Home » Ilmu Psikologi » Psikologi Klinis » 13 Etika dalam Praktik Psikologi Klinis

13 Etika dalam Praktik Psikologi Klinis

by Hana Masita

Etika mungkin merupakan sebuah kata yang cukup sering kita dengar. Etika sering dikaitkan dengan adab atau tata cara kita melakukan sesuatu. Pengertian ini tidak sepenuhnya salah karena dari etika memang muncul dari tata cara yang harus diikuti oleh subjek yang melakukan keilmuan tertent. Etika atau tata cara yang menjadi pedoman ini ada di setiap profesi dan digunakan untuk melindungi baik pelaku profesi maupun pengguna jasa dari profesi tersebut, termasuk profesi psikologi.

Dalam praktik psikologi, terutama psikologi klinis, terdapat etika yang berisi aturan dalam melaksanakan profesi tersebut. Etika ini akan membantu semua pihak merasa nyaman dan terlindungi ketika sedang melakukan atau mengkonsumsi jasa dari profesi psikolog. Dalam psikologi klinis ini etika sangatlah penting karena jika terjadi pelanggaran dari etika sangat mungkin pasien akan merasakan rasa malu, tidak berharga, atau beban-beban psikologis lainnya. Lalu, apa sajakah etika dalam praktik psikologi klinis itu? Yuk, simak pembahasan berikut!

  1. Data yang aktual dan dapat dipertanggungjawabkan

Hal pertama yang harus diperhatikan oleh psikolog klinis adalah keakuratan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini sangat penting karena data yang digunakan akan sangat mempengaruhi proses asesmen, proses analisis, terutama dalam melakukan diagnosa klinis, dimana diagnosa ini harus bisa dipertanggungjawabkan. Bagaimanapun, hasil diagnosa yang menjadi output dari psikologi klinis ini akan memberi dampak pada klien. (Baca juga:

Tidak hanya karena hasil diagnosa ini akan berdampak pada klien, hasil diagnosa dengan data yang aktual seringkali juga digunakan sebagai bahan pertimbangan atas keputusan tertentu, atau digunakan sebagai bahan penelitian lanjutan. Jika data yang digunakan tidak benar, maka tentu saja proses selanjutnya tidak akan menghasilkan data yang benar. Maka, penggunaan data yang aktual merupakan hal yang wajib bagi setiap psikolog.

  1. Kerahasiaan data klien

Etika kedua dalam praktik psikologi klinis adalah mengenai kerahasiaan data. Seorang psikolog atau psikoterapis wajib untuk menjaga kerahasiaan informasi klien. Kerahasiaan data klien ini tidak hanya terkait data catatan klien, melainkan juga mencakup kerahasiaan tentang kemajuan pengobatan, dokumentasi pemeriksaan dan pengobatan, semua data pengujian psikologis, juga informasi tentang perilaku ilegal, perilaku menyimpang atau informasi sensitif lainnya. (Baca juga: Teori Etika Dalam Psikologi)

  1. Memahami batasan kerahasiaan data

Setiap psikolog atau psikoterapis harus memahami bahwa ada batasan dalam penggunaan atau komunikasi informasi tentang data klien. Artinya, psikoterapis harus memahami batasan-batasan kerahasiaan data klien ketika mendiskusikan suatu informasi serta memahami pihak-pihak terkait mana yang berhak mengetahui dan diajak berdiskusi mengenai data tersebut. Tentu saja segala komunikasi atau diskusi mengenai data klien ini harus didasarkan pada kepentingan klien untuk membantu menyelesaikan permasalahannya.

  1. Transparansi tentang kewenangan psikolog

Tidak jarang psikolog menjadi merasa was-was ketika mendapatkan informasi sensitif terkait klien. Rasa was-was ini tentu bisa mempengaruhi ruang gerak psikolog atau psikoterapis sehingga membuat sesi konsultasi atau konseling menjadi kurang nyaman. Maka, terdapat etika yang bisa diterapkan mengenai hal ini yaitu tentang transparansi kewenangan psikolog. (Baca juga: Kode Etik Psikologi)

Dalam hal ini seorang psikolog atau psikoterapis dapat mendiskusikan batasan kerahasiaan yang bisa sangat membantu dalam membangun hubungan terapeutik atau konseling. Psikolog atau psikoterapis bisa menjelaskan sampai sejauh mana dia dapat menjaga kerahasiaan dan kapan dia perlu untuk berdiskusi terkait data sensitif klien. Hal yang penting adalah klien menyetujui semua kondisi untuk mengantisipasi kemungkinan penuntutan atau adanya pihak yang merasa dirugikan.

  1. Hubungan profesional antara psikolog dan klien

Seorang psikolog atau psikoterapis harus bisa menjaga profesionalitas saat memberi layanan psikologi. Jika dalam bidang hukum psikolog forensic tidak boleh menjalani peran ganda atau majemuk, maka dalam psikologi klinis juga terdapat etika terkait peranan yang diambil oleh psikolog.

Baca juga:

Salah satu permasalahan yang dikhawatirkan terjadi adalah adanya hubungan spesial antara psikolog dan klien. Dalam Bab IV Pasal 16 Kode Etik Psikologi Indonesia (2010), dapat dirangkumkan bahwa seorang psikolog harus menyangkal segala ketertarikan serta segala kemungkinan adanya hubungan spesial dengan klien karena hal ini melanggar etika.

