Home » Gangguan Psikologi » Attention Deficit Hyperactivity Disorder: Gejala – Penyebab dan Cara Mengatasinya

Attention Deficit Hyperactivity Disorder: Gejala – Penyebab dan Cara Mengatasinya

by Gendis Hanum Gumintang

Seseorang yang memiliki kesulitan untuk berkonsentrasi serta mengontrol perilaku impulsif dapat menunjukkan kondisi ADHD. Meskipun gangguan psikiatrik ini tidak dapat diobati 100 persen, ADHD masih dapat diatasi dengan baik agar gejala-gejalanya dapat lebih terkendali.

Pada umumnya, penderita ADHD adalah anak-anak dan merupakan gangguan neurodevelopmental yang paling sering terjadi pada anak dengan adanya 11 gejala ADHD pada bayi yang harus diketahui. Sebuah penelitian menunjukkan hasil sekitar 40-50 persen kasus ADHD yang dialami di usia dini dapat bertahan hingga usia remaja atau bahkan sampai usia dewasa (Selekta, 2013).

Pengertian Attention Deficit Hyperactivity Disorder

Berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau disingkat dengan ADHD dapat diartikan sebagai gangguan pemusatan perhatian yang diiringi dengan kondisi hiperaktif (Wahidah, 2018). 

Menurut Clayton, dkk., (2007) dalam Selekta (2013), ADHD adalah kondisi kelainan perilaku kronis yang umumnya muncul sejak usia anak-anak dengan perilaku khas, seperti hiperaktivitas (gangguan terkait perilaku berlebih), impulsivitas (gangguan terkait pengendalian diri), dan inatensi (gangguan terkait pemusatan atensi).

Gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder

The National Institute of Mental Health (NIMH) mengungkapkan dua jenis gejala yang muncul pada penderita ADHD, yaitu:

Hiperaktivitas dan impulsivitas

  • Bergerak-gerak atau tidak tenang ketika duduk.
  • Pergi meninggalkan tempatnya secara tiba-tiba.
  • Berlarian atau bahkan memanjat di situasi yang tidak pas karena merasa gelisah.
  • Tidak dapat bermain atau melakukan sesuatu dengan tenang.
  • Tidak berhenti bicara.
  • Tidak sabaran termasuk ketika menunggu giliran.
  • Mengutarakan jawaban sebelum pertanyaan selesai, menyelesaikan perkataan orang lain, atau tidak dapat menunggu giliran bicara.

Inatensi

  • Kurang detail, sering membuat kesalahan, atau ceroboh dalam beraktivitas.
  • Kesulitan mempertahankan perhatian dan fokus pada hal yang sedang dilakukan.
  • Terlihat tidak terlalu memperhatikan ketika sedang berkomunikasi.
  • Tidak mengikuti instruksi yang diberikan sehingga tidak dapat menyelesaikan suatu tugas dengan baik.
  • Kemampuan manajemen dan organisasi yang tidak terlalu baik.
  • Menghindari atau tidak menyukai tugas yang menggunakan kemampuan mental secara terus menerus.
  • Sering lupa atau kehilangan barang pribadi, seperti kacamata, alat tulis, buku, dan lainnya.
  • Mudah terdistraksi.

Namun, untuk memberikan diagnosis yang tepat mengenai ADHD pada anak-anak dan orang dewasa, harus berdasarkan American Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical Manual, 5th edition (DSM-5) oleh psikolog maupun psikiater dan jangan melakukan self-diagnosed.

Penyebab Timbulnya Attention Deficit Hyperactivity Disorder

Penyebab dan faktor risiko dari ADHD belum dapat dipastikan, tetapi penelitian terkini menunjukkan bahwa seseorang dengan riwayat keluarga yang memiliki gangguan yang sama berperan besar dalam munculnya ADHD pada individu tersebut. Selain itu, terdapat beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi, di antaranya:

  • Ibu menggunakan obat-obatan, alkohol, serta rokok selama masa kehamilan
  • Paparan hal beracun dari lingkungan selama masa kehamilan atau ketika usia muda
  • Kelahiran prematur atau lebih cepat dari kelahiran pada umumnya
  • Berat badan saat lahir rendah
  • Kerusakan pada otak sejak dalam kandungan

Memakan terlalu banyak gula, menonton televisi terlalu sering, pola pengasuhan, serta masalah sosial tidak dibenarkan oleh penelitian sebagai faktor penyebab ADHD. Namun, hal-hal tersebut mungkin saja mengakibatkan gejala yang timbul semakin buruk.

Pengidap ADHD lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dibanding perempuan. Hal ini sesuai dengan data National Survey of Children’s Health di Amerika Serikat yang menunjukkan 12,9 persen laki-laki dan 5,6 persen perempuan mengalami ADHD.

Cara Mengatasi Attention Deficit Hyperactivity Disorder

Sampai saat ini, belum ada proses penyembuhan yang pasti untuk ADHD. Akan tetapi, berdasarkan NIMH terdapat tiga jenis cara untuk mengatasi ADHD, yaitu pengobatan medis. psikoterapi dan intervensi psikososial, edukasi atau pelatihan. Beberapa cara tersebut juga dapat dikombinasikan untuk mengatasi gangguan ini.

Pengobatan medis

Orang yang memiliki ADHD membutuhkan obat-obatan untuk mengurangi kondisi hiperaktif dan impulsif agar tetap dapat beraktivitas dengan baik. Pemberian obat ini juga dapat meningkatkan kemampuan koordinasi fisik sehingga harus terus dipantau oleh dokter sebab obat-obatan mungkin memiliki efek samping.

Psikoterapi dan intervensi psikososial

Pendekatan psikoterapi terhadap mental illness sudah sering terbukti membantu prises penyembuhan. begitu juga dengan terapi psikologi, sperti terapi perilaku, terapi perilaku kognitif, serta terapi keluarga dapat membantu mengatasi ADHD. Beberapa intervensi psikososial yang dilakukan oleh pasien dan keluarga juga menunjukkan hasil yang positif untuk mengendalikan gejala dan meningkatkan kemampuan sehari-hari.

Edukasi atau pelatihan

Bagi orangtua, penting untuk mengetahui perbedaan anak ADHD dan autis yang perlu dicermati. Setelah terbukti anak mengalami ADHD, diperlukan kemampuan pengasuhan anak dengan pelatihan manajemen perilaku yang membantu mereka menghadapi perilaku anak dengan ADHD. Hal ini membantu orangtua memahami penerapan sistem hadiah dan konsekuensi untuk mengubah perilaku anak.

Sementara itu, diberikan juga kelas intervensi manajemen perilaku spesifik bagi penderita ADHD yang ditujukan untuk membantu mereka mengatasi gejala yang muncul serta sebagai bentuk pemantauan perkembangan kondisi ADHD yang dialami.

Demikianlah pengertian, ciri-ciri, penyebab, serta cara mengatasi Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Individu yang memiliki gangguan ini harus segera melakukan konsultasi dengan kerja sama psikiater, psikolog, dokter spesialis anak, dokter spesialis saraf, pendidik, serta pekerja sosial (Selekta, 2013) agar dapat segera diberi intervensi yang tepat sehingga gejala tidak semakin parah. 

You may also like