Psikologi warna merupakan cabang ilmu psikologi yang mempelajari warna sebagai faktor yang ikut mempengaruhi perilaku manusia. Warna dapat mempengaruhi persepsi, sebagaimana halnya rasa pada makanan.
Efek warna pada seseorang bisa berbeda dari orang lainnya, tergantung faktor gender, usia, dan budaya. Kaum pria umumnya berpendapat bahwa busana berwarna merah menyebabkan wanita yang mengenakannya terlihat lebih menarik; sedang menurut kaum wanita, busana berwarna merah tidak berefek apa-apa terhadap pria yang memakainya.
Psikologi warna juga diaplikasikan secara luas di bidang marketing dan branding produk. Para pemasar umumnya menyadari bahwa warna adalah faktor penting yang dapat mempengaruhi persepsi dan emosi konsumen dalam memandang barang dan jasa yang ditawarkan.
Berbagai perusahaan mempertimbangkan secara serius pemilihan warna untuk logo branding produk mereka. Begitu pula took-toko retail sangat cermat memilih-milih warna yang dapat secara spontan menarik perhatian calon pembeli.
Baca juga:
Ada beberapa perusahaan yang menggunakan satu warna saja untuk logo mereka, dan ada beberapa perusahaan lainnya yang menggunakan kombinasi beberapa warna, yang dapat dipersepsikan berbeda daripada jika warna-warna tersebut masing-masing ditampilkan sendiri saja.
Dalam suatu penelitian dengan menggunakan kombinasi-kombinasi warna yang sudah disusun sebelumnya, para partisipan diminta memilih kombinasi mana yang lebih mereka sukai. Hasilnya: umumnya mereka memilih kombinasi dari warna-warna yang sejenis dan secorak, jika keduanya ditempatkan di latar belakang. Sebaliknya, mereka cenderung memilih kombinasi warna-warna yang kontras, jika salah satu dari warna itu ditempatkan di latar depan, sedang lainnya di latar belakang. (Baca juga: Antropologi)
Pada sebuah penelitian lain oleh perusahaan sepatu terkenal Nike, walau mayoritas partisipan memilih kombinasi dari warna-warna yang secorak dan sejenis (misalnya biru dan biru gelap) untuk desain produk, ada sebahagian partisipan yang justru memilih kombinasi warna yang kontras. Hal lainnya yang menonjol dari penelitian ini adalah: kebanyakan partisipan memilih kombinasi yang terdiri dari sedikit warna saja. Ini dapat menjadi rujukan bagi perusahaan yang bersangkutan agar menciptakan desain produk dengan tidak terlalu banyak warna.
Baca juga:
Bukan hanya beraneka ragam warna yang dapat dipersepsikan dengan beragam cara, ternyata cara memberi nama pada warna-warna itu pun tak kalah pentingnya. Banyak perusahaan dan produsen memusatkan perhatian pada menghasilkan produk dengan beragam warna untuk menarik perhatian sebanyak mungkin konsumen.
Misalnya, perusahaan kosmetik memberi warna pelangi pada produk eye shadow,dan juga produk cat kuku dengan warna-warna tertentu yang disesuaikan dengan tipe orang yang berbeda-beda. Bahkan perusahaan berkelas dunia seperti Apple dan Dell pun memproduksi iPod dan laptop dengan personalisasi warna demi menarik calon pembeli.
Di lain pihak, ternyata bukan semata-mata warna itu sendiri, tetapi nama yang sengaja diberikan pada warna-warna itu juga berpotensi menarik atau menjauhkan calon konsumen.
Dalam suatu penelitian, partisipan ditanyakan apakah lebih memilih produk dengan warna yang bernama generik atau biasa (seperti coklat), atau yang memiliki warna dengan nama yang lebih fancy, seperti mocha. Hasilnya: produk yang memiliki warna dengan nama yang lebih fancy nampaknya lebih disukai daripada yang memiliki warna dengan nama generik.
