Cacat dan disabilitas adalah istilah yang sering kita dengar untuk menyebut orang-orang dengan kondisi yang tidak normal. Namun, kedua istilah ini sekarang memiliki perbedaan makna. Walaupun begitu, secara arti maupun konteks tetap sama.
Istilah ‘penyandang cacat’ resmi digunakan dalam Undang-Undang pada tahun 1997. Definisi penyandang cacat terdapat pada UU No. 4 tahun 1997 dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “… setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: (a) penyandang cacat fisik; (b) penyandang cacat mental; (c) penyandang cacat fisik dan mental.” (Maftuhin, 2016).
Saat itu, kata cacat memiliki konotasi negatif. Penyandang cacat dianggap sebagai orang yang tidak mampu, perlu dikasihani, serta kurang bermartabat. Hal ini bertentangan dengan konferensi internasional yang justru menekankan penghormatan atas martabat penyandang cacat. Selain itu, hak asasi mereka juga harus terjamin dan terlindungi.
Oleh sebab itu, berbagai pihak berusaha untuk mencari istilah lain yang dapat menggantikan terminologi “penyandang cacat”. Kemudian diselenggarakanlah seminar lokakarya di Bogor pada 2009 yang diikuti oleh pakar linguistik, filsafat, sosiologi, pihak pemerintah, komunitas penyandang cacat, dan Komnas HAM.
Hasilnya, muncul istilah baru, yakni “orang dengan disabilitas” yang berasal dari terjemahan kata “persons with disability”. Namun, penggunaan tiga kata dirasa kurang memenuhi kriteria peristilahan yang baik. Akhirnya kata orang dengan disabilitas dipadatkan kembali menjadi “penyandang disabilitas” sebagai frasa pengganti istilah “penyandang cacat” (Darning, 2009).
Pada dasarnya, yang keliru bukanlah konsepnya, tetapi karena pemilihan kata penyebutannya yang tidak tepat sehingga persepsi yang dibentuk justru negatif. Perbedaannya terletak pada model pendekatan yang digunakan, “penyandang cacat” menggunakan konsep medis, tradisional, dan individual. Sedangkan penyandang “disabilitas model” pendekatannya lebih pada konsep sosial. Selain itu, sifat pendekatan dalam “penyandang cacat” didasarkan oleh rasa belas kasihan, sementara “penyandang disabilitas” lebih didasarkan pada kesamaan hak asasi manusia Sholeh (2015).
Perbedaan istilah ini penting untuk kita pahami dengan baik. Istilah “cacat” dan “disabilitas” tidak hanya sekadar kata-kata untuk menyebut orang yang memiliki kondisi sehingga tidak dapat beraktivitas seperti manusia pada umumnya. Lebih dari itu, terdapat makna mendalam yang bisa mempengaruhi pandangan kita terhadap penyandangnya.