Home » Gangguan Psikologi » Sindrom » Proses Perkembangan Kognitif Anak Berkebutuhan Khusus

Proses Perkembangan Kognitif Anak Berkebutuhan Khusus

by Hana Masita

Kehadiran seorang anak ke dunia pasti merupakan peristiwa yang sangat dinantikan oleh pasangan suami dan istri. Namun, tidak semua anak terlahir sempurna, baik dalam segi fisiknya maupun dari segi mentalnya.

Anak yang tidak terlahir sempurna memiliki kelainan atau penyimpangan dibandingkan rata-rata anak lain yang normal. Penyimpangan ini bisa saja mengganggu sosial, kognitif, maupun kemampuan-kemampuan lainnya.

Dengan adanya perbedaan antara anak yang kurang sempurna ini, maka orang tua dan guru perlu memahami bahwa proses belajar dan perkembangan anak ini pun berbeda. Hal ini bertujuan untuk membantu para orang tua dan guru menyesuaikan pola dan sistem pembelajaran untuk anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.

Aspek Perkembangan

Pengembangan potensi anak berkebutuhan khusus ini perlu pengarahan dan bimbingan dengan pendekatan yang berbeda, menyesuaikan proses perkembangan kognitif anak berkebutuhan khusus tersebut. Untuk memahami perkembangan anak tersebut, perlu pemahaman tentang aspek-aspek perkembangan abnormalitas seorang anak berkebutuhan khusus. Aspek tersebut adalah sebagai berikut:

  • Aspek fisik – yaitu ketidakmampuan anak yang memiliki kebutuhan khusus dari segi fisiknya. Sebagai contoh anak tunarungu, tunadaksa, tunawicara, dan lain sebagainya. (Baca juga: Masalah Psikologis pada Anak Tunarungu)
  • Aspek sosial – dalam hal aspek sosial, anak berkebutuhan khusus akan mengalami kesulitan dalam bersosialisasi ataupun menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya. Anak yang memiliki kesulitan dalam aspek sosial termasuk dalam kategori tunalaras.
  • Aspek mental – ada dua jenis kemampuan mental seorang anak. Yang pertama adalah anak dengan mental lebih (supernormal), atau anak berbakat, dan yang kedua adalah anak yang memiliki kemampuan mental rendah (subnormal), atau tunagrahita. (Baca juga: Cara Mendidik Anak Down Sindrom)

Dengan beberapa aspek perkembangan di atas, kita dapat mengetahui bahwa anak-anak yang memiliki perkembangan abnormal akan mengalami kesulitan dalam banyak aspek kehidupannya.

Anak-anak seperti inilah yang termasuk dalam golongan anak berkebutuhan khusus, yaitu anak-anak yang mengalami gangguan atau sulit untuk berhasil seperti anak normal lainnya. Maka, guru dan orang tua harus sangat memahami gangguan yang dialami oleh anak-anak tersebut untuk memahami proses perkembangan mereka serta mengoptimalkan proses belajar mereka.

Perkembangan Kognitif Anak Berkebutuhan Khusus

Kognitif berasal dari kata cognition yang berarti pengertian, atau mengerti. Secara luas, kognitif juga berarti perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Selanjutnya, kognitif menjadi wilayah psikologi manusia tersendiri yang meliputi setiap perilaku mental manusia, yang memiliki hubungan dengan pemahaman, pemberian perhatian, membuat pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, dan seterusnya.

Menurut para ahli jiwa, keberadaan kognisi ini sangat penting dalam pembentukan perilaku seseorang, yaitu tindakan mengenal dan memproses situasi dimana perilaku tersebut terjadi.

Perkembangan kognitif manusia terjadi sejak dia masih bayi, meskipun perkembangan secara biologis sudah terjadi sejak bayi masih berada di dalam kandungan. Menurut Piaget (Desmita, 2006:104), pemikiran seorang anak berkembang melalui serangkaian tahap pemikiran dari masa bayi hingga dewasa.

Baca juga:

Dalam proses perkembangan kognitif anak, banyak hal yang terlibat untuk mendukung perkembangan tersebut. Salah satu hal yang terlibat di dalamnya adalah ‘kesempurnaan’ panca indera yang menerima stimulus dari luar.

Panca indera, seperti indera penglihatan, pendengaran, dan indera lainnya, akan menerima banyak sekali stimulus dari lingkungan luar yang nantinya akan diterima dan diproses oleh otak. Pemrosesan ini yang membentuk konsep dan pengertian pada diri seorang anak, termasuk proses belajarnya. Hal inilah yang sering membedakan antara anak normal dengan anak berkebutuhan khusus.

