Home » Ilmu Psikologi » Kode Etik Psikologi – Hukum dan Penjelasannya

Kode Etik Psikologi – Hukum dan Penjelasannya

by Ina

Kode etik psikologi merupakan dasar perlindungan dari nilai – nilai yang diterapkan. Kode etik bertujuan untuk menjamin kesejahteraan umat manusia dan memberikan perlindungan terhadap layanan masyarakat terkait praktek layanan psikologi.

Pemikiran tersebut yang kemudian dirumuskan menjadi Kode Etik Psikologi yang dinilai merupakan kumpulan nilai – nilai untuk dipatuhi dalam semua kegiatan psikologi oleh psikolog atau ilmuwan psikologi yang berlangsung di Indonesia. Kode etik psikologi ini diumumkan secara resmi oleh HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia). Berikut ini merupakan kode etik psikologi berdasarkan HIMPSI.

Baca juga: Cabang – Cabang Psikologi

Pengertian Kode Etik Psikologi

  • Kode Etik menuruk Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan norma atau nilai nilai yang diterima oleh suatu kelompok sebagai landasan dalam bertingkah laku.

Kode etik psikologi pada hakekatnya mengandung nilai moral yang bersifat umum dan menyeluruh dan disusun dengan memperhatikan aturan internasional.

Baca juga: Antropologi

Fungsi Kode Etik Psikologi

Kode etik berfungsi sebagai landasan perlindungan dan pengembangan sebuah profesi. Menurut Gibson kode etik menjadi pedoman pelaksanaan tugas secara profesional bagi masyarakat. Biggs dan Blocker mengungkapkan fungsi kode etik dibagi menjadi tiga yaitu :

  1. Melindungi suatu profesi (Psikologi).
  2. Mencegah perdebatan atau pertentangn internal dalam profesi.
  3. Melindungi pelaksana profesi dari kesalahan praktik psikologi.

Baca juga: Psikologi Pendidikan

I. Pedoman Umum

Pasal 1

  • Kode Etik psikologi adalah seperangkat nilai nilai untuk ditaati dan dijalankan dengan sebaik – baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai psikolog dan ilmuwan psikologi di Indonesia.
  • Psikologi merupakan ilmu yang berfokus pada perilaku dan proses mental yang melatarbelakangi, serta penerapan dalam kehidupan manusia. Ahli, dalam ilmu psikologi dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu profesi atau berkaitan dengan praktek psikologi dan ilmu psikologi termasuk dalam hal ini ilmu murni atau terapan.
  • Psikolog adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik psikologi dengan latar belakang S1 dan S2. Psikolog memiliki kewenangan memberikan layanan psikologi meliputi konseling, penelitian, pengajaran, supervisi, layanan masyarakat. Dan juga pengembangan kebijakan, intervensi, pengembangan instrumen asesmen psikologi, dan lainnya dan diwajibkan memiliki izin praktik psikologi sesuai ketentuan.

Pasal 2: Prinsip Umum

  • Prinsip A : Penghormatan pada harkat martabat Manusia
  • Prinsip B : Integritas dan Sikap Ilmiah
  • Prinsip C : Profesional
  • Prinsip D : Keadilan
  • Prinsip E : Manfaat

Baca juga: Psikologi Abnormal

II. Mengatasi Isu Etika

Pasal 3 : Majelis Psikologi Indonesia

Majelis psikologi adalah penyelenggara organisasi yang memberikan pertimbangan etis, normatif maupun keorganisasian dalam kaitan dengan profesi psikologi baik sebagai ilmuwan maupun praktik psikologi kepada anggota maupun organisasi.

Pasal 4 : Penyalahgunaan di Bidang Psikologi

Pelanggaran kode etik psikologi adalah segala tindakan Psikolog dan atau ilmuwan Psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang telah dirumuskan dalam koode etik psikologi Indonesia. Hal ini termasuk adalah pelanggaran oleh psikolog terhadap sumpah profesi, praktik psikologi yang dilakukan oleh mereka yang bukan psikolog, atau psikolog yang tidak memiliki ijin praktik, serta layanan psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.

1. Pelanggaran ringan

Tindakan yang dilakukan oleh seorang psikolog atau ilmuwan psikologi yang tidak dalam kondisi sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, sehingga mengakibatkan kerugian bagi salah satu dari berikut ini: (1) ilmu psikologi; (2) profesi psikologi; (3) pengguna jasa layanan psikologi; (4) individu yang melakukan pemeriksaan; (5) pihak pihak yang terkait.