Bahkan produk yang sama dengan warna yang persis sama pun, jika warnanya itu diberi nama yang berbeda, dapat menghasilkan persepsi yang berbeda pula. Jika warna diberi nama yang tidak biasa, dapat pula meningkatkan kecenderungan untuk dipilih dan dibeli. Bisa jadi nama yang tidak biasa itu memancing keingintahuan, ada apa di balik nama itu dan seperti apa produk yang dimaksud.
Riset membuktikan hal itu: bukan saja produk yang warnanya memiliki nama yang tidak biasa lebih cenderung untuk dipilih dan dibeli, tapi riset yang sama pun menunjukkan bahwa tingkat kepuasan lebih tinggi pada konsumen yang membeli produk dengan warna bernama tidak biasa.
Baca juga:
Warna tertentu dipersepsikan sebagai memiliki makna tertentu pula. Misalnya, jenis warna merah dapat menimbulkan gairah atau semangat, sedang jenis warna biru membawa rasa tenang atau teduh. Kedua macam emosi ini berkonotasi positif, dan karenanya warna-warna ini jika mewarnai tayangan suatu iklan dapat membawa perasaan positif.
Persepsi terhadap cita rasa makanan, ternyata sedikit banyak dipengaruhi juga oleh warna; dan bukan hanya warna makanan itu sendiri, tapi juga warna dari segala sesuatu yang berada di dalam bidang pandang seseorang itu turut mempengaruhinya.
Warna dari pil plasebo yang diberikan kepada pasien ternyata juga cukup berpengaruh terhadap keefektifan dan “kemanjuran” pil tersebut. Pil berwarna “panas” efektif digunakan sebagai stimulan, sedang pil berwarna “dingin” dapat berfungsi sebagai depresan.
Hal ini diyakini sebagai konsekuensi dari ekspektasi pasien yang mengkonsumsi pil tersebut, dan bukan efek langsung dari warna pil itu sendiri. Dengan demikian, faktor plasebo ini nampaknya tergantung juga pada faktor budaya.
Pada tahun 2000, di beberapa daerah pemukiman di kota Glasgow, Skotlandia, dipasang lampu-lampu penerangan jalan berwarna biru. Anehnya, kemudian dilaporkan terjadi penurunan tingkat kriminalitas di daerah-daerah tersebut. Kemudian pada bulan Oktober 2009, walaupun sempat dipertanyakan efektivitasnya, sebuah perusahaan kereta di Jepang memasang lampu-lampu penerangan berwarna biru di stasiun-stasiun sebagai bagian dari usaha menurunkan tingkat bunuh diri.
Baca juga:
Sudah sejak lama warna digunakan untuk menciptakan suasana sejuk, atau menimbulkan kesan luas dari suatu ruang yang relatif kecil. Namun, pengaruh warna itu bervariasi terhadap tipe orang yang berbeda-beda.
Suatu studi mengindikasikan bahwa tipe orang bertemperamen panas cenderung memilih warna-warna sejuk seperti biru atau hijau, sementara orang bertemperamen dingin lebih menyukai warna-warna “panas” seperti merah atau kuning.
Studi lain menunjukkan bahwa faktor budaya berpengaruh kuat terhadap preferensi warna. Penduduk di suatu wilayah yang sama cenderung memiliki preferensi warna yang sama, terlepas dari keragaman rasial penduduk di wilayah tersebut.
Preferensi Warna pada Anak- anak
Pada anak-anak, preferensi warna yang mereka rasakan dapat memberi kenyamanan dan menyenangkan, dapat bervariasi dan berubah-ubah, sementara pada orang dewasa biasanya sifatnya lebih menetap.
Berbagai studi menunjukkan bahwa warna dapat mempengaruhi suasana hati. Hanya saja, belum dapat dipastikan lewat berbagai studi ini tepatnya warna yang mana dapat menimbulkan suasana hati yang bagaimana.
Sebuah penelitian oleh psikolog bernama Andrew J. Elliot mencoba menemukan apakah mengenakan pakaian dengan warna tertentu dapat membuat seseorang terlihat lebih menarik secara seksual. Penelitian tersebut mendapati bahwa bagi kaum pria heteroseksual wanita yang mengenakan pakaian berwarna merah biasanya terlihat jauh lebih menarik dibandingkan kalau menggunakan warna lain.
