Mungkin hampir semua orang pernah mendengar terdapat seseorang yang menganggap dirinya mengalami OCD karena mereka lebih menyukai rumah yang rapi atau karena mereka selalu mencuci tangannya sebelum makan. Namun, profesional yang menangani OCD, dorongan untuk selalu rapi dan sering mencuci tangan tidak secara langsung menunjukkan diagnosis klinis OCD.
Pertama-tama, perlu diketahui bahwa Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) atau dalam bahasa Indonesia disebut gangguan obsesif-kompulsif merupakan gangguan psikologis yang ditandai dengan pikiran atau dorongan yang terjadi secara terus menerus (obsesif) dan ditunjukkan dengan perilaku atau aktivitas berulang untuk mengatasi rasa obsesi tersebut (kompulsif).
Salah satu jenis dalam OCD adalah contamination OCD atau secara sederhana OCD yang terkait dengan kotoran. Penderitanya merasa terobsesi untuk tertular penyakit atau menyebarkan kuman, mengalami pikiran intrusif atau ketakutan terkait hal-hal tersebut. Akibatnya, pikiran mereka terganggu dan menyebabkan kecemasan yang serius, sehingga melakukan perilaku kompulsif, seperti mencuci berlebihan/berulang dan menghindari keramaian.
Berdasarkan penelitian, OCD merupakan gangguan yang tidak sepenuhnya dapat sembuh atau hilang seketika, tetapi gangguan ini dapat ditangani agar gejalanya semakin berkurang dan lebih terkendali. Terdapat cara mengatasi gangguan obsesif kompulsif secara umum. Berikut adalah beberapa cara mengatasi OCD takut kotor yang dapat diterapkan, yaitu:
1. Mencari Tahu Penyebabnya
Langkah pertama dalam upaya mengatasi pikiran obsesif adalah menyadari gejala apa saja yang muncul dan menelusuri hubungannya hingga ke faktor penyebab gejala. Setelah itu, coba urutkan tingkat kecemasan yang muncul terhadap penyebab tersebut. Jika sudah mengetahui penyebabnya, carilah cara untuk mengatasinya, yakni dengan mendatangi profesional, seperti psikolog atau psikiater.
2. Melawan Pikiran Obsesif yang Muncul
Obsesi menurut psikologi menjadi sumber dari perilaku kompulsif. Maka dari itu, pola pikirlah yang perlu diatasi terlebih dahulu. Ketika mulai muncul rasa cemas, coba diam sejenak lalu tanyakan kembali kepada diri sendiri mengenai benar atau tidak bahwa ketakutan yang dirasakan perlu ditakuti. Dengan kata lain, ketika mulai merasa cemas, jangan langsung menanggapinya dengan perilaku kompulsif.
3. Mengurangi Jumlah Tindakan Kompulsif
Kemudian, perilaku kompulsif juga perlu dikurangi intensitasnya. Misal, coba hitung berapa kali melakukan perilaku kompulsif, seperti mencuci tangan. Ketika sudah diketahui biasanya mencuci tangan sebanyak sepuluh kali sebelum makan, di momen lain ketika ingin makan, cobalah untuk mencuci tangan sebanyak enam kali saja, empat kali saja, dua kali saja, hingga perlu 1 kali saja.
4. Menunda Tindakan yang Berulang
Biasanya pengidap OCD memiliki ritual atau tindakan berulang yang harus segera dilakukan, seperti ketika berpikir belum membersihkan piring padahal sudah mencucinya berkali-kali, sehingga terus-menerus mencucinya. Cobalah untuk menahan perilaku tersebut dengan menunggu secara bertahap, misalnya satu menit, dua menit, empat menit, dan seterusnya sampai dorongan untuk mengulang kegiatan hilang.
5. Terapi Perilaku Kognitif
Terapi perilaku kognitif atau biasa dikenal juga dengan CBT merupakan salah satu cara pengobatan terbaik dan paling efektif untuk mengatasi berbagai tipe OCD, termasuk OCD kontaminasi. Hal ini dikarenakan CBT berkaitan langsung dengan pusat permasalahan gangguan OCD, yakni pikiran dan perilaku.
