Home » Gangguan Psikologi » 7 Cara Mengatasi Insomnia Menurut Psikologi yang Perlu diketahui

7 Cara Mengatasi Insomnia Menurut Psikologi yang Perlu diketahui

by Gendis Hanum Gumintang

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, fifth edition (DSM-V), insomnia didefinisikan sebagai ketidakpuasan terhadap kualitas atau kuantitas tidur yang berakibat pada distress klinis yang signifikan atau ketidakmampuan dalam hal sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lainnya. Individu yang mengalami gangguan tidur umumnya merasakan ketegangan pada otak dan otot sehingga saraf simpatis menjadi aktif.

Gejala dari insomnia, di antaranya kesulitan untuk memulai tidur, kesulitan mengendalikan tidur, atau terbangun terlalu cepat dan sulit untuk tidur lagi. Berikut adalah 7 cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia, yakni:

1. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Cara untuk mengatasi insomnia secara umum terbagi menjadi dua, yakni dengan terapi obat dan nonobat (Cunnington, Junge, & Fernando, 2013). Salah satu bentuk terapi nonobat adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT) khusus insomnia. Tujuan CBT adalah untung mengubah distorsi kognitif sehingga dapat dihasilkan suatu perilaku baru yang lebih adaptif.

Alasan CBT dianggap menjadi cara yang efektif adalah karena terdapat gabungan upaya untuk memperbaiki perilaku sekaligus pola pikir yang keliru dan banyak peneliti sudah menunjukkan efektivitas dari cara ini meski tidak disertai dengan konsumsi obat-obatan. Di sisi lain, penerapan CBT yang diiringi dengan mengonsumsi obat juga terbukti memiliki pengaruh yang lebih signifikan dibanding hanya dengan obat-obatan saja untuk mengatasi insomnia.

Hasil dari penelitian yang dilakukan Hapsari & Kurniawan menunjukkan bahwa CBT tanpa tambahan obat efektif sebagai upaya meningkatkan kualitas tidur. Hal tersebut selaras dengan penelitian Asano, dkk. (2015) yang menunjukkan bahwa faktor internal, seperti motivasi dalam diri individu menjadi determinan yang tinggi terhadap perilaku seseorang sehingga membuat individu tersebut lebih patuh pada upaya intervensi. 

Di samping itu, pengaruh eksternal dari setting medis yang terstandar atau bentuk penyelenggaraan terapi juga berpengaruh terhadap upaya penurunan insomnia. CBT pun memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menunjukkan adanya peningkatan kualitas tidur.

2. Terapi Musik Instrumental

Mendengarkan musik dapat membuat tubuh menghasilkan hormon beta-endorfin (kebahagiaan). Dalam hal gangguan tidur atau insomnia, terapi musik instrumental dengan tempo lambat selama 30 menit dapat mengurangi aktivitas sistem saraf simpatik, tekanan darah, laju pernapasan, kecemasan, serta bisa jadi juga pada insomnia.

Penelitian yang dilakukan oleh Ardi (2015) menunjukkan bahwa terapi musik keroncong pada lansia di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Ponggalan Yogyakarta memiliki pengaruh pada penderita insomnia. Dalam penelitian tersebut, hasilnya sebanyak 64,3 persen partisipan sudah tidak mengalami insomnia.

Selain itu, Nuryati, Rodiyah, dan Affandi (2017) melakukan penelitian terhadap lansia yang mengalami insomnia di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Jombang. Hasilnya, terapi musik instrumental memiliki pengaruh terhadap insomnia dengan nilai signifikansi yang sangat rendah. Meskipun demikian, cara ini masih dapat dicoba sebagai upaya untuk menurunkan insomnia.

