Home » Ilmu Psikologi » Psikologi Pendidikan » 5 Pola Pendidikan Temporizer dan Penerapannya

5 Pola Pendidikan Temporizer dan Penerapannya

by Titi Rahmah

Temporizer ini adalah model pendidikan atau pola asuh perkembangan anak yang sangat tidak konsisten. Di mana orang tua tidak punya pendirian . Contoh dari pola pendidikan tersebut adalah memberikan tenggat waktu kepada anak untuk pulang sekitar jam 10 malam.

Terkadang orang tua tidak menyalahkan anaknya jika terlambat pulang, namun terkadang orang tua juga sangat marah pada anaknya ketika sudah pulang, contoh keterlambatan Ini membingungkan anak-anak. Mereka akan bertanya-tanya, harus seperti apa sebenarnya? Berbagai pertanyaan muncul pada anak.

Terlalu banyak memberi kebebasan pada anak memang tidak baik, karena anak bisa salah pergaulan, tapi terlalu mengkhawatirkan anak juga tidak baik, menjadi anak susah bergaul. Jadi pada dasarnya, orang tua harus bisa bersikap demokratis dengan anak-anaknya.

Sebagai orang tua, kita perlu mengetahui kemana kita ingin membawa anak hingga ia besar nanti. Kita juga perlu sepakat dengan pasangan kita tentang prioritas apa yang ingin kita berikan kepada anak-anak kita dan bagaimana mendekati mereka.

Untuk melaksanakan pola asuh dan pendidikan yang baik, usahakan quality time dengan anak minimal 30 menit setiap hari. Quality time bisa dengan kita hanya duduk bersama anak-anak dan berbicara tanpa perangkat/gawai. Maksimalkan waktu bersama anak agar kita tahu apa yang dikeluhkan anak, apa yang disukai anak, dan bagaimana cara membimbing dan mendidik anak dengan baik.

  • Dampak Positif Pola Pendidikan Temporizer
    • Mengajarkan konsekuensi pada anak.
    • Tawarkan kesempatan kepada anak untuk memenuhi rasa ingin tahunya.
    • Biarkan anak merasakan akibatnya jika merasa melanggar aturan.
    • Cocok diterapkan untuk anak usia 2-4 tahun, agar anak berani mengambil resiko dalam kegiatan yang diinginkannya.
    • Anak menghindari aktivitas kucing-kucingan (patuh dan terlihat seperti anak baik di depan orang tua dan melakukan hal-hal yang dilarang saat bersama teman atau saat orang tua tidak melihat).
  • Dampak Negatif Pola Pendidikan Temporizer
    • Anak menjadi bingung jika mengikuti aturan yang diterapkan orang tua di rumah tanpa penjelasan yang baik dari orang tua.
    • Anak tidak percaya dengan perkataan orang tuanya, karena selalu berubah atau tidak konsisten.
    • Anak tidak memiliki aturan yang jelas dan sering mengabaikan larangan orang tua.
    • Anak merasa minder dengan teman sebayanya, yang sering diasuh oleh orang tuanya dan lebih banyak mendapat kasih sayang. Memaksimalkan peran orang tua dalam model pendidikan anak, kita harus memperhatikan bagaimana proses penerapan model pendidikan itu sendiri.

Berikut ini cara penerapan pola pendidikan temporizer berikut yang harus kita perhatikan, yaitu:

1. Ajak anak berbicara dengan baik

Orang tua harus belajar berbicara dengan baik kepada anaknya dan mau mendengarkan perasaan anaknya. Tindakan orang tua yang menyalahkan atau membandingkan anak membuat mereka merasa tidak berharga dan tidak terbiasa membuat pilihan dan keputusan. Cara berkomunikasi dengan anak sangat penting dalam hubungan antara anak dan orang tua. Di sela-sela kegiatan, orang tua harus tetap berhubungan dengan anak untuk menjaga ikatan di antara mereka.

2. Menerapkan pendidikan agama yang baik

Agama harus dikenalkan kepada anak-anak sedini mungkin agar menjadi bekal bagi mereka kelak. Jangan pernah lupakan pendidikan agama untuk anak-anak. Karena agama selalu mengajarkan cinta dan kasih sayang kepada sesama.

Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mengajarkan agama kepada anaknya sebagai landasan dasar yang harus dimiliki anak agar memiliki akhlak yang baik, anak cerdas spiritual dan pada akhirnya mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas perbuatannya.

3. Mendisiplinkan Anak

Cinta dan kasih sayang yang kita berikan kepada anak harus diimbangi dengan ketegasan dan kedisiplinan. Ini merupakan cara mendidik anak menurut psikologi yang baik yang dapat memupuk kasih sayang anak bukan berarti memenuhi semua keinginan anak.

