Home » Gangguan Psikologi » 7 Masalah Psikologi Selama Pandemi yang Sering Terjadi

7 Masalah Psikologi Selama Pandemi yang Sering Terjadi

by Gendis Hanum Gumintang

Pandemi COVID-19 sudah berlangsung selama hampir dua tahun. Kondisi ini datang secara tiba-tiba dan harus membuat seluruh manusia di dunia berusaha menyesuaikan diri secepat dan sebaik mungkin. Di sisi lain, situasi yang tidak tentu serta berbagai hambatan untuk beraktivitas seperti dahulu membuat banyak orang merasa kesulitan.

Padahal, tidak semua orang memiliki resiliensi yang sama ketika dihadapkan dengan masa-masa seperti ini. Akibatnya, psikologis individu menjadi terganggu dan mengakibatkan aktivitas sehari-hari semakin terhambat. Berikut adalah 7 gangguan psikologis di masa pandemi yang dapat dirasakan oleh masyarakat:

1. Stres

Weinberg dan Gould (2003) dalam Muslim (2020) berpendapat bahwa stres merupakan kondisi tidak seimbangnya tuntutan baik secara fisik maupun fisik dengan kemampuan individu untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dengan kata lain, stres merupakan tekanan yang dirasakan individu atas suatu hal yang menimpanya. 

Keluhan stres adalah masalah terbesar yang dialami selama pandemi. Sekitar 27,2 persen masyarakat Indonesia merasakan stres akibat kondisi yang tidak normal ini. Stres dapat terjadi pada siapa saja tanpa melihat usia, dari anak-anak hingga lansia. 

Di masa pandemi, stres sangat mudah muncul pada setiap orang tanpa melihat usia atau statusnya. Walaupun demikian, tidak semua stres itu bersifat negatif. Terdapat eustress yang dapat membuat individu termotivasi untuk menjadi lebih baik.

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan stres yang dirasakan masyarakat selama pandemi adalah distress, seperti stres akademik, stres kerja, serta stres dalam keluarga yang membuat kondisi psikologis individu memburuk.

2. Gangguan Kecemasan

Dalam kondisi yang penuh dengan ketidakpastian ini, potensi gangguan kecemasan pada masyarakat lebih tinggi dari kondisi normal. Berdasarkan data yang diperoleh Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, sebanya 8,8 persen masyarakat mengalami gangguan kecemasan.

Terdapat berbagai penyebab kecemasan di masa pandemi, risiko penularan dari virus COVID-19 yang semakin lama semakin meningkat mutasinya semakin meningkatkan rasa cemas karena lebih mudah menular dan dampaknya terhadap fisik lebih berbahaya dari saat awal adanya virus ini.

Selain itu, sektor lain seperti perekonomian juga terdampak oleh pandemi. Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan tidak tahu harus apa untuk mendapat penghasilan membuat muncul rasa cemas. Apalagi adanya PPKM membuat orang-orang yang memilih untuk berdagang kesulitan sebab terdapat batasan-batasan yang ditetapkan pemerintah.

Dalam sektor pendidikan, banyak juga pelajar atau mahasiswa yang mengalami gangguan kecemasan akibat kendala dalam bersekolah atau berkuliah secara daring. Mulai dari ketersediaan media pembelajaran, kuota internet, kendala jaringan, sulit berteman, hingga sulit dalam memahami materi yang disampaikan dari layar saja.

3. Depresi

Menurut Pieter dan Namora (2012) dalam Mandasari dan Tobing (2020), depresi diartikan sebagai kondisi perasaan sedih yang terjadi terus-menerus atau berkepanjangan sehingga membuat kondisi fisik dan kehidupan sosial individu terganggu.

Menurut WHO (2017), Indonesia adalah negara kelima yang memiliki tingkat depresi tinggi, yakni 3,7 persen. Setelah adanya pandemi, hasil studi oleh peneliti University of Toronto menunjukkan bahwa tingkat depresi di masa pandemi meningkat tiga kali lipat. Dengan demikian persentase orang dengan depresi juga dapat semakin besar.

Berbagai sumber menunjukkan peningkatan ini terjadi karena kecemasan yang juga meningkat akibat perubahan kondisi dunia. Selain di bidang kesehatan, kondisi perekonomian juga membuat banyak orang merasa cemas yang berlangsung lama sehingga menyebabkan proses terjadinya depresi semakin cepat.

Wanita hamil adalah salah satu kelompok yang paling rentan mengalami depresi. Selain karena faktor biologis yang memang terjadi pada wanita hamil pada umumnya, seperti perubahan fisik dan fungsi hormon, adanya virus COVID-19 juga berpotensi membahayakan kondisi janin yang dikandungnya.

Ditambah lagi, cukup sulit untuk mengakses fasilitas kesehatan bagi ibu hamil yang aman sebab beberapa rumah sakit sudah dijadikan tempat rujukan COVID sehingga sangat tidak aman atau bahkan mungkin dokter kandungan hanya hadir di waktu-waktu tertentu.