3. Relaksasi Otot Progresif

Relaksasi mengaktifkan fungsi saraf parasimpatis sehingga dapat menurunkan seluruh fungsi yang ditingkatkan oleh saraf simpatis. Selain itu, kondisi tersebut juga memberi stimulasi agar fungsi yang diturunkan oleh saraf simpatis dapat naik kembali. Saraf simpatis dan saraf parasimpatis memiliki pengaruh satu sama lain

Menurut McCoy (2010) dalam Hardani dan Putri (2016), relaksasi otot progresif merupakan bentuk latihan relaksasi dengan cara menegangkan tubuh secara sistematis terlebih dahulu yang kemudian dilanjutkan dengan relaksasi semua otot tubuh. Relaksasi ini dilakukan selama dua sampai empat minggu untuk mendapatkan hasil yang maksimal sebanyak dua kali sehari.

Tujuan dari relaksasi otot progresif adalah agar rasa nyaman dapat meningkat serta meningkatkan aktivitas individu pada siang hari. Tidak hanya itu, Australasian Sleep Association (2012) juga mengungkapkan bahwa relaksasi tersebut dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan individu. Dengan demikian, waktu tidur individu menjadi lebih lama, tidur lebih nyenyak, serta kualitas tidur lebih baik.

Penelitian yang dilakukan Hardani dan Putri (2016) pada salah satu klien di Panti Sosial Tresna Werdha (PTSW) Jakarta Timur membuktikan terapi otot progresif efektif dalam penurunan gejala insomnia, walaupun masih ada kemungkinan untuk tetap mengalami insomnia.

4. Relaksasi Benson

Jenis relaksasi ini adalah bentuk gabungan antara teknik respons relaksasi dengan keyakinan individu dengan memfokuskan pada ungkapan tertentu, berupa kata-kata yang maknanya dapat menenangkan hati individu tersebut. Relaksasi ini dapat dilakukan selama lima sampai sepuluh kali sebanyak dua kali sehari (Solehati, 2015)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo, Nancye, dan Sitorus (2019) pada lansia di Griya Usia Lanjut St. Yosef Surabaya, terbukti relaksasi benson memiliki pengaruh yang signifikan dalam menurunkan insomnia. Hal tersebut dapat tercapai karena relaksasi, khususnya relaksasi benson memberikan rasa nyaman melalui pengurangan rasa tegang pada otot-otot.

Di sisi lain, relaksasi Benson juga memiliki efektivitas dalam mempersingkat waktu menunggu tidur dari merebahkan tubuh sampai sudah tertidur sebab pikiran dan fisik menjadi lebih tenang serta tekanan mental, fisik, dan emosi berkurang sehingga rasa cemas dan tegang tidak terasa lagi.

5. Aromaterapi Lavender

Menurut Maharani (2021), aromaterapi dapat diartikan sebagai istilah genetik terkait salah satu jenis pengobatan alternatif dengan bantuan tanaman yang mudah menguap, tetapi sudah berbentuk cairan dan biasanya dikenal sebagai essential oil atau senyawa aromatik lainnya. Yavari, dkk. (2013) berpendapat bahwa tujuan dari penggunaan aromaterapi adalah untuk mempengaruhi mood atau kesehatan individu.

Bunga lavender (Lavandula Angustifolia) yang digunakan sebagai aromaterapi ini memiliki kandungan linalool yang dapat menjadi efek sedatif sehingga aroma yang dihasilkan dapat menstimulasi reseptor silia pada saraf olfaktorius di epitel olfaktori ke bulbus olfaktorius yang memiliki hubungan dengan sistem limbik ketika individu menghirupnya.

Aromaterapi lavender dapat menjadi salah satu jenis aromaterapi yang dapat membuat suasana hati menjadi tenang, tubuh menjadi rileks, serta mengatasi gelisah, jantung berdebar-debar, stres, atau gugup. Dalam hal insomnia, aromaterapi lavender membantu meningkatkan kualitas tidur dan tidur akan lebih nyenyak yang dirasakan secara cepat sebab hidung memiliki kontak langsung pada bagian-bagian otak yang berfungsi untuk merangsang terciptanya efek dari aromaterapi (Maharani, 2016).