Tidak hanya itu, psikolog atau psikoterapis juga harus menyampaikan pada klien bahwa hubungan spesial antara klien dan psikolog merupakan hal yang tidak etis. Jika psikolog dan klien tetap ingin melanjutkan hubungan spesial tersebut, maka psikolog wajib mengalihkan terapi dengan psikolog atau psikoterapis lain. Psikolog pun harus menjalani sesi terapi untuk dirinya sendiri agar tidak terjadi lagi hal yang sama dengan klien yang lain.

  1. Pemberian intervensi yang tepat

Setiap psikolog berkewajiban untuk memberi pelayanan, perawatan atau intervensi yang tepat untuk klien. Hal ini berarti psikolog harus menangani permasalahan yang dialami klien sesuai dengan kapasitas atau specialty dari psikolog tersebut. Dalam hal kompetensi psikolog tidak sesuai dengan kasus yang ditangani, maka psikolog wajib untuk mengalihkan penanganan kepada psikolog lain yang lebih kompeten dan mumpuni sehingga klien tetap menerima intervensi yang sesuai dengan kebutuhan. (Baca juga: Bentuk Intervensi Dalam Psikologi Klinis)

  1. Memberi rekomendasi psikolog lain yang kompeten

Dalam beberapa kasus, terdapat keterbatasan psikolog di suatu daerah sehingga seorang psikolog mendapatkan klien dengan kasus di luar kompetensinya.

Dalam hal ini, psikolog atau psikoterapis harus merekomendasikan psikolog lain yang lebih kompeten untuk menangani kasus tersebut. Hal ini bertujuan untuk menjaga hak klien dalam mendapatkan intervensi yang tepat. Akan tetapi, jika tidak memungkinkan di wilayah tersebut untuk merekomendasikan psikolog yang kompeten (misalnya, karena memang belum ada), psikolog harus memastikan kompetensinya tidak menimbulkan bahaya pada klien. (Baca juga:

  1. Berhati-hati dalam mendelegasikan layanan

Pada situasi tertentu psikolog atau psikoterapis perlu untuk mendelegasikan layanan pada rekan kerja atau profesi pendukung lain seperti penerjemah. Dalam hal ini seorang psikolog harus mengambil langkah-langkah tertentu, antara lain menghindari delegasi pada orang yang memiliki beberapa jenis hubungan dengan klien untuk menjaga objektivitas, memberi delegasi pada orang yang kompeten baik secara pendidikan, pelatihan, pengalaman, dan lain sebagainya.

  1. Selalu memberi informasi yang reliabel

Ada kalanya seorang psikolog diminta untuk memberi nasehat ataupun komentar melalui media cetak, internet atau media elektronik lainnya. Dalam hal ini, seorang psikolog wajib untuk berhati-hati dengan memastikan pernyataan mereka sesuai dengan pengetahuan profesionalnya, pelatihan, atau pengalaman yang sesuai dengan literatur dan praktik psikologi. Tidak hanya itu, penyataan yang diberikan juga harus konsisten dengan kode etik dan tidak mengindikasikan bahwa hubungan profesional telah terjalin dengan penerima.

  1. Tidak meminta testimonial

Seorang psikolog atau psikoterapis tidak mencoba mengumpulkan testimonial dari klien atau pasien yang sedang melakukan terapi atau orang lain yang karena kondisinya sangat rentan mendapatkan pengaruh yang tidak semestinya.

  1. Membuat dokumentasi yang terjaga

Selain melakukan terapi atau konseling, seorang psikolog atau psikoterapis wajib untuk membuat, dan selama rekaman ada di bawah kontrolnya, juga mempertahankan, menyimpan, hingga membuang rekaman data terkait pekerjaan profesional dan ilmiah untuk beberapa kepentingan, antara lain memfasilitasi layanan jasa selanjutnya, desain penelitian dan analisis, dan lain sebagainya. (Baca juga: Metode Assesmen Dalam Psikologi Anak)

  1. Selalu memperbarui pengetahuan dan keterampilan

Sama dengan profesi lainnya, seorang psikolog atau psikoterapis juga berkewajjiban dalam pendidikan dan program pelatihan untuk memastikan program tersebut dapat memberikan pengetahuan yang semestinya dan pengalaman yang dibutuhkan. Psikolog atau psikoterapis harus memastikan bahwa program yang dilakukan akan membantu mencapai sertifikasi, lisensi atau tujuan lain yang dimiliki oleh program tersebut. (Baca juga: Prinsip Belajar Menurut Psikologi)

  1. Mendiskusikan biaya konsultasi

Diskusi atau pembicaraan mengenai biaya konsultasi atau kompensasi lainnya harus dilakukan seawal mungkin ketika hubungan profesional terjalin. Biaya yang dikenakan pun harus sesuai dengan hukum dan psikolog tidak boleh membalik atau salah menggambarkan biayanya.

Etika dalam praktik psikologi klinis di atas hendaknya ditaati oleh seluruh psikolog ataupun psikoterapis. Hal ini demi menjaga pelayanan untuk klien agar memberi hasil sesuai dengan yang diharapkan. Semoga artikel ini bermanfaat, ya!

You may also like