Salah satu karya pemikiran mengenai sinkronitas bahasa tubuh dengan pikiran dan perilaku manusia termutahir adalah teori Darwin (1800-an) yang mencanangkan pemikiran Ethology, yakni temuan bahasa tubuh yang mencerminkan asal-usul evolusi komunikasi nonverbal manusia.
Bahasa tubuh yang memberi pesan khusus merupakan salah satu cara utama kita untuk memahami motivasi, niat, dan emosi orang lain (Patel, 2014). Teori ini dapat dipahami secara logis karena penggunaan bahasa verbal melalui mulut dapat dimanipulasi, sementara secara psikologi bahasa tubuh bersifat natural dan bergerak secara tidak sadar, serta refleks cepat yang bekerja tanpa menunggu instruksi penafsiran dari organ otak.
Fakta Bahasa Tubuh Melipat Tangan di Dada
- Berbicara megenai otak, tingkat kognitif, dan kepekaan setiap individu yang beragam, penafsiran bahasa tubuh orang lain juga menimbulkan beragam persepsi atau bahkan berpotensi terjadinya miskomunikasi. Oleh karena itu, konteks pesan simbolik menjadi faktor penting dalam berinteraksi dan memahami perilaku orang lain. Seperti ketika seseorang melipat tangannya di dada, asumsi dan persepsi internal orang lain akan berbeda-beda berdasarkan situasi, relasi, dan interaksi yang terjadi.
- Sebuah penelitian (Driver & van aalst, 2011) menemukan bahwa 7 dari 10 orang melipatkan lengan kiri di atas lengan kanannya. Hasil temuan ini menyiratkan bahwa posisi sikap melipat tangan mungkin saja bersifat genetik dan terpola, yang mana secara umum lengan kiri yang kurang dominan melindungi lengan kanan yang lebih berguna.
- Selain itu, cara setiap individu dalam melipat tangan, atau dalam konteks bahasa tubuh lain, bisa bermacam-macam. Fakta ini selaras dengan fakta yang menunjukkan bahwa tubuh manusia mampu menciptakan ribuan gerakan atau isyarat yang mengandung pesan atau makna tertentu.
Melansir laman Science of People, berikut penafsiran atau persepsi secara psikologi bahasa tubuh melipat tangan di dada yang mungkin seringkali kita temui di kegiatan sehari-hari.
1. Sikap Formalitas
Bahasa tubuh melipat tangan di dada mungkin kebanyakan dianggap sebagai sikap yang bossy, atau berusaha menunjukkan integritas, wibawa, dan kekuasaannya kepada orang lain. Kadang-kadang posisi tangan seperti ini bisa disalahartikan sebagai sikap yang menindas orang lain, terkesan dingin dan enggan menerima pandangan atau perspektif yang tidak sejalan dengan keinginannya.
Seperti ketika melihat pemangku kepentingan atasan sedang berbicara dengan bawahannya, bahasa tubuh ini kerap muncul secara tidak sadar. Bisa jadi posisi ini hanya untuk menegaskan posisinya sebagai pemegang keseimbangan dan mempertahankan sisi wibawa, sifat elegan dan bijaksana di dalam dunia pekerjaan.
2. Perilaku Defensif
Berkaitan dengan penafsiran sebelumnya, posisi tubuh yang melipat tangannya di dada juga bisa berarti perilaku defensif yang digunakan untuk mempertahankan diri secara mental ketika diserang secara pribadi oleh orang lain. Selama percakapan atau diskusi berlangsung, perilaku defensif berusaha untuk tidak terbawa ke dalam arus perdebatan.
Justru sedang berupaya untuk mengikuti dan mengungguli forum sehingga citra diri secara psikologi tetap dianggap tinggi. Perilaku ini cenderung ingin menggali seberapa jauh pemahaman orang lain dan ingin menampilkan kesiapan di dalam sebuah perdebatan argumen yang bertabrakan atau kurang memuaskan.