2. Pelanggaran Sedang

Tindakan yang dilakukan oleh psikolog atau ilmuwan psikolog karena kelalaiannya dalam melaksanakan proses maupun penanganan yang tidak sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan mengakibatkan kerugian bagi : (1) ilmu psikologi; (2) profesi psikologi; (3) pengguna jasa layanan psikologi; (4) individu yang melakukan pemeriksaan; (5) pihak pihak yang terkait.

3. Pelanggaran Berat

Tindakan yang sengaja dilakukan oleh psikolog atau ilmuwan psikolog yang secara sengaja memanipulasi tujuan, proses maupun hasil yang mengakibatkan kerugian pada : (1) ilmu psikologi; (2) profesi psikologi; (3) pengguna jasa layanan psikologi; (4) individu yang melakukan pemeriksaan; (5) pihak pihak yang terkait.

Baca juga: Psikologi Industri

Pasal 5 : Penyelesaian Isu Etika

(1) Apabila tanggung jawab etika psikologi bertentangan dengan peraturan hukum, hukum pemerintah atau peraturan lainnya, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menunjukkan komitmennya terhadap kode. Etik akan melakukan langkah-langkah untuk penyelesaian konflik sesuai dengan yang diatur dalam Kode Etik Psikologi Indonesia. Kemudian, apabila konflik tidak dapat diselesaikan dengan cara tersebut, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi diharapkan patuh terhadap tuntutan hukum, peraturan atau otoritas hukum lainnya yang berlaku.

(2) Apabila tuntutan organisasi dimana Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berafiliasi atau bekerja bertentangan dengan Kode Etik Psikologi Indonesia, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menjelaskan sifat dan jenis konflik, memberitahu komitmennya terhadap kode etik dan jika memungkinkan menyelesaikan konflik tersebut dengan berbagai cara sebagai bentuk tanggung jawab dan kepatuhan terhadap kode etik.

(3) Pelanggaran terhadap etika profesi psikologi dapat dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, perorangan, organisasi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain. Pelaporan pelanggaran dibuat secara tertulis dan disertai bukti terkait ditujukan kepada Himpunan Psikologi Indonesia untuk nantinya diserahkan kepada Majelis Psikologi Indonesia. Mekanisme pelaporan secara detail akan diatur dalam mekanisme tersendiri.

(4) Kerjasama antara Pengurus Himpsi dan Majelis Psikologi Indonesia menjadi bahan pertimbangan dalam penyelesaian kasus pelanggaran Kode Etik. Kerjasama tersebut dapat dilakukan dalam pelaksanaan tindakan investigasi, proses penyidikan dan persyaratan yang diperlukan untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan dengan memanfaatkan sistem di dalam organisasi yang ada. Dalam pelaksanaannya diusahakan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan tetap memegang teguh prinsip kerahasiaan.

(5) Apabila terjadi pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia, Pengurus Pusat bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat memberi masukan kepada Majelis Psikologi Wilayah atau Pusat dengan prosedur sebagai berikut: a. Mengadakan pertemuan guna membahas masalah tersebut b. Meminta klarifikasi kepada pihak yang melakukan pelanggaran c. Berdasarkan klarifikasi menentukan jenis pelanggaran

(6) Majelis Psikologi akan melakukan klarifikasi pada anggota yang dipandang melakukan pelanggaran. Berdasarkan keterangan anggota yang bersangkutan dan data-data lain yang berhasil dikumpulkan, maka Majelis Psikologi akan mengambil keputusan tentang permasalahan pelanggaran tersebut.

(7) Jika anggota yang diputuskan melakukan pelanggaran oleh majelis psikologi tidak puas dengan keputusan yang dibuat majelis, apabila dipandang perlu, Pengurus Pusat bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat mendampingi Majelis Psikologi untuk membahas masalah tersebut, baik kepada anggota yang bersangkutan maupun untuk diumumkan sesuai dengan kepentingan.

Baca juga: Psikologi Sosial

Pasal 6 : Diskriminasi yang Tidak Adil terhadap Keluhan

Himpunan Psikologi Indonesia dan Majelis Psikologi tidak menolak siapapun yang mengajukan keluhan karena terkena pelanggaran etika. Keluhan harus di dasarkan pada fakta-fakta yang jelas dan masuk akal.