Karakteristik khusus anak berkebutuhan khusus umumnya berhubungan dengan tingkat perkembangan secara fungsional. Karakteristik tersebut meliputi tingkat perkembangan sensorik motorik, kemampuan kognitif, kemampuan berbahasa, kemampuan berinteraksi, serta kemampuan berkreasi.

Untuk bisa menilai kemampuan anak, guru biasanya akan melakukan proses skrining atau penilaian supaya bisa melihat kompetensi yang dimiliki oleh anak tersebut. Tujuan dilakukannya penilaian ini adalah untuk bisa membuat program pembelajaran yang tepat dan sesuai untuk anak. (Baca juga: Implikasi Psikologi Perkembangan terhadap Pendidikan Prasekolah)

Biasanya, anak berkebutuhan khusus membutuhkan intervensi-intervensi yang berbeda, menyesuaikan dengan kemampuan dan kelemahan anak. Dengan intervensi yang sesuai, kelainan perilaku anak dapat diatasi dan pembelajaran pun berjalan dengan lancar.

Model pembelajaran pun lebih difokuskan untuk membantu anak berkebutuhan khusus berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Secara khusus pembelajaran disusun untuk menggali kemampuan anak yang paling dominan dan berdasar pada kurikulum berbasis kompetensi.

Mengapa pembelajaran lebih difokuskan pada interaksi sosial? Pada anak berkebutuhan khusus, gangguan utama yang harus terlebih dahulu diatasi adalah gangguan pada perilaku non adaptif mereka. Biasanya anak berkebutuhan khusus sering mudah ketakutan, seperti takut pada binatang, gelap, dan lain-lain.

Tidak hanya itu, biasanya juga terdapat gangguan perilaku agresif, atau sebaliknya, perilaku pendiam dan menarik diri dari lingkungan. Gangguan-gangguan seperti ini perlu diatasi terlebih dahulu melalui pengkondisian lingkungan yang bisa mendorong perkembangan perilaku mereka secara optimal.

Jika gangguan dalam perilaku adaptif mereka sudah bisa diatasi, maka anak dapat mulai masuk dalam program pendidikan individual. Anak-anak berkebutuhan khusus dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan kecerdasan, yaitu kelompok berkecerdasan di bawah normal, kelompok berkecerdasan normal atau rata-rata, dan kelompok yang bekecerdasan di atas rata-rata. Setelah anak-anak dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecerdasan ini, maka proses perkembangan kognitif dapat lebih mudah didukung dengan metode-metode yang disesuaikan dengan jenis keterbatasan atau kebutuhan mereka masing-masing. (Baca juga: Komponen Dalam Kognisi Untuk Membentuk Pengetahuan)

Misalnya, pada anak tunanetra akan mengalami keterbatasan dalam hal menerima stimulus melalui indera penglihatan. Maka, guru dan orang tua akan bisa membantu memanfaatkan indera lainnya di luar indera penglihatan untuk menerima rangsangan atau informasi.

Baca juga:

Memang hal ini cukup sulit untuk dilakukan. Segala keterbatasan yang dimiliki anak berkebutuhan khusus akan membuat anak mengalami ketidakutuhan informasi yang bisa mengurangi kesan, pembentukan persepsi, penanaman memori dan pemahaman terhadap objek yang diamati.

Maka, pemanfaatan atas indera lainnya harus dilakukan secara maksimal agar bisa membangun kemampuan kognitif yang lebih optimal. (Baca juga: Cara Menangani Anak Berkebutuhan Khusus)

Namun, tetap terdapat kesulitan yang mungkin akan dihadapi dalam proses perkembangan kognitif anak berkebutuhan khusus. Dalam hal ini adalah keadaan lingkungan yang selalu berubah dan dinamis, yang mungkin akan lebih mudah dikenali dan dipelajari oleh anak-anak normal.

Keterbatasan yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus akan menyebabkan perkembangan kognitif anak sedikit terhambat karena kesulitan menangkap dan mengenali perubahan tersebut.

Melihat pembahasan di atas mengenai proses perkembangan kognitif anak berkebutuhan khusus, kita dapat mengetahui bahwa peran guru dan orang tua sangatlah penting dalam tumbuh kembang mereka. Dukungan lingkungan dan pemahaman yang baik terhadap anak berkebutuhan khusus bisa membantu memaksimalkan potensi anak, termasuk potensi kognisi mereka. Semoga artikel ini bermanfaat, ya!

You may also like