Dalam lingkup budaya, kecenderungan mengasosiasikan warna-warna tertentu dengan suasana hati tertentu dapat berbeda-beda secara lintas budaya. Sebagai contoh, pernah sebuah penelitian diadakan terkait hal itu dengan partisipan dari Jerman, Polandia, Meksiko, Amerika Serikat, dan Rusia.
Dalam penelitian tersebut ditemukan adanya konsistensi, yakni bahwa partisipan dari semua negara tersebut mengasosiasikan waran merah dan hitam dengan kemarahan. Namun, ditemukan juga bahwa hanya orang Polandia yang mengasosiasikan warna ungu dengan kemarahan maupun kecemburuan, sedang hanya orang Jerman yang mengasosiasikan kecemburuan dengan warna kuning.
Perbedaan-perbedaan ini menunjukkan betapa faktor kebudayaan dapat mempengaruhi persepsi orang terhadap warna dan bagaimana hubungan antara warna dengan suasana hati. Namun, di samping perbedaan-perbedaan ini, ditemukan juga beberapa kesamaan terkait bagaimana orang mengasosiasikan warna-warna tertentu dengan situasi emosional tertentu. Sebagai contoh, warna merah umumnya dipersepsikan sebagai “aktif” dan “kuat”.
Baca:
Tokoh Psikologi Warna
Di antara tokoh psikologi terkemuka yang mempelopori kajian tentang psikologi warna, dapat disebut nama Carl Jung. Dalam hal ini minat terbesar Jung adalah pada sifat-sifat dan makna warna, di samping juga potensi warna sebagai alat untuk psikoterapi.
Hasil karya dan penelitian Jung terkait simbolisme warna mencakup topik yang luas, mulai dari mandala hingga lukisan Picasso, hingga makna universal dari warna emas, yang menurut Charles A. Riley, “mengekspresikan … puncak dari spiritualitas dan intuisi”.
Dalam penelitiannya terkait penggunaan dan efek warna secara lintas budaya dan lintas zaman, sebagaimana juga dalam meneliti mandala yang diciptakan sendiri oleh pasien-pasiennya, Jung berusaha menyingkap suatu bahasa atau kode, di mana warna adalah sandinya.
Dalam memperdalam pemahamannya tentang kode rahasia dari warna, Jung berpaling kepada alkimia, dan menemukan transmutasi alkemis sebagai kunci penelitiannya. Hasil karyanya yang bersejarah merupakan awal studi modern dari psikologi warna.
Baca juga:
Model Umum
Model umum psikologi warna terdiri atas enam prinsip dasar, yakni:
Penerapan Psikologi Warna
Terdapat beberapa Penggunaan Psikologi Warna dalam kehidupan sehari – hari, contohnya:
Oleh karena warna merupakan faktor penting dalam penampilan visual suatu produk atau logo brand suatu produk, maka psikologi warna memegang peranan penting dalam dunia pemasaran. Warna juga dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kepribadian brand suatu perusahaan.
Dalam memasarkan produk apapun, para pemasar perlu memperhatikan cara mengaplikasikan warna pada media yang berbeda-beda. Misalnya, aplikasi warna di media cetak berbeda dengan di media internet. Begitu juga pada audiens tertentu yang ditargetkan pemasar, makna dan emosi yang ditimbulkan warna-warna tertentu dapat berbeda-beda pula.
Baca juga:
Walaupun ada usaha untuk mengklasifikasikan calon konsumen berdasarkan cara mereka merespon warna-warna tertentu, pada kenyataannya persepsi setiap individu pada warna itu berbeda-beda satu dengan yang lain. Efek fisiologis dan emosional yang dapat ditimbulkan warna pada seseorang dipengaruhi beberapa faktor, antara lain pengalaman masa lalu orang tersebut, atau juga faktor budaya, agama, lingkungan alamiah, gender, ras, dan kebangsaan.
Dalam menentukan warna mana yang akan digunakan, penting untuk menentukan dan mengidentifikasi audiens yang akan ditargetkan, dan pemilihan warna harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar pesan kunci yang menjadi tujuan pemasaran itu dapat tersampaikan.
