Home » Ilmu Psikologi » Psikologi Anak » 9 Cara Mengatasi Anak yang Berwatak Keras

9 Cara Mengatasi Anak yang Berwatak Keras

by Wahyu Nur Laili

Dalam pelaksanaan parenting, orang tua menginstruksikan perintah dan larangan yang bertujuan untuk mengarahkan anak tumbuh menjadi seorang yang berperilaku baik. Menjadi hal yang lazim terjadi apabila anak kadang-kadang mempertahankan keinginannya dengan berbagai alasan pribadi sehingga harus terjadi perdebatan antara anak dan orang tua.

Kondisi ini menunjukkan anak memiliki kecenderungan berwatak keras atau keras kepala. Penyebab dari kemunculan sifat watak keras anak bisa bersumber dari berbagai faktor, di antaranya:

  • Pola asuh yang terlalu membatasi hak individu anak,
  • Kesalahpahaman antara persepsi anak dan orang tua,
  • Orang tua jarang mendengarkan opini anak,
  • Membentak atau meninggikan nada bicara kepada anak,
  • Orang tua tidak konsisten menerapkan batasan sikap,
  • Anak ingin memegang kontrol penuh atas kehendaknya,
  • Anak kurang merasa aman dan nyaman.

Menjadi tanggung jawab dan peran orang tua dalam psikologi anak yang penting untuk menuntun anak agar dapat mengendalikan sifat-sifatnya. Setiap orang tua memiliki cara pandang yang berbeda. Akan tetapi, ada beberapa tips menurut psikolog cara mengatasi anak yang berwatak keras yang setidaknya bisa diterapkan oleh kondisi keluarga secara umum, yaitu:

1. Menyikapi Anak dengan Tenang

Tidak perlu terbawa emosi apabila anak menunjukkan sikap penolakan pada instruksi dari orang tua. Memang, ketika disibukkan dengan pekerjaan rumah, apalagi kalau harus bekerja pula, orang tua lebih banyak yang akhirnya marah ketika anak tidak mau mengerjakan atau melakukan imbauan dari orang tua.

Memarahi anak dengan membentak biasanya malah memberikan rasa sakit hati dan kesal pada emosi anak sehingga sebagian anak berani untuk meng-counter balik reaksi dari orang tuanya. Cara ini membuat tanggung jawab orang tua menjadi bertambah. Sikapi respon anak dengan tenang, tetapi dengan pembawaan yang tegas.

2. Hindari Mendebat Argumen Anak

Kebanyakan anak yang berwatak keras akan menimpali orang tua dengan argumen-argumen lain untuk mempertahankan keinginannya. Kadang-kadang, anak justru “senang” ketika orang tua mendebat anak karena anak sudah mempersiapkan argumen balasan untuk menunjukkan kuasa atas kontrol diri.

Sebaiknya, orang tua membiarkan anak hingga perlawanannya selesai. Temukan ritme yang pas untuk dimasuki orang tua dengan tindakan selanjutnya, yaitu mendengarkan keluhan anak dan pola pikirnya terhadap gagasan yang berusaha dipertahankan oleh anak.

3. Memposisikan Diri sebagai Teman Cerita

Sebagai orang tua yang mengutamakan perkembangan psikis anak, perlu mendengarkan penjelasan dari anak. Pola asuh yang diterapkan dengan cara memposisikan diri orang tua sebagai teman cerita sang anak bisa menjadi jalan untuk memudahkan interaksi yang menguntungkan kedua pihak.

Dengarkan anak dengan seksama, pahami apa yang menurut anak benar. Ini karena sebagian besar anak berwatak keras memiliki pemahamannya sendiri yang dianggapnya lebih benar. Atau, anak tidak tahu alasan orang tua menyuruhnya melakukan berbagai hal di dalam rumah. Setelah mendengarkan, pastikan orang tua juga menjelaskan secara logis mengapa orang tua memberikan instruksi yang harus dijalankan oleh anak.

Selain sebagai teman cerita, pastikan juga orang tua berperan sebagai partner bekerja. Misalnya, ketika orang tua menyuruh anak membersihkan tempat tidurnya, pastikan orang tua berada di tempat tersebut dan membantu anak menyelesaikannya bersama. Tindakan ini bertujuan agar kesan yang ditampilkan tidak hanya orang tua yang suka menyuruh anaknya, tetapi sebagai tim.

4. Memposisikan Diri sebagai Si Anak

Cara berikutnya adalah memposisikan diri sebagai si anak. Orang tua perlu juga memikirkan bagaimana perasaan anak apabila dilarang atau diberi perlakuan tertentu. Orang tua bisa membayangkannya sehingga selanjutnya orang tua bisa memahami alasan anak menjadi keras kepala.

