Psikologi forensik, menurut Putwain dan Simon (Probowati, 2008, hlm. 26), mendefinisikan psikologi forensik sebagai semua jenis layanan psikologis yang diberikan dalam kerangka hukum. Pada saat yang sama, Brigham (Sundberg et al., p. 357) memberikan pengertian bahwa psikologi forensik sebagai penerapan psikologi yang cukup luas pada semua masalah hukum atau penerapan sempit psikologi klinis pada sistem hukum.
Dalam Kamus Dunia Baru Webster (1988) (Sundberg et al, 2007, hal. 358) mendefinisikan psikologi forensik sebagai khas atau sesuai untuk proses hukum, dengar pendapat publik atau argumen formal, khusus dalam penerapan pengetahuan ilmiah, terutama pengetahuan medis, atau terkait dengan masalah hukum seperti investigasi kejahatan.
Menurut Devi (dalam Byrne and Baron, 2005, p. 217), dikemukakan bahwa psikologi forensik adalah studi tentang masalah hukum. Rizky (2009) mendefinisikan psikologi forensik sebagai setiap pekerjaan psikologis yang secara langsung membantu pengadilan, pihak yang berperkara, lembaga pemasyarakatan, fasilitas kesehatan mental forensik, dan badan administratif, yudikatif, dan legislatif yang bertindak sebagai hakim.
Secara jelasnya akan dijelaskan tujuan psikologi forensik sebagai berikut:
1. Mengetahui kondisi mental tindak pelaku tindak pidana
Dengan bantuan cara kerja psikologi forensik, keadaan psikologis para tindak pidana kejahatan dapat diketahui dengan lebih tepat. Ini adalah fitur yang sangat berguna dalam menentukan apakah seorang penjahat memiliki gangguan kejiwaan atau tidak.
Memahami kondisi mental pelaku tindak kejahatan ini sangat penting dalam psikologi forensik karena dengan memahami kondisi mental tersebut tim investigasi mudah memahami penyebab terjadinya suatu perkara kejahatan.
2. Membantu pendekatan psikologis dalam proses penelitian
Pendekatan psikologis dapat dilakukan dengan menggunakan psikologi forensik. Kita melihat bagaimana para penjahat terkadang tidak mau bekerja sama dengan memberikan pernyataan yang membingungkan. Kita juga akan mempelajari ciri-ciri pendekatan psikologi komunikatif tujuannya adalah agar pesan yang disampaikan lebih akurat serta dapat mengurangi hambatan yang mungkin terjadi.
3. Membantu informasi proses investigasi
Proses teknik investigasi dalam psikologi forensik yang sedang berlangsung juga dapat mengacu pada kontribusi psikologi forensik. Artinya, psikolog forensik dapat membantu dengan semua langkah yang diperlukan. Adapun lanhkah-langkah dalam melakukan investigasi yaitu:
- Kumpulkan semua informasi yang berkaitan dengan kejadian
- Membuat tim investigasi khusus
- Meruntut kan kejadian/peristiwa
- Mengidentifikasi semua kejadian/peristiwa
- Mengidentifikasi akar dari penyebab kejadian tersebut dan yang terakhir adalah membuat referensi serta laporan kejadian/peristiwa
4. Mencari penyimpangan secara psikis
Seperti yang sudah dijelaskan, seseorang bisa memanipulasi dirinya sendiri untuk menghindari tuduhan. Oleh karena itu, salah satu tugas psikologi forensik dalam penyidikan tindak pidana adalah menemukan pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut bisa ditemukan melalui kasus atau tindak kejahatan yang dilakukan oleh pelaku seperti, kekerasan baik fisik maupun psikis, pembunuhan, pencurian, pelecahan seksual serta kejahatan-kejahatan berat lainnya. Dengan melakukan penyidikan atau investigasi secara berlaku mudah
5. Menemukan motif kriminal
Psikologi forensik dapat mengungkap motif kejahatan dan dampak psikologis pelaku kriminalitas. Hal ini terutama dilakukan untuk mengetahui apa sebenarnya alasan seseorang melakukan kejahatan. Motif kejahatan itu kemudian dapat menjadi dasar untuk menentukan hukuman yang pantas bagi orang tersebut.
Psikologi juga memiliki cabang khusus ilmu hukum yaitu psikologi forensik. Pada tahun-tahun sebelumnya, psikologi Indonesia hanya mengenal lima bidang, yaitu psikologi perkembangan, psikologi industri, psikologi pendidikan, psikologi intervensi sosial, dan psikologi klinis. Sebaliknya, di Eropa dan Amerika Serikat, dari bidang psikologi ke bidang psikologi forensik.
Psikologi forensik mulai muncul dan terlihat pada awal tahun 2000-an dan terus berkembang hingga saat ini. Salah satu contoh psikologi forensik Indonesia yang mulai masuk ke ranah penegakan hukum adalah kasus Sumanto pemulung Purbalingga tahun 2003. Meski psikolog mendiagnosa Sumanto sebagai gangguan jiwa/psikopat, ia kemudian ditempatkan di bangsal khusus pasien gangguan jiwa, yakni Bangsal Sakura Kelas III.