III. Kompetensi

Pasal 7 : Ruang Lingkup Kompetensi

  • Ilmuwan psikologi memberikan layanan dalam bentuk mengajar, melakukan penelitian dan/ atau intervensi sosial dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
  • Psikolog dapat memberikan layanan sebagaimana yang dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi serta secara khusus dapat melakukan praktik psikologi terutama yang berkaitan dengan asesmen dan intervensi yang ditetapkan setelah memperoleh ijin praktik sebatas kompetensi yang berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi, telaah dan/atau pengalaman profesional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
  • Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam menangani berbagai isu atau cakupan kasuskasus khusus, misalnya terkait penanganan HIV/AIDS, kekerasan berbasis gender, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), atau yang terkait dengan kekhususan ras, suku, budaya, asli kebangsaan, agama, bahasa atau kelompok marginal, penting untuk mengupayakan penambahan pengetahuan dan ketrampilan melalui berbagai cara seperti pelatihan, pendidikan khusus, konsultasi atau supervisi terbimbing untuk memastikan kompetensi dalam memberikan pelayanan jasa dan/ atau praktik psikologi yang dilakukan kecuali dalam situasi darurat sesuai dengan pasal yang membahas tentang itu.
  • Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu menyiapkan langkah-langkah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam area-area yang belum memiliki standar baku penanganan, guna melindungi pengguna jasa layanan psikologi serta pihak lain yang terkait.
  • Dalam menjalankan peran forensik, selain memiliki kompetensi psikologi sebagaimana tersebut di atas, Psikolog perlu memahami hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya hukum pidana, sehubungan dengan kasus yang ditangani dan peran yang dijalankan.

Pasal 8 : Peningkatan Kompetensi

Psikolog dan Ilmuwan Psikologi wajib melaksanakan upaya-upaya yang berkesinambungan guna mempertahankan dan meningkatkan kompetensi mereka.

Pasal 9 : Asas Kesediaan

Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghormati dan menghargai hak pemakai jasa atau klien untuk menolak keterlibatannya dalam pemberian jasa/praktik psikologi, mengingat asas sukarela yang mendasari pemakai jasa dalam menerima atau melibatkan diri dalam proses pemberian jasa/praktik psikologi.

Pasal 10 : Interpretasi Hasil Pemeriksaan

Interpretasi hasil pemeriksaan psikologik tentang klien atau pemakai jasa psikologi hanya boleh dilakukan oleh Psikolog berdasarkan kompetensi dan kewenangan.

Pasal 11 : Masalah dan Konflik Personal

(1) Psikolog atau ilmuwan psikologi sadar bahwa masalah dan konflik pribadi mereka akan dapat mempengaruhi kefefektifan kerja. Kemudian, dalam hal ini, psikolog atau ilmuwan psikologi mampu membentengi diri dari tindakan yang dapat merugikan pengguna layanan psikologi serta pihak lain yang terlibat. Dan juga sebagai akibat dari masalah atau konflik pribadi tersebut.

(2) Psikolog atau ilmuwan psikologi berkewajiban untuk waspada terhadap tanda – tanda adanya masalah atau konflik pribadi. Kemudian, apabila hal ini terjadi, secepat mungkin mencari bantuan dengan melakukan konsultasi yang efektif agar dapat kembali melakukan pekerjaannya dengan cepat. Psikologi juga dapat membatasi, menangguhkan, bahkan menghentikan kewajiban dari layanan psikologi tersebut.

Pasal 12 : Pemberian layanan Psikologi dalam Keadaan Darurat

(1) Keadaan darurat adalah suatu kondisi di mana layanan kesehatan mental dan/atau psikologi secara mendesak dibutuhkan tetapi tidak tersedia tenaga Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang memiliki kompetensi untuk memberikan layanan psikologi yang dibutuhkan.

(2) Dalam kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kebutuhan yang ada tetap harus dilayani. Karenanya Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang belum memiliki kompetensi dalam bidang tersebut dapat memberikan layanan psikologi untuk memastikan bahwa kebutuhan layanan psikologi tersebut tidak ditolak.

(3) Selama memberikan layanan psikologi dalam keadan darurat, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang belum memiliki kompetensi yang dibutuhkan perlu segera mencari psikolog yang kompeten untuk mensupervisi atau melanjutkan pemberian layanan psikologi tersebut.

(4) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang lebih kompeten telah tersedia atau kondisi darurat telah selesai, maka pemberian layanan psikologi tersebut harus dialihkan kepada yang lebih kompeten atau dihentikan segera.

IV. Hubungan Antar Manusia

Pasal 13 : Sikap Profesional

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam memberikan layanan psikologi, baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/ institusi, harus sesuai dengan keahlian dan kewenangannya serta berkewajiban untuk:

  • a) Mengutamakan dasar-dasar profesional.
  • b) Memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkannya.
  • c) Melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan sebagai dampak layanan psikologi yang diterimanya.
  • d) Mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan tersebut.
  • e) Dalam hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan terkena dampak negatif yang tidak dapat dihindari akibat pemberian layanan psikologi yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi maka pemakai layanan psikologi tersebut harus diberitahu.