6. Merendam Kaki dengan Air Hangat

Air hangat dapat memberikan dampak fisiologis pada tubuh, khususnya melancarkan sirkulasi peredaran darah. Penggunaan air hangat sebagai bentuk pengobatan hidroterapi memberikan efek hidrostatik dan hidrodinamik sehingga memiliki efek terapeutik. Melalui perendaman tubuh, ketegangan pada saraf dan otot dapat berkurang, detak jantung menjadi normal, tubuh menjadi lebih kuat, serta mengurangi kecemasan dan insomnia.

Penelitian Hardono, Oktaviana, dan Andoko (2019) menunjukkan adanya pengaruh dari perendaman kaki dengan air hangat terhadap penderita insomnia yang merupakan lansia.hal tersebut ditunjukkan penurunan rerata skor insomnia yang sebelumnya 25,76 atau insomnia ringan, reratanya menjadi 17,18 atau tidak insomnia.

7. Obat-obatan

Berdasarkan jenis terapi yang digunakan, terdapat dua fokus utama tujuan dari pengobatan pada insomnia kronik, yakni meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur serta menurunkan gangguan pada siang hari. Pendekatan awal dalam pengobatan biasa meliputi setidaknya satu intervensi perilaku, seperti terapi kontrol stimulus atau relaksasi.

Akan tetapi, ada kondisi di mana pasien juga membutuhkan bantuan secara biologis dengan obat-obatan. Pemberian obat tersebut diarahkan dengan pola gejala, tujuan pengobatan, respons terhadap pengobatan sebelumnya, pilihan pasien, harga, ketersediaan pengobatan lain, kondisi komorbid, kontraindikasi, interaksi obat bersamaan, serta potensi efek samping.

Berikut adalah beberapa jenis obat yang dapat digunakan disetujui oleh Food and Drugs Administration (FDA) berdasarkan Lie, Tu, Shen, dan Wong (2015):

  1. Benzodiazepine Receptor Agonist
  • Benzodiazepine 
  • Nonbenzodiazepine (Zolpidem, Zaleplom, dan Eszopiclone)
  1. Melatonin Agonist: Ramelteon
  2. Tricyclic Antidepressant: Doxepin
  3. Barbiturates
  4. Orexin Receptor Antagonist: Suvorexant
  5. Obat yang Belum Disetujui
  • Antidepresan (Trazodone, Mirtazapine, dan TCA lain)
  • Atipikal antipsikotik
  1. Obat yang Dapat Dibeli Tanpa Resep
  • Antihistamines
  • Melatonin
  1. Pengobatan Herbal
  • Valerian
  • Kava

Kesimpulannya, insomnia merupakan bentuk gangguan tidur sehingga individu tidak dapat memiliki pola yang sama seperti manusia pada umumnya. Insomnia dapat diatasi dengan cara-cara baik dengan obat maupun tanpa obat. Pertama, dengan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang mengubah perilaku dan mengubah pola pikir. Kedua,  terapi musik instrumental yang menghasilkan hormon bahagia.

Ketiga, relaksasi otot progresif dengan meningkatkan ketegangan lalu merilekskannya kembali. Keempat, relaksasi Benson dengan penekanan pada kata-kata rohani yang dapat menenangkan. Kelima, aromaterapi lavender untuk mempengaruhi suasana hati agar lebih tenang, Keenam, merendam kaki dengan air hangat untuk menurunkan ketegangan saraf dan otot. Ketujuh, obat-obatan yang sudah diresepkan oleh dokter.

Namun, seluruh cara tersebut harus berdasarkan konsultasi dengan ahli seperti psikolog, psikiater, ataupun dokter sehingga intervensi yang digunakan tepat serta tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya. Di sisi lain, penerapan hidup sehat dan teratur juga dapat mengurangi insomnia.

You may also like