Dalam penelitian yang dilakukan terhadap bagaimana warna mempengaruhi pemasaran dan preferensi konsumen terhadap produk, nyata bahwa warna produk memang berpengaruh terhadap preferensi konsumen, dan pada gilirannya mempengaruhi budaya belanja konsumen. Yang menonjol dari hasil penelitian itu adalah, bahwa bukannya warna tertentu yang menarik bagi semua konsumen, melainkan bahwa warna-warna tertentu dianggap cocok bagi produk-produk tertentu.
Baca juga:
Para desainer grafis seyogyanya memahami bagaimana menggunakan warna, bukan sebagai alat manipulasi psikologis, melainkan supaya terjalin hubungan dengan audiens. Desainer perlu memahami bagaimana warna berkonotasi baik secara kultural maupun personal dalam lingkup proyek yang sedang dikerjakannya, dan karenanya audiens yang ditargetkan dan penggunaan warna yang terkait memegang peranan penting.
Dalam pemilihan warna perlu dipertimbangkan juga elemen-elemen sosial tertentu, seperti kampanye atau isu-isu sosial yang sedang terjadi. Misalnya, kuning melambangkan dukungan militer, merah muda terkait dengan riset kanker payudara, merah melambangkan gerakan aktivis kesehatan, dan hijau terkait dengan pendekatan ramah lingkungan.
Warna dapat digunakan untuk berkomunikasi, dan dengan pemahaman yang tepat akan “bahasa warna” yang digunakan audiensnya, seorang desainer grafis dapat menggunakan dengan optimal alat komunikasi ini. Pemilihan warna yang berdasarkan suasana hati atau kesukaan pribadi si desainer sendiri terbukti tidaklah seefektif pemilihan warna yang berdasarkan pengamatan yang cermat pada pesan, audiens, konteks, dan pengaruh warna tersebut pada pemirsa.
Selain warna itu sendiri, ada banyak faktor lain yang turut mempengaruhi peran warna-warna tersebut dalam suatu desain. Bagaimana si desainer memahami konteks keseluruhan dari proyek desain yang ditanganinya, dan bagaimana memahami “bahasa warna” dari audiensnya, dapat meningkatkan persepsi audiens pada desainnya.
Baca juga:
Pada saat konsumen hendak memutuskan untuk membeli suatu produk atau tidak, warna adalah salah satu faktor penting dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Pada umumnya konsumen mengadakan penilaian awal terhadap suatu produk dalam 90 detik pertama interaksinya dengan produk tersebut, dan 62%-90% dari penilaian tersebut didasarkan pada warna.
Demikian juga halnya dengan merek dagang atau logo: biasanya orang di saat melihat logo tertentu, otomatis langsung mengasosiasikannya dengan perusahaan pemiliknya. Akan halnya merek dagang atau logo yang masih baru atau asing bagi khalayak ramai, biasanya orang mulai mengasosiasikannya dengan karakteristik tertentu yang didasarkan pada warna yang dominan pada logo tersebut.
Baca juga:
Dengan suatu metode pemetaan warna, dapat diidentifikasikan warna-warna yang potensial untuk merek dagang atau logo baru, dan memastikan logo itu tampil menonjol di tengah-tengah pusat perbelanjaan yang biasanya campur-baur dengan berbagai produk dan logo.
Pada suatu penelitian menyangkut warna logo, para partisipan diminta untuk memberi nilai pada kecocokan warna logo dari berbagai perusahaan fiktif berdasarkan produk yang dihasilkan perusahaan-perusahaan tersebut. Para partisipan diperhadapkan dengan produk-produk fiktif yang masing-masing diberi delapan macam warna yang berbeda-beda, dan mereka diminta untuk memberi nilai pada kecocokan dari setiap warna untuk setiap produk.