Mungkin saja, apa yang dibebankan orang tua terkesan agak memberatkan untuk anak. Maka dari itu, usahakan bahwa orang tua tidak memaksan anak secara berlebihan yang justru akan merangsang gangguan emosional jangka panjang.

5. Memberikan Contoh Sebelum Meminta Anak

Macam-macam tingkah laku anak selalu berawal dari meniru orang tuanya. Maka, agar kebiasaan di rumah yang terbangun adalah sikap yang baik, orang tua wajib mencontohkan kebiasaan sikap yang baik pula sebelum meminta anak untuk melakukan sesuatu.

Watak yang keras cenderung menyangsikan argument yang diberikan kepadanya. Bisa jadi, watak ini terbangun oleh pengamatan harian anak yang melihat orang tuanya beradu argument dan saling tidak mau mengalah. Cara paling efektif yang bisa dilakukan orang tua yakni melakukan metode introspeksi diri menyeluruh.

6. Memberikan Opsi Pada Anak

Apabila anak menolak sesuatu, tanyakan apakah anak mau melakukannya dengan opsi lain. Beri kebebasan pada anak untuk memilih sesuai dengan hatinya, di samping anak memiliki hak individu untuk menentukan pilihannya sendiri. Cara ini dapat menerapkan pola asuh demokratis, dimana dampak pola asuh demokratis dapat berpihak kepada perasaan anak.

Jadi, alih-alih hanya membatasi anak pada satu jenis perintah/larangan, berikan cara-cara lain yang memiliki konteks kerja yang sama sehingga tujuan orang tua memberlakukan instruksi tersebut tetap dapat tercapai. Misalnya, pilihan-pilihan tindakan untuk membantu pekerjaan ibu di rumah yang bermacam-macam, yang terpenting sikap tanggung jawab sebagai anak di rumah terpenuhi dengan cara yang beragam.

7. Membangun Rutinitas Keluarga Sejak Dini

Berhubungan dengan teladan yang diberikan orang tua, penerapan perilaku-perilaku baik di rumah harus dilakukan setiap hari hingga menjadi suatu rutinitas yang biasa dilakukan seluruh anggota keluarga. Kalau begini, anak yang berwatak keras jadi bisa lebih memahami maksud orang tua dengan baik dan menerimanya sebagai suatu keharusan yang tidak hanya dibebankan kepada anak.

Misalnya, kebiasaan bangun pagi hari. Anak berwatak keras akan mulai terbiasa bangun pagi hari tanpa mengomel apabila sudah dibiasakan dan menjadi rutinitas yang normal.

8. Membuat Konsekuensi yang Disepakati Bersama

Anak berwatak keras memang membutuhkan batasan berupa konsekuensi atau hukuman untuk membentuk dan mengarahkan anak. Lakukan diskusi yang melibatkan anak sehingga anak mengerti tentang apa itu konsekuensi dan tujuan dibuatnya sebuah konsekuensi. Dengan melibatkan anak, anak jadi belajar mengenai tanggung jawab dengan kesepakatan yang dibuat dengan persetujuan si anak.

Beri kebebasan kepada anak untuk memberi masukan terkait peraturan rumah yang dibuat dan lakukan proses diskusi degan tegas. Sikap yang tegas membuat anak melihat keseriusan orang tua dalam mendidik anak. Hindari pola pendidikan temporizer yang membuat anak bingung dengan konsekuensi yang tidak konsisten.

Selain konsekuensi dan hukuman, beri pula reward atau penghargaan, baik dalam bentuk ucapan terima kasih atau hadiah karena anak sudah mau belajar untuk patuh dan berbakti kepada orang tua. Tunjukkan kasih sayang kepada anak sehingga anak mau mengerti bahwa tujuan parenting atau didikan orang tua adalah wujud dari cinta.

9. Menciptakan Lingkungan Keluarga yang Menyenangkan

Lingkungan keluarga yang sehat dan damai menjadi alasan besar bagi anak untuk mendekatkan diri kepada orang tua. Ketika hubungan anak dan orang tua tidak ada pagar yang membatasi, penerimaan nilai-nilai baik akan lebih mudah tersampaikan. Sebaliknya, apabila hubungan tidak baik dan lingkungan keluarga sering didistraksi oleh pertengkaran di depan mata anak atau orang tua terlalu memaksakan anak secara otoriter, tentu kecenderungan anak menjadi berwatak keras sangat mungkin terjadi.

Suasana yang menyenangkan bisa menjaga psikologis anak terjaga dari gangguan mental yang bisa memicu munculnya sikap perlawanan yang lebih buruk. Selain itu, menciptakan lingkungan keluarga yang mengutamakan kedekatan emosional yang baik merupakan salah satu tips bahagia dalam rumah tangga.

You may also like