Home » Ilmu Psikologi » Psikologi Kognitif » Proses Pembentukan Kognisi Sosial

Proses Pembentukan Kognisi Sosial

by Hana Masita

Kognisi sosial adalah cara yang terjadi pada seorang individu untuk menganalisa, mengingat, serta menggunakan informasi yang didapatkan dari kejadian-kejadian sosial.

Artinya, kognisi sosial merupakan cara kita berpikir tentang dunia sosial, mencoba memahaminya serta bagaimana kita memahami diri kita sendiri di dalam dunia tersebut. Dengan begitu kompleksnya kognisi sosial, maka proses pembentukan kognisi sosial ini perlu kita ketahui. Namun, sebelumnya ada baiknya jika memahami terlebih dahulu jenis-jenis kognisi sosial yang ada.

Kognisi sosial memiliki komponen dasar yang disebut dengan istilah skema. Skema adalah struktur mental yang membantu seorang individu mengatur infoemasi sosial dan mengarahkan pemrosesannya. Skema terletak di dalam otak dan terwujud dalam bentuk scenario di dalam otak kita. skema ini berfungsi sebagai irganizer kognitif, artinya memberi kemampuan dalam membuat persepsi tentang orang lain secara akurat dan membuat tafsiran atas perilaku mereka.

Konsep skema bertugas untuk membuat gambaran tentang bagaimana informasi sosial dipersepsikan dan diorganisasikan secara selektif di dalam memori manusia.

Pada dasarnya, manusia akan lebih mudah dalam membuat kategori dan mengelompokkan informasi di sekitarnya, termasuk dalam mengenali orang lain. Pengelompokan ini bisa berdasarkan pada karakteristik dan sifat-sifat yang menonjol, seperti jenis kelamin, penampilan, ras, pekerjaan, dan lain sebagainya.

Ada 4 jenis skema yang perlu diketahui, yaitu:

  • Self schema – yaitu skema yang berisi karakteristik diri sendiri. Menurut Nasby (1989), self skema memiliki fungsi untuk mengorganisasikan ingatan abstrak dan konkrit tentang dirinya sendiri serta mengendalikan pemrosesan informasi yang relevan dengan dirinya sendiri. (Baca juga: Peran Kognisi Dalam Diri Manusia
  • Person schema – skema ini memuat informasi mengenai tipikal orang dan lebih berfungsi untuk mengkategorikan orang lain, termasuk prototype yang berkaitan dengan kelompok orang tertentu. Jenis skema ini sering disebut dengan teori kepribadian implisit karena pandangannya yang lebih membahas mengenai ciri-ciri kepribadian seseorang dan semacamnya.
  • Skema peran – yaitu skema yang memuat konsep-konsep tentang norma dan perilaku yang sesuai bagi kelompok orang dari berbagai kategori sosial atau status tertentu. Skema peran ini menunjukkan cara kita yang mengharapkan perlakuan tertentu saat memerankan peranan tertentu. (Baca juga: Konsep Diri dalam Psikologi)
  • Skema kejadian – berisi pengetahuan tentang urutan kejadian sosial. Melalui skema ini kita akan lebih memahami dan mengingat kejadian untuk mengkaitkannya dengan kejadian yang sedang dialami.

Dalam pembentukan kognisi sosial akan terjadi sebuah proses yang berlangsung berurutan. Dari proses inilah akan terbentuk kognisi sosial dimana seorang inividu akan menganalisa hingga memahami hal-hal di sekelilingnya. Proses yang terjadi adalah sebagai berikut:

  1. Attention atau perhatian

Dalam proses yang pertama ini seorang individu akan mulai melihat kejadian-kejadian atau gejala-gejala sosial di sekitarnya. Dalam hal ini skema berperan sebagai penyaring informasi, dimana individu memilih informasi mana yang baginya penting untuk masuk ke kesadaranya dan disimpan di dalam otak.

Maka, dalam proses perhatian ini, individu tidak sekedar melihat kejadian tersebut sambil lalu, melainkan dia mencurahkan perhatiannya terhadap kejadian tersebut. Pemberian perhatian ini penting karena akan membuat individu tersebut melanjutkan proses kognisi sosial ke tahapan selanjutnya.

Hal ini tentu berbeda dengan seorang individu yang hanya melihat sekilas sebuah kejadian tanpa memperhatikannya, dimana jika ini yang terjadi maka proses kognisi sosial tidak akan terjadi.

  1. Encoding atau pengkodean

Pengkodean adalah proses penyimpanan informasi ke dalam otak. Informasi yang tersimpan ini merupakan fokus dari perhatian di proses sebelumnya dan memungkinkan untuk tersimpan di dalam otak dalam jangka panjang.