Dari penelitian ini ditemukan suatu pola kecocokan dari warna dengan produk berdasarkan fungsi produk tersebut. Jika produk tersebut bersifat fungsional, memenuhi suatu kebutuhan, atau memecahkan suatu masalah, maka warna-warna fungsional yang dianggap cocok untuk produk tersebut. Jika produk yang bersangkutan bersifat sensori-sosial, menimbulkan perilaku, status, atau penerimaan sosial, maka warna-warna sensori-sosial dianggap lebih cocok.
Dengan informasi yang demikian, seyogyanya suatu perusahaan menentukan produk yang dihasilkannya termasuk tipe yang mana (fungsional atau sensori-sosial), lalu memilih warna untuk logo perusahaan yang konotatif dengan fungsi produknya.
Baca juga: Hakikat Manusia dalam Prespektif Psikologi
Logo sebuah perusahaan dapat mengkomunikasikan suatu makna tertentu hanya melalui penggunaan warna. Pemilihan warna yang tepat dapat menimbulkan persepsi tertentu terhadap logo perusahaan yang masih baru atau asing bagi publik. Beberapa perusahaan menggunakan warna untuk mengubah citra mereka dan menciptakan kepribadian yang baru pada logo mereka sebagaimana ditujukan pada audiens yang spesifik.
Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa kecocokan antara citra atau kepribadian yang dipancarkan oleh warna dengan produk yang bersangkutan dapat mempengaruhi bahkan meningkatkan minat belanja konsumen.
Walaupun warna dapat berdaya guna di dunia marketing, seberapa besar nilai dan kegunaannya bergantung kepada bagaimana warna itu digunakan dan juga kepada audiens yang dituju. Penggunaan warna dapat memberi efek yang berbeda-beda pada orang yang berbeda-beda pula, dan karenanya berbagai temuan dan hasil penelitian yang kita miliki saat ini belum dapat dianggap mutlak berlaku secara universal.
Baca juga: Kepribadian Ganda
Warna digunakan oleh kalangan marketing berbagai perusahaan untuk menarik perhatian calon konsumen potensial kepada produk atau merek dagang mereka. Di lain pihak, warna juga digunakan oleh calon konsumen untuk mengidentifikasi baik logo produk yang sudah dikenal maupun yang masih asing atau baru.
Di samping itu, konsumen yang hendak mencoba hal-hal baru cenderung lebih tertarik pada logo produk yang memiliki warna atau kombinasi warna yang tidak biasa. Pada sebuah penelitian, para partisipan diperhadapkan dengan produk yang sama dengan empat warna dan logo produk berbeda.
Hasilnya adalah para partisipan cenderung lebih memilih produk yang warnanya memancing perhatian mereka. Selain itu, asosiasi terhadap warna seperti “warna hijau cocok dengan rasa mentol” juga mempengaruhi keputusan para partisipan.
Implikasi dari temuan hasil penelitian ini adalah: perusahaan atau produk baru yang hendak masuk ke pasar disarankan menggunakan warna yang tidak biasa atau kombinasi warna yang kontras untuk memancing perhatian calon konsumen. Sedang perusahaan lama yang hendak mengganti kemasan produk tapi mempertahankan jenis produknya tetap sama, sebaiknya menggunakan skema warna yang sama untuk produknya itu, oleh karena perilaku konsumen yang terutama memperhatikan warna untuk mengenali kembali produk yang sudah lama dikenal.
Sebuah penelitian lain mengungkapkan bahwa ketertarikan pertama seseorang terhadap warna terjadi di alam bawah sadarnya, sebelum orang yang bersangkutan secara sadar mengarahkan perhatiannya lebih lanjut kepada barang atau produk tersebut. (Baca : Teori Belajar dalam Psikologi)
Sementara partisipan sedang menimbang-nimbang warna mana yang akan dipilihnya, penelitian yang menggunakan metode elektroencephalografi (EEG) tersebut menemukan adanya peningkatan aktivitas di otak pada saat partisipan menemukan warna yang disukainya, sesaat sebelum ia mulai memusatkan perhatiannya ke situ.
Baca Juga : Kode Etik Psikologi
Ketertarikan orang pada warna bukan hanya diaplikasikan pada barang atau produk, tapi juga pada tampilan toko dan etalase. Pada saat seseorang berjalan dan mengamati aneka tampilan iklan, etalase dan interior toko yang berwarna-warni, ia cenderung tertarik pada warna-warna tertentu dan tidak pada yang lain.
