Home » Ilmu Psikologi » Psikologi Kognitif » 3 Teori Psikologi Kognitif Menurut Para Ahli dan Penerapannya

3 Teori Psikologi Kognitif Menurut Para Ahli dan Penerapannya

by Gendis Hanum Gumintang

Psikologi kognitif merupakan cabang ilmu psikologi yang berisi studi terhadap proses yang melandasi dinamika mental. Pemahaman tentang kemampuan kognitif sebenarnya sudah ada sejak zaman yunani, yakni pendapat Aristoteles bahwa pengetahuan terdapat di jantung dan Plato bahwa pengetahuan tersimpan di otak. Akan tetapi, secara khusus berkaitan dengan ilmu psikologi mulai abad ke-18.

Konsep-konsep yang terdapat dalam psikologi kognitif berkaitan dengan input eksternal, atensi selektif dan persepsi, pembentukan representasi internal (memori/ingatan), perencanaan dan pengambilan keputusan, pemilihan tindakan, serta kondep lainnya yang berkaitan dengan fungsi psikologi kognitif untuk bidang psikologi. Berikut adalah teori psikologi kognitif menurut para ahli dan penerapannya.

Jean Piaget (1896-1980)

Jean Piaget melakukan pengamatan kepada anak dan menemukan bahwa anak mengembangkan kemampuan berpikir secara bertahap dari yang masih sederhana dan konkrit hingga menjadi kompleks dan abstrak sejalan dengan perkembangan fisik dan mentalnya. Terdapat dua pemikiran yang terkenal dari Piaget, yakni tahap perkembangan kognitif menurut Jean Piaget dan struktur kognitif.

Tahap Perkembangan Kognitif

1. Tahap Sensorimotor (0-2 tahun)

Pada tahap ini, kemampuan kognitif anak masih mengandalkan alat indera (sensori) dan gerak (motor). Dengan kata lain, anak mampu memahami sesuatu melalui alat indranya dan pola berpikirnya pun masih bersifat praktis sesuai dengan perilakunya. Selain itu, perilaku anak juga lebih bersifat kebiasaan atau belum memasuki fase berpikir.

2. Tahap Pra-Operasional (2-7 tahun)

Pada tahap ini, anak dapat memahami realitas atau bagaimana dunia di sekitarnya bekerja dengan tanda dan simbol. Pemikiran anak juga masih berdasarkan pada hal yang konkrit sesuai dengan ide dari perspektifnya sendiri, bukan berpikir secara abstrak. Akan tetapi, pada tahap ini proses berpikir anak masih bersifat egosentris.

3. Tahap Operasional Konkret (8-11 tahun)

Pada tahap ini anak sudah mencapai kemampuan berpikir yang sistematis terhadap objek konkrit. Selain itu, anak juga sudah mulai menurunkan sifat egosentrismenya atau dengan kata lain anak mampu melihat sesuatu melalui sudut pandang orang lain. Hal tersebut membuat anak juga sudah memahami aturan yang jelas dan logis.

4. Tahap Operasional Formal (11 tahun ke atas)

Pada tahap ini, anak sudah dapat memikirkan sesuatu meski tidak ada wujud konkritnya. Dengan kata lain, anak sudah dapat berpikir secara abstrak dan mampu melakukan uji hipotesis melalui berpikir secara logis. Selain itu, pemikiran anak juga sudah lebih idealistik.

Struktur Kognitif

1. Skema

Skema dapat diartikan sebagai kumpulan konsep yang dapat digunakan seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Skema ini muncul karena manusia cenderung mengorganisasikan tingkah laku dan pikirannya yang terus berubah seiring meningkatnya tahap perkembangan kognitif.

2. Asimilasi

Asimilasi merupakan proses mengambil informasi dari dunia luar dan menyesuaikannya dengan pemahaman yang sudah ada. Asimilasi ini tidak mengubah skema, melainkan mempengaruhi munculnya skema-skema baru. Oleh sebab itu, asimilasi terjadi secara berkelanjutan dan terus menerus selama hidup.

3. Akomodasi

Akomodasi adalah proses menyesuaikan diri dengan cara memodifikasi diri sendiri, sehingga lebih sesuai dengan lingkungannya. Proses kognitif akomodasi menghasilkan skema baru yang didapat dari pengalaman yang belum terbentuk pada skema sebelumnya. Melalui proses ini, individu dipaksa untuk mengubah skema yang lama dengan skema baru yang lebih sesuai.

4. Keseimbangan atau Ekuilibrium

Selama masa perkembangan, individu akan terus melakukan asimilasi dan akomodasi. Hal tersebut dikarenakan dalam proses adaptasi dengan lingkungan, individu berusaha untuk mencapai skema yang stabil. Keserasian antara asimilasi dan akomodasi untuk mencapai skema stabil itulah yang disebut dengan keseimbangan. Dengan adanya keseimbangan, efisiensi interaksi antara individu dengan lingkungannya akan tercapai.

Lev Semyonovich Vygotsky (1896-1834)

Lev Semyonovich Vygotsky merupakan tokoh psikologi kognitif yang memberikan kritik terhadap pemikiran Piaget. Vygotsky menyatakan bahwa pembagian periode dalam teori Piaget kurang memberi gambaran tentang kenyataan yang sebenarnya, sebab beberapa penelitian menunjukkan banyak orang bahkan yang sudah dewasa tidak mencapai tahap operasional formal. Selain itu, pada dasarnya memang terdapat kelebihan dan kekurangan teori kognitif.