Selama CBT, terapis akan membantu untuk mengurangi kecemasan dengan mengidentifikasi pola pikiran yang mengganggu pandangan terhadap kenyataan dan mengarahkan pada pikiran obsesif. Terapis juga akan membantu untuk mengarahkan pada perilaku yang lebih produktif.
6. Terapi Penerimaan dan Komitmen
Terapi yang disebut dengan acceptance and commitment therapy (ACT) ini akan membantu orang dengan OCD untuk mempelajari dan menerima pikiran obsesif hanya sebagai pikiran biasa, seperti manusia pada umumnya. Terapis akan membantu orang tersebut untuk belajar menjalani kehidupan yang bermakna terlepas dari gejala OCD takut kotornya.
7. Exposure and Response Prevention (ERP)
Terapi ini dianggap sebagai psikoterapi garis terdepan untuk OCD. Dalam terapi ini, klien akan bekerja sama dengan terapis untuk mengidentifikasi penyebab eksternal dan internal yang memicu rasa stres dan menimbulkan keinginan untuk berperilaku kompulsif.
Metode yang digunakan adalah dengan cara sengaja menimbulkan kecemasan melalui ‘memberi makan’ obsesi dan kompulsi melalui proses bernama habituation atau pembiasaan. Tujuannya adalah untuk mengganggu sirkuit saraf di antara bagian pemrosesan dan tindakan di otak. Hal ini dikarenakan terdapat hubungan perilaku dengan kebiasaan.
8. CBT Berbasis Mindfulness
CBT jenis ini disebut juga dengan MBCT merupakan jenis psikoterapi yang menggabungkan gagasan terapi kognitif, praktik meditasi, dan penanaman kesadaran. Berbeda dengan ERP, MBCT mendorong klien untuk mengamati munculnya pikiran tidak menyenangkan dan melabelinya sebagai pikiran, perasaan, atau pengalaman tubuh, lalu tidak meresponnya dengan perilaku kompulsif.
Melalui cara itu, klien akan sadar bahwa pikiran yang muncul tidak memiliki kuasa atas diri mereka. Selain itu, klien juga lebih dapat mengenali dan menerima bahwa pikiran, perasaan, sensasi, dan dorongan yang tidak diinginkan adalah hal yang normal dalam kehidupan manusia.
9. Konsumsi Obat-Obatan
Terapi yang diiringi dengan mengonsumsi obat juga diketahui efektif untuk menurunkan gejala OCD. Kelas obat yang digunakan untuk OCD adalah selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs). Namun, untuk kaskus yang tidak sepenuhnya mengatasi SSRIs, kategori obat lain dapat coba ditambahkan.
Beberapa obat yang biasa digunakan untuk mengatasi OCD, yaitu: fluvoxamine (Luvox), sertraline (Zoloft), citalopram (Celexa), fluoxetine (Prozac), paroxetine (Paxil), clomipramine (Anafranil), dan escitalopram (Lexapro). Biasanya perlu waktu hingga 12 minggu sampai seluruh obat tersebut dapat mulai bekerja.
Terdapat beberapa contoh dari OCD kontaminasi ini, misalnya seseorang yang kesulitan menggunakan toilet umum, sehingga merasa sangat takut dan terkuras energinya ketika akan masuk ke kamar mandi. Selain itu, penderitanya juga merasa takut yang menuju pada obsesi terhadap cairan tubuh (contoh: darah, saliva, keringat), debu, radiasi, kuman, serangga, dan sebagainya.
Akibatnya, individu tersebut akan melakukan hal-hal seperti mencuci atau membersihkan secara berlebihan, sering mensterilkan atau memberi desinfektan pada benda-benda, ritual mencuci tertentu, melempar barang, menghindari benda yang dianggap kotor, mencari pengakuan dari orang lain bahwa ia tidak akan terkontaminasi, dan mengecek makanan atau benda dari kotoran secara terus menerus.