Riset menunjukkan bahwa orang lebih mudah tertarik secara spontan kepada warna-warna “hangat”; namun di lain pihak, di saat harus memberi penilaian, ia cenderung lebih menyukai warna-warna yang “sejuk”. Hal ini mengimplikasikan bahwa warna-warna “hangat” pada tampilan toko dan etalase lebih cocok untuk memancing reaksi spontan calon konsumen untuk datang berbelanja tanpa perencanaan lebih dahulu. Di lain pihak, warna-warna “sejuk” akan terasa lebih nyaman untuk menyambut pembelanja yang sudah merencanakan pembelanjaannya dengan sengaja.
Sementara uraian di atas menunjukkan bahwa bukan hanya warna produk dan logo, tapi juga warna tampilan toko dan etalase turut mempengaruhi perilaku berbelanja konsumen, penelitian lain menunjukkan bahwa warna-warna “sejuk” seperti biru lebih berefek positif pada perilaku berbelanja ketimbang warna-warna “hangat” seperti oranye.
Namun, ternyata segala efek negatif warna oranye tersebut dapat dinetralisir jika dibarengi pencahayaan yang lembut pada toko dan etalase tersebut. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara warna dan pencahayaan.
Warna pencahayaan juga berdampak terhadap persepsi tentang pengalaman di dalam toko. Pencahayaan berwarna merah menyebabkan waktu terasa berjalan lebih lambat, sementara pencahayaan berwarna biru berdampak sebaliknya.
Baca juga:
1. Gender
Permainan anak-anak seringkali dibedakan atas mainan untuk anak laki-laki dan untuk anak perempuan hanya berdasarkan warna. Mainan yang didominasi warna merah atau hitam umumnya dikategorikan sebagai mainan untuk anak laki-laki, sedang mainan berwarna pink atau ungu biasanya digolongkan mainan untuk anak perempuan.
Perbedaan persepsi tentang warna ini nampak juga pada orang laki-laki dan perempuan dewasa. Kedua jenis kelamin ini seringkali berbeda pendapat tentang warna yang disukai oleh masing-masing maupun oleh satu sama lain. Perbedaan pendapat bahkan terjadi juga tentang warna mana yang seharusnya masuk golongan warna maskulin atau warna feminin.
2. Usia
Permainan untuk anak usia balita umumnya masih dibedakan antara untuk anak laki-laki atau untuk anak perempuan berdasarkan warna. Contohnya, warna pink umumnya diasosiasikan kepada permainan untuk anak perempuan, sedang warna biru untuk anak laki-laki. Namun, sesudah usia lima tahun pembedaan berdasarkan warna ini perlahan-lahan mulai hilang.
3. Supremasi Olahraga
Secara khusus, warna merah ternyata berperan penting di dunia olahraga. Sejarah mencatat bahwa persentasi kemenangan lebih tinggi pada tim-tim berkostum merah. Lebih anehnya lagi, eksekutor penalti pada pertandingan sepak bola tampil paling buruk jika berhadapan dengan kiper berkostum merah.
Baca juga:
Demikian penjelasan tentang psikologi warna dan perkembangannya.
Fobia merupakan ketakutan yang dialami oleh manusia namun sudah dalam tahap sulit untuk dikendalikan dan…
Menikmati pemandangan alam dan menikmati udara yang menyejukan menjadi salah satu yang bisa kita rasakan…
Ada berbagai jenis dan juga tipe dari phobia atau rasa cemas, dan ketakutan berlebihan. Faktanya…
Berbicara mengenai fobia ataupun mengatasi rasa takut yang dialami oleh seseorang ada banyak sekali jenis…
Istilah Somniphobia atau dikenal dengan nama hypnophobia merupakan rasa takut yang berlebih saat seseorang jauh…
Berbicara mengenai fobia, ada beberap jenis fobia yang dikenal ditengah masyarakat. Misalnya fobia ketinggian, fobia…