Setelah seseorang tersebut memperhatikan sebuah kejadian, dia akan menyimpan kejadian tersebut ke dalam memorinya.

engan proses inilah kejadian sosial yang terjadi di sekitar individu tersebut akan tersimpan dan membuat ingatan khusus pada individu tersebut. Tidak hanya itu, ingatan aka kejadian tersebut bisa menimbulkan kesan khusus dan memiliki arti. (Baca juga: Teori Labeling Dalam Psikologi)

  1. Retrieval atau mengingat kembali

Selanjutnya, proses pembentukan kognisi sosial juga akan melibatkan tahapan retrieval yaitu mengingat kembali ingatan yang pernah disimpan.

Di dalam proses ini terjadi pemilihan informasi tentang apa yang paling siap untuk diingat dan memanggil informasi tersebut untuk disesuaikan dengan hal-hal lain yang mereka alami.

Ketika seorang individu mengalami sebuah kejadian, dia akan cenderung mengumpulkan informasi untuk melihat kesamaan-kesamaan gejala dari kejadian serupa yang pernah dialaminya.

Dalam hal ini, dia akan mengeluarkan ingatannya kembali dan membandingkannya dengan kejadian yang baru dialaminya. Proses ini nantinya akan membuat orang tersebut mengetahui mengungkapkan sesuatu tentang peristiwa yang dialami atau mencoba menceritakannya kepada orang lain.

Baca juga:

Proses pembentukan kognisi sosial di atas bukannya bebas dari gangguan. Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan kesalahan dalam kognisi sosial. Beberapa faktor-faktor tersebut antara lain:

4. Bias negativitas

Bias negativitas adalah sebuah kecenderungan untuk seseorang lebih memperhatikan hal-hal atau informasi yang sifatnya negatif. Maka, dalam hal ini informasi negatif memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan informasi yang sifatnya positif.

Contohnya, ketika kita diberi informasi bahwa kita akan bertemu klien yang pintar, professional namun pernah berurusan dengan polisi terkait tindak penipuan, maka kita akan lebih fokus dengan informasi keterkaitan orang tersebut dengan kepolisian. (Baca juga: Tipe Prasangka dalam Psikologi Sosial)

5. Bias optimistik

Bias optimistik merupakan suatu perdisposisi yang membuat seorang individu selalu berharap apapun yang terjadi akan berakhir baik-baik saja sesuai harapannya.

Dalam hal ini seseorang berpikir bahwa dirinya akan lebih berpeluang mendapatkan keuntungan dan keberhasilan dibandingkan dengan kegagalan seperti orang lain.

Sebagai contohnya adalah pemerintah yang sering membuat program dengan target yang sangat tinggi dan yakin akan penyelesaian proyeknya, namun target tersebut tidak diimbangi dengan perencanaan yang matang. Ketika orang-orang ini mulai melihat bahwa hal-hal tidak berakhir sesuai harapan, mereka akan justru bersiap menghadapi hal yang buruk dan menunjukkan pola pesimistik.

6. Terlalu banyak berpikir

Banyak di antara kita yang terlalu banyak berpikir sehingga bisa mempersulit diri sendiri dalam berpikir kognitif. Berpikir secara rasional dan sistematis akan lebih baik dan membantu menjaga fungsi kognisi sosial.

7. Pemikiran konterfaktual

Merupakan pemikiran yang berlawanan dengan keadaan yang sedang dialami, misalnya pemikiran berandai-andai jika begini atau jika tidak begitu. Pemikiran seperti ini akan memberi pengaruh yang kuat terhadap afeksi seorang invidu. (Baca juga: Hubungan antara Afeksi dan Kognisi)

8. Hallo Effect

Hallo effect ini biasanya terjadi pada pertemuan pertama seseorang dengan orang lain. Misalnya, ketika seorang individu ‘tertipu’ dengan penampilan orang lain sehingga menciptakan kesan yang salah tentang orang lain tersebut. Hallo effect ini bisa terjadi akibat cara berpikir seorang individu yang cenderung mengelompokkan atau mengkategorisasi sifat-sifat manusia.

Baca juga:

Dengan adanya faktor-faktor yang mengganggu proses pembentukan kognisi sosial di atas, maka diharapkan kita bisa memperbaiki cara berpikir dan cara pemrosesan informasi yang kita terima. Jika kita bisa melakukan proses pembentukan kognisi sosial dengan benar, maka diharapkan proses sosial lainnya pun akan bisa berlangsung dengan baik. Semoga bermanfaat, ya!

You may also like