu atau lebih fungsinya yang khusus. Namun, semua sel memiliki beberapa kesamaan, di antaranya: semua sel melepas energi melalui reaksi antara oksigen dengan karbohidrat, lemak dan protein; semua sel menjalankan mekanisme penyerapan nutrisi dan pelepasan energi yang sama; dan (hampir) semua sel memiliki kemampuan reproduksi.

Sekitar 60% tubuh manusia terdiri dari cairan, dan sekitar dua pertiga dari cairan itu tersimpan di dalam sel (intracellular), sedang sepertiganya berada di luarnya (extracellular).

Baca juga: Psikologi Sosial

Tokoh-tokoh Penting dalam Fisiologi

Sebagai disiplin ilmu, fisiologi manusia sudah ada setidaknya sejak tahun 420 sM, yakni pada zaman Hipocrates, yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran. Teorinya yang terkenal menguraikan tentang Empat Unsur yang membentuk tubuh manusia. Ketidakseimbangan antara Empat Unsur ini dalam tubuh seseorang akan menyebabkan orang itu menderita gangguan temperamental dan juga penyakit.

Teori Hipokrates ini begitu berpengaruh, dipercaya dan dijadikan pedoman oleh para praktisi medis bukan saja di dunia Yunani Kuno, tetapi juga Romawi Kuno, dan para cendekiawan di dunia Islam. Baru pada abad ke-19, dengan berkembangnya ilmu kedokteran modern, teori ini mulai ditinggalkan.

Pada tahun 1838, tampillah Matthias Schleiden dan Theodor Schwann dengan Teori Sel, yang menyatakan bahwa tubuh manusia tersusun atas unit-unit yang sangat kecil yang dinamakan sel. Pada tahun 1854, Claude Bernard tampil dengan konsep milieu interieur (lingkungan internal) yang kemudian dikembangkan oleh Walter B. Cannon pada tahun 1929 menjadi konsep homeostasis, yaitu kemampuan tubuh untuk mengatur dan memelihara kestabilan sistem dalam tubuh itu beserta proses-proses fisiologisnya.

Memasuki abad ke-20, para ahli biologi mulai mengembangkan studi mereka kepada fungsi-fungsi fisiologis pada organisme di luar manusia. Dari sinilah muncul cabang-cabang baru fisiologi, seperti fisiologi komparatif dan ekofisiologi, yang memunculkan nama-nama seperti Knut Schmidt-Nielsen dan George Bartholomew yang berperan penting dalam mengembangkannya. Dari cabang-cabang baru yang muncul kemudian, yang paling mutakhir adalah fisiologi evolusi.

Baca juga: Psikologi Kepribadian

Proses Kehidupan Psikis (Intensionalitan) dalam Psikologi Faal

Ada tiga aspek proses kehidupan psikis dalam psikologi faal, yakni:

1. Kognitif

Aspek ini bersifat persepsi, pemikiran, kreativitas, pemecahan masalah, dsb. Misalnya, Anda melihat sesuatu dan menggambarkannya dengan jelas di pikiran (melihat ular, dsb), atau Anda melihat sesuatu tapi kemudian membayangkan sesuatu yang lain, yang tidak sesuai kenyataanya (seperti melihat sesuatu yang dikira hantu).

2. Emosional

Aspek ini bersifat afektif, perasaan, emosi, yang menyertai pengenalan. Anda melihat atau mengalami sesuatu, lalu timbul emosi-emosi tertentu. Misalnya, Anda melihat kecelakaan lalu-lintas, lalu timbul rasa ngeri. Atau Anda melihat suatu pemandangan indah, lalu timbul rasa kagum akan kebesaran Tuhan.

3. Konatif

Aspek ini mencakup kehendak, nafsu, kemauan, karsa, dsb. Hal-hal ini mendorong seseorang pada suatu ‘tujuan’, dan itu menjadi motivasi bagi dirinya untuk berbuat sesuatu. Pada seseorang yang sehat mentalnya, ketiga aspek ini akan berjalan secara harmonis dan seimbang. Ketidakseimbangan atau ketidakharmonisan antara pikiran, perasaan, dan kehendak, adalah gejala sakit mental. Misalnya, seseorang yang sudah memahami bahaya merokok bagi kesehatan, tapi masih saja merokok.

Baca juga : Psikologi Pendidikan

You may also like