Home » Ilmu Psikologi » Psikologi Anak » Pola Asuh Otoriter : Pengertian, Ciri, dan Dampaknya

Pola Asuh Otoriter : Pengertian, Ciri, dan Dampaknya

by Titi Rahmah

Pola asuh otoriter adalah gaya atau pola asuh perkembangan anak yang membatasi dan menghukum di mana orang tua memaksa anak untuk mengikuti instruksi mereka dan menghormati pekerjaan dan usaha mereka. Menerapkan pola asuh otoriter sebagai pola asuh yang merupakan disiplin tradisional.

Dalam disiplin otoriter, orang tua menetapkan aturan dan menyuruh anak untuk mengikuti aturan. Anak-anak tidak diberi penjelasan mengapa mereka harus patuh, juga tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya, bahkan jika peraturannya tidak masuk akal pun anak harus tetap patuh.

Hubungan antara orang tua dan anak merupakan aspek yang sangat penting karena pengasuhan orang tua. Anak-anak dari orang tua otoriter seringkali tidak bahagia, pemalu dan ingin membandingkan diri dengan orang lain, tidak memulai aktivitas dan berkomunikasi dengan buruk, serta berperilaku agresif.

Sikap otoriter orang tua mempengaruhi profil perilaku anak. Perilaku anak dengan pola asuh otoriter biasanya mudah tersinggung, takut, sedih, tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah stress, tidak memiliki arah masa depan yang jelas dan tidak ramah.

Penolakan perlakuan dengan ketidakpedulian, penerapan aturan yang ketat, sedikit perhatian terhadap kesejahteraan anak, menjaga anak tetap terkendali mengarah pada fakta bahwa anak menjadi agresif (mudah marah, tidak patuh, keras kepala, sulit untuk didekati dan pendiam) Aturan dan hukuman yang kaku mengarah pada profil ke kanak-kanakan impulsif (selalu menuruti hati nurani), tidak mampu mengambil keputusan, bermusuhan dan agresif.

Ciri-ciri Pola Asuh otoriter

Pola asuh otoriter dicirikan oleh ciri-ciri sebagai berikut:

1. Kurangnya kehangatan

Orang tua yang sering terlihat dingin, kasar dan tidak sopan, lebih banyak mengomel atau membentak anak daripada mendorong dan memuji serta menghargai disiplin di atas kesenangan anak. Orang tua yang otoriter jarang menunjukkan kehangatan kepada anaknya, bahkan jarang peduli dengan kebutuhan emosional anaknya, malah lebih sibuk bekerja dan memarahi anaknya. Orang tua kasih sayang mereka kepada anak-anak mereka tetapi tidak dengan cinta, orang tua yang otoriter ini lebih menunjukkan kemarahan mereka dan menuntut segalanya dari anak-anak mereka.

2. Sedikit kebebasan untuk memilih

Anak-anak tidak diberi kebebasan memilih dalam mengambil setiap keputusan. Umumnya, orang tua mengikuti aturan hitam dan putih. Jika cara tersebut tidak diikuti, anak dipersilakan pergi dan tidak akan diberikan kesempatan kedua kalinya.

3. Tidak sabar dalam mendidik

Orang tua otoriter menganggap anaknya hanya sekedar tahu tanpa dilibatkan dalam segala pengambilan keputusan. Pola asuh otoriter ditandai dengan orang tua otoriter yang tidak memiliki kesabaran untuk menjelaskan mengapa anak harus menghindari perilaku tertentu.

4. Kurangnya kepercayaan

Dalam pola asuh otoriter, orang tua tidak mempercayai anaknya untuk membuat pilihan yang baik dan tidak memberikan banyak kebebasan kepada anaknya untuk menunjukkan bahwa mereka tahu bagaimana berperilaku baik. Alih-alih membiarkan anak membuat keputusan sendiri dan menghadapi konsekuensi dari pilihan tersebut, orang tua yang otoriter justru menginstruksikan anaknya untuk tidak melakukan kesalahan.

5. Keengganan untuk bernegosiasi

Pola asuh yang otoriter membuat orang tua tidak percaya pada area abu-abu dan tidak pasti, situasi terlihat hitam dan putih, dan hanya ada sedikit atau tidak ada ruang untuk kompromi. Anak-anak tidak dapat berbicara tentang membuat aturan atau keputusan.

6. Menerapkan banyak aturan

Pola asuh yang otoriter seringkali menuntut banyak aturan dan standar yang tinggi. Aturan-aturan ini dirancang untuk memandu apa yang dilakukan anak-anak mereka. Anak-anak harus mengikuti beberapa atau semua aturan tanpa kecuali, jika suatu saat mereka tidak mengikuti aturan tersebut, orang tua akan menganggap anak tidak jujur ​​dan tidak kooperatif.

7. Mampu mendominasi

Orang tua yang berwibawa biasanya menempatkan dirinya pada posisi dominan, dan dalam hal ini anak tidak memiliki kesempatan untuk berbicara, apalagi berdebat. Mereka mengontrol aspek anak seperti saat anak berbicara, mengeluarkan pendapat bahkan hal-hal penting saat anak besar nanti. Orang tua yang menerapkan pola asuh ini percaya bahwa anak tidak boleh mengungkapkan keputusannya sendiri karena hanya orang tua yang tahu apa yang terbaik untuk anaknya.