Seringkali, saat anak sedang marah, orang tua terpaksa menuruti keinginan anaknya untuk menghindari konflik lebih lanjut. Terkadang kita juga tidak menyadari bahwa setiap kali kita memenuhi setiap permintaan anak, kita telah mengganggu perkembangan emosinya dan mengasuhnya menjadi pribadi yang manja.

4. Jangan terlalu memaksakan anak (hyper-parenting)

Setiap orang tua pasti punya cara mendidik yang terbaik untuk anaknya. Sayangnya, tidak semua orang tua memahami bahwa setiap anak memiliki kepribadian, karakter, cita-cita, dan impian yang berbeda. Seringkali kita orang tua memaksakan kehendak pada anak tanpa mempertimbangkan kemampuan, keterampilan dan kemauannya dengan dalih kita ingin anak mendapatkan yang terbaik dalam hidup.

Orang tua yang hyper parenting mungkin pernah mengalami masa kecil yang sama atau mungkin karena tidak puas dengan karir atau apapun yang dimilikinya sehingga melampiaskannya pada anaknya. Padahal, wajar jika orang tua berharap anaknya bisa meraih impiannya.

Namun, harus dipahami bahwa memaksakan kehendak anak bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Anak-anak memiliki efek yang sangat mempengaruhi anak, justru ini akan menjadikan anak tidak percaya diri dan mengalami tekanan, di mana mereka merasa tidak memiliki kebebasan untuk memilih atau melakukan apa yang mereka inginkan.

5. Memberikan hadiah (reward) dan hukuman (punishment) anak

Teori reward dan punishment dalam psikologi pendidikan menjelaskan bahwa pemberian hadiah (reward) kepada anak adalah bentuk penerimaan, pengakuan atau penghargaan yang mendorong anak untuk melakukan hal yang lebih baik dan menciptakan hubungan pribadi.

Contoh reward yang bisa kita berikan kepada anak adalah ucapan terima kasih secara lisan, uang jajan, barang, janji akan datang ke tempat yang akan dikunjungi, dan lain-lain. Semuanya harus dilakukan dengan bijak agar orang tua tidak terjebak dalam perangkap memberi keuntungan tergantung situasi.

Tidak selalu harus memberikan barang mahal saat memberikan hadiah. Hanya sepatah kata pujian yang membuat seorang anak bahagia itu sudah cukup bagi anak. Misalnya, jika seorang anak mendapat nilai bagus dalam ujian atau juara kelas, pujian yang mendorongnya untuk mempertahankan prestasinya. Namun, tidak ada salahnya sesekali memberikan reward berupa barang-barang yang sangat dibutuhkan anak.

Seperti halnya memberi hadiah, pemberian hukuman kepada anak juga harus dengan bijaksana. Misalnya, hukuman yang diberikan harus bersifat mendidik kepada anak tidak berdasarkan emosi, melainkan kasih sayang. Kemudian intonasi orang tua boleh keras dan tegas, namun tidak tidak kasar dan tidak menyakiti hati anak, apalagi jika menyangkut kekerasan fisik.

Jangan sampai anak dibully dan habis emosinya jika ia menerima konsekuensi dari hukuman kita. Hindari hukuman fisik dan psikis, seperti menggunakan kata-kata kasar yang tidak tepat, mencubit atau memukul. Dampak kekerasan pada anak ini karena bekas tamparan atau jepitan bisa saja hilang.

Namun, ingatan tentang kekerasan orang tua dan rasa sakit hati anak akan tetap ada sepanjang hidupnya. Seperti pemberian hadiah, hukuman harus dievaluasi untuk menentukan apakah hukuman yang kita gunakan memiliki efek positif atau sebaliknya.

Diana Baumrind percaya ada satu cara terbaik untuk membesarkan anak. Diana percaya bahwa orang tua tidak boleh menghakimi atau memaksa. Sebaliknya, orang tua menetapkan aturan untuk anak-anak dan mencintai mereka.

Diana Baumrind juga mengatakan bahwa terdapat model atau pola pendidikan yaitu: model pendidikan otoriter, model pola pendidikan demokratis, model pendidikan dan model pengasuhan pola pendidikan otoritatif (Santrock, 2007). Namun, banyak orang tua menggunakan kombinasi teknik daripada teknik tunggal, meskipun salah satu teknik mungkin lebih dominan.

Pendidikan yang konsisten umumnya dianjurkan, orang tua yang bijak mungkin merasa perlu untuk lebih mengetahui pola asuh permisif dalam beberapa situasi dan berwibawa dalam situasi lain, tetapi otoriter dalam situasi lain. Oleh karena itu orang tua harus mempunyai tujuan yang jelas untuk membesarkan dan mendidik anak-anaknya, dan tujuan itu harus dirumuskan sejak anak dilahirkan.

You may also like