Pasal 14 : Pelecehan

(1) Pelecehan Seksual Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam penerapan keilmuannya tidak terlibat dalam pelecehan seksual. Tercakup dalam pengertian ini adalah permintaan hubungan seks, cumbuan fisik, perilaku verbal atau non verbal yang bersifat seksual, yang terjadi dalam kaitannya dengan kegiatan atau peran sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi. Pelecehan seksual dapat terdiri dari satu perilaku yang intens/parah, atau perilaku yang berulang, bertahan/sangat meresap, serta menimbulkan trauma. Perilaku yang dimaksud dalam pengertian ini adalah tindakan atau perbuatan yang dianggap:

  • (a) tidak dikehendaki, tidak sopan, dapat menimbulkan sakit hati atau dapat menimbulkan suasana tidak nyaman, rasa takut, mengandung permusuhan yang dalam hal ini Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengetahui atau diberitahu mengenai hal tersebut atau
  • (b) bersikap keras atau cenderung menjadi kejam atau menghina terhadap seseorang dalam konteks tersebut,
  • (c) sepatutnya menghindari hal-hal yang secara nalar merugikan atau patut diduga dapat merugikan pengguna layanan psikologi atau pihak lain.

Pasal 15 : Penghindaran Dampak Buruk

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk menghindari munculnya dampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait dengan kerja mereka serta meminimalkan dampak buruk untuk hal-hal yang tak terhindarkan tetapi dapat diantisipasi sebelumnya. Dalam hal seperti ini, maka pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terlibat harus mendapat informasi tentang kemungkinan-kemungkinan tersebut.

Pasal 16 : Penggunaan dan Penguasaan Sarana Pengukuran

  • a) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib membuat kesepakatan dengan lembaga/institusi/organisasi tempat bekerja mengenai halhal yang berhubungan dengan masalah pengadaan, pemilikan, penggunaan, penguasaan sarana pengukuran. Ketentuan mengenai hal ini diatur tersendiri.
  • b) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menjaga agar sarana pengukuran agar tidak dipergunakan oleh orang-orang yang tidak berwenang dan yang tidak berkompeten.

Pasal 17 : Konflik Kepentingan

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar dari melakukan peran profesional apabila kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum, finansial, kepentingan atau hubungan lain diperkirakan akan merusak objektivitas, kompetensi, atau efektivitas mereka dalam menjalankan fungsi sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi atau berdampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan pengguna layanan psikologi tersebut.

Pasal 18 : Eksploitasi

(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-hal yang dianggap mengandung unsur eksploitasi, yaitu:

  1. Pemanfaatan atau eksploitasi terhadap pribadi atau pihak-pihak yang sedang mereka supervisi, evaluasi, atau berada di bawah wewenang mereka, seperti mahasiswa, karyawan, peserta penelitian, orang yang menjalani pemeriksaan psikologi ataupun mereka yang berada di bawah penyeliaannya.
  2. Terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan mahasiswa atau mereka yang berada di bawah bimbingan di mana Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki wewenang evaluasi atau otoritas langsung.
  3. Pemanfaatan atau eksploitasi atau terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan pengguna layanan psikologi.

(2) Eksploitasi Data Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-hal yang dianggap mengandung unsur pemanfaatan atau eksploitasi data dari mereka yang sedang disupervisi, dievaluasi, atau berada di bawah wewenang mereka, seperti mahasiswa, karyawan, partisipan penelitian, pengguna jasa layanan psikologi ataupun mereka yang berada di bawah penyeliaannya dimana data tersebut digunakan atau dimanipulasi digunakan untuk kepentingan pribadi. Hubungan sebagaimana tercantum pada (1) dan (2) harus dihindari karena sangat mempengaruhi penilaian masyarakat pada Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi ataupun mengarah pada eksploitasi.

Pasal 19  : Hubungan Profesional

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki dua jenis bentuk hubungan profesional yaitu hubungan antar profesi yaitu dengan sesama Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi serta hubungan dengan profesi lain.

(1) Hubungan antar profesi

  • a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati dan menjaga hak-hak serta nama baik rekan profesinya, yaitu sejawat akademisi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi.
  • b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi seyogyanya saling memberikan umpan balik konstruktif untuk peningkatan keahlian profesinya.
  • c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mengingatkan rekan profesinya dalam rangka mencegah terjadinya pelanggaran kode etik psikologi.
  • d) Apabila terjadi pelanggaran kode etik psikologi yang di luar batas kompetensi dan kewenangan, dan butir a), b), dan c) di atas tidak berhasil dilakukan maka wajib melaporkan kepada organisasi profesi.