8. Komunikasi satu arah

Orang tua yang otoriter tidak melibatkan anaknya dalam pengambilan keputusan, karena mereka percaya bahwa anak tidak sepenuhnya memahami pilihannya. Mereka cenderung membuat alasan tentang apa yang diinginkan anak dan apa yang dibutuhkan anak. Ketika mereka bersikeras bahwa anak-anak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan mereka.

9. Hukuman keras

Ketakutan dan kemarahan adalah sumber kontrol utama bagi orang tua yang otoriter, dimana orang tua tidak segan-segan menggunakan hukuman yang keras untuk membuat anaknya menuruti kemauan orang tuanya. Bagi anak penurut, pola asuh seperti ini dianggap berhasil, walaupun pada kenyataannya anak hidup dalam ketakutan dan merasa tertekan bahkan terkadang ada beberapa anak yang mengalami gangguan emosional.

Namun, orang tua lebih fokus pada pergaulan daripada mengajarkan anak perilaku yang pantas. Studi telah menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam pendidikan otoriter mempengaruhi perkembangan mental anak-anak mereka.

Anak-anak tidak bahagia dan kurang percaya diri, tetapi anak-anak dapat memberontak dan menunjukkan perilaku seperti itu jika dalam lingkungan sosialnya gaya pengasuhan ini memberi kesempatan kepada anak untuk juga mengalami kecanduan alkohol dan obat-obatan dan gangguan mental seperti depresi.

Dampak Pola Asuh Otoriter

1. Kurang percaya diri

Jika seorang anak dibesarkan dengan pola asuh otoriter, ia cenderung tumbuh menjadi anak tanpa rasa percaya diri, yang menghambat kemajuan anak. Hal ini disebabkan sikap otoriter orang tua yang selalu merasa pendapatnya paling benar, tanpa mempertimbangkan keinginan anak.

Sikap otoriter dan kekerasan orang tua mempengaruhi kepribadian anak, dan kepercayaan diri anak menjadi rendah dan hal ini menghambat kemajuan anak (Shochib, 2000).

2. Anak menjadi agresif

Dampak pola asuh otoriter sangat berbanding terbalik dengan dampak pola asuh demokratis dimana anak tumbuh menjadi pribadi yang lebih agresif karena paksaan orang tua. Anak harus selalu mengikuti aturan yang diberikan oleh orang tua.

Pola asuh seperti ini, biasanya diterapkan oleh orang yang kadang terlalu kasar pada anak, sikap kasar orang tuanya, membentuk anak menjadi pribadi yang agresif.

Anak merekam dan meniru semua perilaku kekerasan orang tua yang dilakukannya kepada anak. Pada kasus yang lebih parah terkadang pola asuh otoriter ini dampaknya akan membuat anak mengalami gangguan pasif agresif.

3. Timbulnya konflik internal

Konflik internal adalah konflik pribadi yang diakibatkan oleh adanya dua atau lebih keinginan atau gangguan yang saling bertentangan dan mendominasi diri individu, sehingga mempengaruhi sikap, perilaku, tindakan dan keputusannya. Konflik internal ini biasanya mempengaruhi setiap orang dalam kehidupan mereka.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pola asuh otoriter sangat mempengaruhi perilaku anak. Seperti anak kecil yang biasanya diam tanpa perlindungan, ketika orang tuanya memarahinya, bukan berarti dia menerima semua yang dikatakan orang tuanya, tetapi dia bingung harus berbuat apa dengan dirinya sendiri, sehingga terjadi konflik internal di hati anak.

4. Tidak aman secara emosional

Orang tua yang menunjukkan kasih sayang kepada anaknya dengan cara yang tidak tepat, misalnya karena orang tua terlalu menyayangi anaknya sehingga orang tua menetapkan peraturan yang mudah diikuti untuk mencegah anak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak diinginkan.

Oleh karena itu, anak-anak yang orang tuanya memperlakukan mereka seperti itu mengira bahwa orang tuanya tidak menyayangi mereka. Sehingga ada rasa tidak aman di hati sang anak. Padahal salah satu kebutuhan terkuat anak adalah rasa aman dalam hubungannya dengan diri sendiri dan lingkungannya.

Anak-anak atau remaja merasa aman ketika berada di sekitar orang tua atau seseorang yang dapat melindungi mereka dari bal-hal yang dapat mengancam rasa aman mereka. Setiap anak membutuhkan rasa aman diatas segalanya, berkat rasa aman yang ditawarkan oleh orang tua, anak lebih mampu mengekspresikan dirinya, berkembang dan beradaptasi di lingkungan baru. Terutama keselamatan jiwa. Keamanan emosional lebih berkaitan dengan kebutuhan anak akan cinta dan kasih sayang.

5. Depresi

Depresi menurut Karton adalah bentuk kesedihan yang dapat terjadi dalam bentuk (sedih, duka, sakit hati) yang bersifat patologis. Patah hati, menyalahkan diri sendiri, dan trauma psikologis merupakan bentuk kekerasan psikis pada anak yang dapat menyebabkan perasaan depresi ini.

Orang tua yang selalu mengikuti keinginan anaknya sambil menuruti segala perintahnya untuk mengatur pilihan anaknya tanpa memperdulikan apa yang anaknya pilih akan menyebabkan kesulitan dalam mengikuti perintah orang tuanya dan menimbulkan depresi pada anak tersebut.

You may also like