3. Tingkat Relaksasi atau Kenyamanan
Rata-rata orang melipat tangannya karena merasa nyaman atau menciptakan perasaan nyaman untuk dirinya, alih-alih diliputi perasaan tegang dan dingin. Bahasa tubuh menjadi berubah penafsirannya apabila gerakan anggota tubuh dikombinasikan dengan ekspresi wajah.
Perilaku melipat tangan termasuk bagian dari macam-macam relaksasi agar hati tenang, yakni relaksasi otot progresif yang seringkali dilakukan oleh kenayakan orang. Biasanya, posisi melipat tangan di dada yang bersifat suka cita dan ketenangan bersamaan dengan perilaku memejamkan mata atau gerakan peregangan tubuh untuk melemaskan otot-otot.
Misalnya, ketika seorang individu sedang menunggu sesuatu, maka ia akan meletakkan punggungnya dengan rileks ke arah belakang sambil melipatkan tangannya di dada. Atau, ketika seseorang sedang nyaman merebahkan tubuhnya di alas yang hangat.
4. Amarah atau Emosi
Secara sadar atau tidak, kita mungkin kerapkali melipat tangan di dada apabila sedang merasa kesal atau kecewa terhadap orang lain. Sikap yang terjadi secara naluriah ini mencerminkan wujud agresif dari seseorang yang biasanya dikombinasikan dengan ekspresi wajah yang tegang dan posisi mulut terkatup. Amarahnya juga bisa memiliki tendensi kebingungan dan membutuhkan penjelasan lebih rinci.
Bahasa tubuh yang mencerminkan keadaan agresif seperti ini masih berupaya menahan diri agar tidak melupakna amarahnya secara berlebihan. Hal ini karena emosi yang tidak terbendung akan menunjukkan sikap refleks yang lebih “keras” dari melipat tangan, seperti mengepalkan tangan.
5. Membangun Konsentrasi
Perilaku melipat tangan di dada biasanya dialami pula oleh seseorang yang sedang proses memahami suatu tugas atau pekerjaan yang dirasa sulit. Posisi tangan ini menunjukkan keinginan kuatnya untuk membangun konsenrasi penuh guna memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
Secara psikologi, posisi melipat tangan di dada memberikan “tumpuan” kekuatan untuk tidak segera menyerah dan mempertahankan motivasinya dalam menemukan solusi atas permasalahan yang harus dipecahkan secara mandiri.
Bahasa tubuh ini juga bisa diartikan sebagai seseorang yang sedang dalam proses mencermati sebuah informasi, berpikir dan melakukan penalaran secara kritis, dan memiliki keinginan untuk meresponnya berdasarkan pandangan yang sedang ia olah bersama dengan informasi yang diterima.
Berkenaan dengan konsep berpikir dalam sebuah diskusi, penting untuk mengidentifikasi cara membangun sikap kritis yang harus diketahui yang tidak tendensius negatif sehingga bahasa tubuh kita tidak dianggap sebagai keangkuhan dalam konteks berbagai pandangan.
6. Kecemasan
Selain mengartikulasikan sebuah ketenangan dan amarah, perilaku melipat tangan di dada juga mencerminkan kecemasan seseorang. Kondisi yang serupa, akan menghasilkan suasana perasaan yang berbeda. Apabila sebelumnya disinggung bahwa seseorang yang sedang menunggu akan bersantai dengan melipat tangannya, bisa jadi dengan kegiatan yang sama seseorang justru merasa cemas dengan kemungkinan yang akan dihadapi.
Selain itu, seorang individu yang hendak melakukan sesuatu yang membuatnya tidak merasa aman atau menimbulkan pikiran-pikiran berlebihan, bahasa tubuh ini akan dimunculkan sebagai respon alamiah atas perasaan dan pikirannya untuk menjaga kestabilan emosionalnya. Misalnya, hendak berbicara di depan public secara luas, di dalam suatu perlombaan atau kejuaraan, dan kegiatan-kegiatan lain yang juga berkaitan dengan gangguan kecemasan (anxiety disorder).