4. Gangguan Emosional

Perubahan yang terjadi secara mendadak, situasi yang terus menerus tidak pasti, serta proses adaptasi yang tidak mudah dapat mengganggu kondisi emosional individu. Akibatnya, beberapa orang di masa pandemi COVID-19 mengalami gangguan emosional.

Gangguan ini merupakan kondisi di mana individu kesulitan untuk mengontrol emosi dalam dirinya sehingga muncul respons yang menyalahi norma atau tidak sesuai dengan individu-individu pada umumnya.

Pandemi menjadi faktor eksternal terjadinya gangguan emosional karena banyak hal. Misalnya tidak bisa bertemu dengan keluarga, kehilangan orang terdekat yang meninggal dunia, perlakuan kasar dari orangtua atau pasangan selama harus selalu di rumah, atau mungkin penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol untuk menghilangkan perasaan buruk di masa pandemi.

Selain itu, pasien COVID-19 juga rawan terkena gangguan emosional karena kondisi yang sedang dialami. Rasa takut, cemas, tidak berdaya, dan rasa sakit yang dirasakan dapat menimbulkan gangguan emosi jika keluarga atau perawat tidak memberikan dukungan positif yang konsisten.

5. Mood Swing

Setiap manusia pasti pernah merasakan pergantian suasana hati, dari senang ke sedih, dari sedih ke marah, dari marah ke takut, dan sebagainya. Akan tetapi, perubahan suasana hati yang terjadi secara cepat dan tidak normal merupakan sebuah gangguan psikologis yang disebut dengan mood swing.

Di masa pandemi, persentase masyarakat yang mengalami mood swing sebanyak 9,1 persen. Kondisi ini dirasakan berbagai kalangan yang terdampak baik secara langsung maupun tidak langsung oleh COVID-19.

Secara umum, saat ini mood swing dialami beberapa orang karena situasi berat yang harus dijalani sehari-hari, penyakit yang dialami (khususnya COVID-19), kurangnya makanan bernutrisi akibat rendahnya daya beli, atau bisa juga gangguan mental yang memang sudah dimiliki sebelum adanya pandemi.

6. Psikosomatik

Psikosomatik adalah gangguan yang dialami individu ketika tekanan psikologis berpengaruh negatif terhadap fungsi fisiologis sehingga terdapat gejala sakit fisik. Gangguan ini mulai banyak dikenal kembali oleh masyarakat sejak awal pandemi COVID-19 di Indonesia.

Setiap kelompok usia berpeluang untuk mengalami gangguan psikosomatik. Pada umumnya, gangguan ini muncul dengan masalah kesehatan mental yang umum, seperti stres, kecemasan, atau depresi. Kemudian, kondisi tersebut membuat individu berpikir seolah-olah kondisi yang dirasakan adalah apa yang ia takutkan.

Di masa pandemi, beberapa orang mungkin merasakan gejala COVID-19, seperti sakit tenggorokan, batuk, dada terasa sesak, atau demam yang sebenarnya bukan akibat virus korona masuk ke dalam tubuh, melainkan akibat rasa khawatir berlebih terhadap adanya virus tersebut. Hal inilah yang disebut dengan gangguan psikosomatik.

7. PTSD

Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma adalah kondisi stress fisik atau mental akibat pengalaman yang buruk yang tidak dapat dikendalikan oleh seseorang dan menimbulkan 7 gejala gangguan stres pascatrauma. Contoh terjadinya PTSD terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh Sprang & Silman (2013), di mana anak yang harus menjalani karantina memiliki potensi tingkat stres pascatrauma empat kali lebih tinggi dibanding anak yang tidak menjalani karantina. 

Di Taiwan, 27 persen petugas kesehatan sempat mengalami post-traumatic stress disorder akibat dari membludaknya pasien COVID-19 hingga mereka kekurangan istirahat, tidak bisa makan dengan bebas, harus jauh dari keluarganya, belum lagi risiko tertular, dan ditambah lagi dengan harus melihat banyak orang yang meninggal dunia.

Selain itu, orang yang terkena COVID-19 hingga cukup parah dan dapat sembuh, bisa jadi merasa trauma juga karena apa yang telah ia rasakan sebelumnya (Rosyad, dkk., 2021). Misalnya ketika harus menggunakan tabung oksigen, menggunakan ventilator, berada di rumah sakit, melihat orang-orang meninggal karena penyakit yang sama, dan sebagainya.

Demikianlah 7 gangguan psikologis di masa pandemi yang dapat dialami oleh masyarakat. Agar tidak mengalami gangguan-gangguan tersebut, lakukanlah rutinitas yang positif serta tetap berhubungan dengan orang-orang terkasih. Namun, apabila terdapat gejala-gejala yang menunjukkan gangguan psikologis di atas, jangan ragu untuk berkonsutasi dengan tenaga kesehatan mental supaya gangguan dapat segera diatasi.

You may also like