Home » Ilmu Psikologi » Psikologi Agama » Teori Monistik dalam Psikologi Agama

Teori Monistik dalam Psikologi Agama

by Barzam

Pembahasan kali ini akan mengupas mengenai teori monistik dalam psikologi agama. Psikologi agama merupakan salah satu cabang dari ilmu psikologi, dimana di dalamnya akan banyak sekali membahas mengenai nilai-nilai keagamaan dihubungkan dengan kaidah psikologi. Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku, tentu erat kaitannya pula dengan unsur manusia yang ada di dalamnya yaitu jiwa. Ketika kita sudah membicarakan mengenai jiwa, maka di dalamnya akan terkandung pula nilai spiritualitas. Berangkat dari sinilah kemudian psikologi agama bisa menjadi sebuah pembahasan yang menarik.

Baca juga:

Salah satu hal yang ada dalam psikologi agama ini adalah kajian mengenai teori monistik. Teori monistik sebenarnya memiliki sandingan yaitu teori fakulti. Kedua teori ini pada dasarnya sama-sama memiliki cara pandang mengenai bagaimana pemahaman dari sumber jiwa agama. Sumber atau asal usul dari agama ini kemudian menjadi sebuah konsep tersendiri yang berusaha dikaji oleh pakar, terutama untuk mencari tahu lebih banyak mengenai bagaimana sebenarnya hubungannya sisi psikologi dengan sumber nilai agama yang bisa muncul dalam diri individu.

Teori monistik beranggapan bahwa sebenarnya sumber jiwa yang kemudian muncul menjadi nilai agama sebenarnya berasal dari satu unsur dari bagian jiwa manusia saja. Artinya, nilai keagamaan tersebut muncul tidak dipengaruhi oleh banyak unsur jiwa yang ada dalam diri individu. Melalui pandangan teori monistik ini, maka muncul banyak sekali pendapat mengenai unsur jiwa apa yang menjadi sumber agama tersebut. Berikut adalah beberapa macam pandangan dari teori monistik tersebut:

  1. Thomas van Aquiono

Teori monistik yang pertama dikemukakan oleh Thomas van Aquiono. Ia berpendapat bahwa satu unsur yang menjadi sumber dari keagamaan adalah proses “berpikir” yang dimiliki oleh manusia. Ia menganggap bahwa manusia memiliki Tuhan karena ia mampu memiliki proses berpikir. Proses berpikir manusia membuat ia mencari tahu mengenai sebab akibat yang ada di dunia ini, termasuk bagaimana asal usul penciptaan. Proses berpikir demikianlah yang membuat manusia yakin bahwa ada penciptanya, yaitu Tuhan itu sendiri. (Baca juga: Konsep kepribadian dalam psikologi agama)

  1. Frederick Hegel

Hegel lebih mengemukakan pendapatnya mengenai teori monostik ini kepada bagaimana agama dianggap sebagai sebuah pengalaman yang sungguh-sungguh benar. Ia juga mengemukakan bahwa agama merupakan suatu hal yang ketepatannya bersifat abadi. Pengalaman ini juga dianggap sebagai asal muasal dari sumber ajaran keagamaan ini. Teori dari Hegel ini sebenarnya juga masih memiliki hubungan dengan teori dari Aquiono, dimana pada dasarnya proses berpikir yang dimiliki manusia membuat agama itu muncul dan menjadi sebuah kepercayaan yang dimiliki oleh manusia.

  1. Rudolf Otto

Rudolf Otto menganggap bahwa sumber jiwa agama merupakan rasa kagum yang bersumber dari The Whaly Other. Istilah ini merujuk pada sesuatu yang sifatnya “sama sekali lain”. Jadi, ketika seseorang merasa kagum terhadap sesuatu yang “lain”, dimana ia belum pernah menemukan sesuatu tersebut selama hidupnya, maka ia bisa menemukan sebuah perasaan yang membuatnya menjadi lebih spiritual sehingga timbullah suatu keyakinan atau kepercayaan dalam dirinya. Perasaan dimana seseorang mengalami keadaan kagum terhadap sebuah pengalaman yang berbeda, diistilahkan keadaan mentalnya dalam keadaan “numinous”. Otto juga menganggap bahwa apa yang menjadi kekaguman individu tersebut akan menggerakkan dirinya dalam memperkaya nilai spiritualitasnya.

  1. Sigmund Freud

Jika proses berpikir dan pengalaman menjadi dasar dari banyak pakar dalam teori monostik, maka berbeda halnya dengan Sigmund Freud. Freud yang sangat terkenal dengan konsep perkembangan psikoseksualnya ini, beranggapan bahwa sumber keagamaan yang ada sebenarnya dilandasi dari unsur jiwa manusia yaitu libido seksual (naluri seksual). Ia menganggap bahwa dengan adanya libido tersebut, maka muncul konsep mengenai Tuhan dan juga upacara keagamaan. Freud menggambarkan proses ini melalui dua macam, yang pertama yaitu oedipus complex. Istilah ini merujuk pada cerita yang ada dalam mitologi Yunani kuno, dimana karena ada perasaan cinta terhadap ibunya, Oedipus membunuh ayahnya. Oedipus complex di sini menggambarkan bagaimana perasaan cinta terhadap ibu. Kemudian setelah terjadi pembunuhan terhadap ayahnya, maka muncul father image (cinta ayah). Di sini Oedipus digambarkan mengalami penyesalan yang luar biasa karena membunuh ayahnya sendiri. Oedipus kemudian melakukan pemujaan-pemujaan tertentu untuk menebus rasa bersalahnya. Melalui proses tersebut kemudian Freud menganggap bahwa pemujaan atau konsep Tuhan itu berasal dari naluri cinta individu. (Baca juga: 15 hubungan interpersonal dalam kesehatan mental)

Setidaknya beberapa tokoh tersebut menggambarkan bagaimana teori monistik tersebut dengan cukup lugas. Hanya saja, banyak pakar yang menentang mengenai teori monistik tersebut. Agama tidaklah semata-mata berasal dari satu unsur kejiwaan individu. Namun paling tidak, kita bisa mendapat pengetahuan baru mengenai teori monistik dalam psikologi agama ini.

You may also like