(2) Hubungan dengan Profesi lain

  • a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati kompetensi dan kewenangan rekan dari profesi lain.
  • b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mencegah dilakukannya pemberian layanan psikologi oleh orang atau pihak lain yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan.

Pasal 20 : Informed Consent

Setiap proses dibidang psikologi yang meliputi penelitian/ pendidikan/ pelatihan/ asesmen/ intervensi yang melibatkan manusia harus disertai dengan informed consent. Informed Consent adalah persetujuan dari orang yang akan menjalani proses dibidang psikologi yang meliputi penelitian pendidikan/pelatihan/asesmen dan intervensi psikologi. Persetujuan dinyatakan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh orang yang menjalani pemeriksaan/yang menjadi subyek penelitian dan saksi. Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam informed consent adalah:

  1. Kesediaan untuk mengikuti proses tanpa paksaan.
  2. Perkiraan waktu yang dibutuhkan.
  3. Gambaran tentang apa yang akan dilakukan.
  4. Keuntungan dan/atau risiko yang dialami selama proses tersebut.
  5. Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut.
  6. Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan selama proses tersebut.

Pasal 22 : Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari pentingnya perencanaan kegiatan dan menyiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan bila terjadi hal-hal yang dapat menyebabkan pelayanan psikologi mengalami penghentian, terpaksa dihentikan atau dialihkan kepada pihak lain. Sebelum layanan psikologi dialihkan atau dihentikan pelayanan tersebut dengan alasan apapun, hendaknya dibahas bersama antara Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dengan penerima layanan psikologi kecuali kondisinya tidak memungkinkan.

(1) Pengalihan layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat mengalihkan layanan psikologi kepada sejawat lain (rujukan) karena:

  • a) Ketidakmampuan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, misalnya sakit atau meninggal.
  • b) Salah satu dari mereka pindah ke kota lain.
  • c) Keterbatasan pengetahuan atau kompetensi dari Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi.
  • d) Keterbatasan pemberian imbalan dari penerima jasa layanan psikologi.

(2) Penghentian layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menghentikan layanan psikologi apabila:

  • a) Pengguna layanan psikologi sudah tidak memerlukan jasa layanan psikologi yang telah dilakukan.
  • b) Ketergantungan dari pengguna layanan psikologi maupun orang yang menjalani pemeriksaan terhadap Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang bersangkutan sehingga timbul perasaan tak nyaman atau tidak sehat pada salah satu atau kedua belah pihak.

PENUTUP

Kode Etik Psikologi Indonesia ini disusun secara terperinci sehingga sudah merupakan satu kesatuan untuk dijadikan Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Profesional bagi Psikolog dan Ilmuwan Psikologi. Keberadaannya Kode etik Psikologi Indonesia sudah mulai dirintis sejak Kongres I Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia tahun 1979, dan dievaluasi nilai kegunaannya sesuai dengan perkembangan tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia, melalui Kongres II, III, IV, V, VI, VII Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia dan Kongres VIII, IX, X dan XI Himpunan Psikologi Indonesia.

Kode etik oleh HIMPSI tahun 2010 terdiri dari total 14 BAB dan 80 pasal yang menjadi dasar pelaksanaan praktik psikologi di Indonesia. Untuk lebih lengkapnya Anda bisa langsung melihat di situs utama HIMPSI.  Kode etik dibuat sebagai garis batas yang mngatur setiap tindakan pada profesi. Semua jenis profesi pasti memiliki kode etiknya masing – masing.

Demikian paparan tentang kode etik psikologi di Indonesia agar bisa menjadi panduan dan dasar nilai dalam pelaksanaan atau perilaku dalam profesi psikologi. Jika kode etik dijadikan dasar pelaksanan psikologi dengan baik, maka tidak mungkin terjadi kesalahan kerja yyang berdampak pada kerugian pada suatu individu. Kode etik juga bisa digunakan sebagai pelindung bagi psikolog atau ilmuwan psikologi yang tidak sengaja melakukan kesalahan praktik psikologi. Pasal – pasal pada kode etik dapat dijadikan dasar dan alasan yang bisa meringankan keputusan hukuman berdasarkan batasan – batasan yang terjadi dan bersifat tidak merugikan pihak yang tidak bersalah.

Artikel Lainnya

You may also like