Kemudian Vygotsky menyampaikan dua konsep, yakni teori konstruktivisme dalam belajar dan zone of proximal development.

Teori Konstruktivisme dalam Belajar

Menurut Vygotsky, perilaku individu muncul dari hasil elemen proses biologis dan proses psikososial. Individu akan menerima stimulus dari lingkungan melalui fisik berupa alat indra. Kemudian saraf otak akan menerima dan memproses informasi dari stimulus tersebut. Keterlibatan alat indra dalam menyerap stimulus dan saraf otak dalam mengelola informasi merupakan proses fisik-psikologis sebagai elemen dasar dalam belajar.

Informasi yang dimiliki individu dari hasil kedua elemen di atas akan lebih berkembang ketika individu berinteraksi dengan lingkungan sosial budayanya. Maka dari itu, Vygotsky menekankan peran interaksi sosial sebagai bagian dari proses perkembangan belajar individu.

Zone of Proximal Development

Masih berkaitan dengan konsep sebelumnya, Vygotsky percaya bahwa belajar dimulai ketika anak dalam proses perkembangan zone proximal, yakni suatu tingkat yang dicapai individu ketika melakukan perilaku sosial, di mana terdapat selisih atau jarak antara apa yang dapat dilakukan individu dan apa yang belum dapat dilakukan individu.

Tingkat perkembangan tertinggi zone proximal pada individu akan bergantung pada intensitas interaksi individu dengan lingkungannya. Oleh karena itu, menurut Vygotsky bantuan dari orang lain yang lebih ahli atau orang dewasa akan sangat membantu individu untuk dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya.

Lawrence Kohlberg (1927-1987)

Pemikiran Kohlberg yang paling terkenal dalam ilmu psikologi kognitif adalah terkait tahap perkembangan moral dalam psikologi pendidikan. Tahap perkembangan tersebut disimpulkan dari rangkaian studi berkelanjutan yang melibatkan anak-anak. Kohlberg melakukan penelitian dengan cara memberi pertanyaan yang berkaitan dengan moral dan meminta mereka menjelaskan alasan dari jawabannya. 

Berdasarkan studi tersebut, Kohlberg menemukan bahwa alasan anak memilih suatu jawaban cenderung berubah sesuai dengan usia mereka. Kohlberg pun mengidentifikasi tiga tingkatan perkembangan moral dan setiap individu akan memiliki perkembangan yang linier atau tidak dapat mencapai suatu tahap dengan melompati tahap lainnya. Berikut adalah teori perkembangan moral Kohlberg:

1. Tahap Pre-Conventional Morality

Tahap ini dimulai sejak sekitar usia sembilan tahun. Pada tahap ini, anak belum memiliki standar moralitas secara personal, melainkan ditentukan oleh standar orang dewasa di sekitarnya, seperti aturan di rumah atau di sekolah. Dengan kata lain, landasan standar moral individu adalah konsekuensi dari tindakan yang dilakukan.

  • Kepatuhan dan orientasi hukuman, yakni ketika anak berusaha menghindari hukuman dengan bertindak baik. Hal ini dikarenakan sistem berpikir yang ditanamkan adalah “Jika aku dihukum, artinya aku berbuat salah”.
  • Individualisme dan pertukaran, yakni pemahaman moral yang berlandaskan sugesti kepentingan pribadi mengenai apa yang menguntungkan dan apa yang berpotensi merugikan. Anak juga mulai sadar bahwa setiap orang memiliki pandangan pribadi.

2. Tahap Conventional Morality

Tahap ini dimulai sejak individu memasuki usia remaja. Pada tahap ini, individu mulai menginternalisasikan standar moral orang dewasa yang dihormati atau dijadikan contoh. Selain itu, alasan yang mendasari pikiran masih berpatokan pada kelompok di lingkungan sosialnya.

  • Hubungan interpersonal yang baik, yakni individu berusaha berperilaku baik agar dipandang baik pula oleh orang lain. Di sisi lain, alasan dari perilaku atau jawaban individu didasari oleh keinginan untuk diakui dan dihargai orang lain.
  • Menjaga aturan sosial, yakni tahap ketika individu mulai menyadari adanya peraturan sosial yang lebih luas dan kompleks. Oleh sebab itu, individu berusaha untuk mengikuti aturan sebagai cara dalam menghindari rasa bersalah.

3. Tahap Post-Conventional Morality

Tahap ini merupakan tahap perkembangan moral tertinggi dan hanya sekitar 10-15 persen individu saja yang dapat mencapai tahap ini. Pada tahap ini, keyakinan terhadap nilai moral tertentu juga berlandaskan standar benar dan salah yang bersifat personal. 

Dengan kata lain, individu memahami bahwa prinsip moral eksternal (contoh: aturan masyarakat, norma sosial, atau hukum) tidak selalu benar dan tidak harus selalu dipertahankan karena tidak ada aturan atau hukum yang absolut.

  • Kontrak sosial dan hak individu, yakni tahap ketika individu mulai menyadari bahwa aturan ada untuk kebaikan mayoritas, sehingga ada masa di mana aturan justru dapat menyerang atau tidak menguntungkan pihak tertentu.
  • Prinsip universal, yakni tahap di mana individu sudah memiliki pedoman moral sendiri, baik sesuai atau tidak sesuai dengan aturan masyarakat. Biasanya, prinsip moral yang dianut akan berdasarkan pada prinsip etika di atas kebenaran dan keadilan.

You may also like