Kita pasti sering mendengar istilah disabilitas dan difabel. Kedua istilah ini digunakan untuk mengganti sebutan “penyandang cacat”. Secara sekilas, dua istilah tersebut mengacu pada kondisi seseorang yang memiliki keterbatasan untuk melakukan aktivitas tertentu, tetapi sebenarnya terdapat perbedaan makna.
Secara sederhana, istilah disabilitas adalah kondisi fisik atau mental yang menyebabkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan kegiatan tertentu. Sedangkan istilah difabel merujuk pada akibat dari ketidakmampuan yang membuat ia memiliki keterbatasan dalam beraktivitas seperti biasa.
Penggunaan istilah “disabilitas” dibahas dalam Diskusi Pakar untuk Memilih Terminologi Pengganti Istilah Penyandang Cacat yang diselenggarakan oleh Komnas HAM di Jakarta pada tahun 2010. Salah satu alasan mengapa istilah ini harus diubah adalah karena kata cacat dirasa mengandung unsur negatif, padahal seharusnya dapat menggambarkan kesetaraan (Maftuhin, 2016).
Istilah “difabel” pertama kali diperkenalkan pada Konferensi Ketunanetraan Asia yang diselenggarakan oleh International Federation of the Blind (IFB) dan World Council for the Welfare of the Bild (WCWB) di Singapura pada tahun 1981 (Sholeh, 2015).
Kata yang sebenarnya diperkenalkan adalah “diffabled” yang berasal dari kata “differently abled” dan kemudian di-Indonesiakan menjadi “difabel”. Kata difabel dianggap lebih sopan dari istilah “cacat” yang sebelumnya sering digunakan.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, istilah difabel dan disabilitas sama-sama digunakan untuk menghindari istilah cacat. Perbedaannya, kata “difabel” dirasa lebih ramah dari “disabilitas”. Hal ini dikarenakan disabilitas menggambarkan orang yang tidak mampu melakukan aktivitas tertentu seperti orang pada umumnya, sementara difabel lebih menunjukkan orang yang disabilitas bukan benar-benar tidak bisa melakukan aktivitas tersebut, tetapi ia memiliki gangguan sehingga perlu menggunakan bantuan atau dengan alternatif lain.
Contohnya, anak dengan gangguan pendengaran memang tidak dapat mendengar secara normal karena terdapat kerusakan pada organ telinganya (disabilitas), tetapi dalam tingkatan tertentu ia mungkin masih bisa mendengar suara yang sangat kencang atau dengan bantuan alat bantu dengar (difabel).
Perbedaan istilah ini diharapkan dapat membuat kita lebih memperhatikan orang penyandang disabilitas sebagai orang yang pantas dihargai kesetaraannya. Tunjukan rasa empati dengan bersikap tidak berlebihan.