Piaget berpendapat bahwa proses keberhasilan pembelajaran dapat diukur dari sistem kognitif anak. (Ibda, 2015). Perkembangan kognitif anak usia sekolah dimana Siswa harus diberi kesempatan untuk mencoba benda-benda fisik, mendukung komunikasi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan guru yang dapat dimengerti. Guru hendaknya banyak memberikan stimulasi kepada siswa agar mau aktif berinteraksi dengan lingkungan, mencari dan menemukan hal-hal yang berbeda di lingkungan (Dalyono, 2012: 37).
Piaget berpendapat bahwa belajar adalah proses dimana pengetahuan baru diadaptasi, dikembangkan, dan diintegrasikan ke dalam struktur kognitif yang dimiliki seseorang sebelumnya. Ini disebut konsep schemata (jamak = schemata/schemata). Oleh karena itu, hasil pembelajaran baru dari struktur kognitif menjadi acuan utama untuk pembelajaran berikutnya (Warsita, 2016: 70).
Berikut Penerapan Teori Piaget dalam Pembelajaran
1. Pendidikan dari kognitif seorang anak
Piaget berpendapat bahwa pendidikan hanya meningkatkan kemampuan kognitif bawaan seorang anak. Kognitif bawaan bisa dari genetik/keturunan, biologis, atau dari sifat kodrati anak itu sendiri. Ketika anak sejak kecil telah dianugerahkan kognitif yang memiliki penalaran yang baik, sikap yang baik, pengetahuan yang luas dan kemampuan pola pikir yang baik maka pembelajaran tersebut akan mudah transformasi kan pada dirinya.
2. Pendekatan konstruktivisme
Pendekatan konstruktivisme yang menekankan bahwa anak belajar lebih baik ketika mereka aktif dan menemukan solusinya sendiri. Semua siswa harus diajar untuk membuat penemuan, memikirkannya dan mendiskusikannya alih-alih meniru apa yang dikatakan guru. Dierking (2015) menjelaskan bahwa pendekatan pembelajaran konstruktivisme dapat menganalisis masalah yang berkaitan dengan pembelajaran kolaboratif.
3. Guru sebagai inisiator pembelajaran
Salah satu peran guru dalam meningkatkan motivasi belajar siswa adalah menjadi inisiator pembelajaran dimana guru mendengarkan, mengamati, dan menanyai siswa untuk membantu mereka memahami dengan lebih baik. Mengajukan pertanyaan yang tepat mendorong siswa untuk berpikir dan menjelaskan jawaban mereka.
4. Guru memperhatikan tingkat pengetahuan dan pemikiran anak
Guru harus mampu memperhatikan tingkat pengetahuan dan pemikiran anak karena mereka tidak datang dengan kepala kosong, tetapi sudah memiliki banyak ide, dan guru menafsirkan perkataan siswa kemudian memberikan jawaban sesuai dengan tingkat pemikiran para siswa.
5. Lakukan evaluasi terus menerus
Melakukan evaluasi terus menerus secara individu tidak dapat diukur dengan tes standar. Evaluasi dilakukan secara individual berdasarkan diskusi, penjelasan lisan dan tertulis yang timbul dari pemikiran mereka. Tujuan dan fungsi evaluasi dalam psikologi belajar sebagai sarana untuk menilai kemajuan dan perkembangan sejauh mana anak mampu dalam belajar.
6. Untuk meningkatkan kemampuan intelektual
Siswa melalui penerapan dalam pembelajaran seperti contohnya, anak tidak boleh dipaksa melakukan banyak hal. Karena ketika anak dipaksa untuk melakukan sesuatu hal yang ia tidak mau, maka anak akan menjadi pembangkang dan tidak mau untuk belajar.
Oleh karena itu, berikan kebebasan kepada anak untuk mengeksplor dan belajar sesuai dengan apa yang anak sukai dan senangi, dengan begitu anak akan merasa nyaman saat belajar. Itulah prinsip yang diterapkan oleh Piaget dalam pembelajaran.
7. Ubah ruang kelas menjadi ruang penelitian dan penemuan
Guru menekankan agar siswa menyelidiki dan menarik kesimpulan sendiri. Guru memperhatikan lebih banyak minat siswa dan partisipasi alami dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Ramdhan (2016), jika ruang kelas digunakan sebagai ruang inkuiri dan penemuan, maka guru harus memberikan kesempatan, kenyamanan dan mengembangkan ide-ide siswanya. Siswa secara sadar diajar menggunakan strategi belajar mereka sendiri.
8. Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa
Bahasa dan cara berpikir anak-anak tentunya berbeda dengan orang dewasa, maka tugas guru adalah harus bisa menyesuaikan cara bahasanya dengan cara berpikir anak. Anak belajar lebih baik jika mereka dapat menangani lingkungan dengan baik (Ibda, 2015).
Guru hendaknya membantu anak berinteraksi dengan lingkungan sebaik mungkin. Materi yang dipelajari anak-anak harus terasa baru, tetapi tidak asing. Memberikan kesempatan belajar bagi anak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Di dalam kelas, anak harus diberi kesempatan untuk berbicara satu sama lain dan dengan temannya (Pahliwandari, 2016: 159). Pengaruh lingkungan terhadap hasil belajar siswa ini sangat cukup besar membawa perubahan yang signifikan pada kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotoriknya secara berkelanjutan.
Menurut pandangan Piaget, perkembangan kognitif merupakan salah satu proses genetik/keturunan yaitu proses yang didasarkan pada mekanisme perkembangan biologis dan perkembangan sistem saraf dalam psikologi faal. Semakin tua seseorang, semakin kompleks rangkaian neuron nya dan semakin berkembang kemampuannya (Muhaimin et al. 2012: 199).
Jadi, sebagai orang sudah cukup dewasa, pasti dia akan mengalami adaptasi secara biologis terhadap lingkungannya, yang menyebabkan perubahan-perubahan secara kualitatif pada struktur kognitifnya.
Pembelajaran dibagi menjadi tiga tahap menurut Piaget
- Asimilasi
Proses pengintegrasian pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang ada (John, 1969: 9). Contoh: seorang siswa yang mengetahui prinsip penjumlahan, ketika guru memperkenalkan prinsip perkalian, proses integrasi prinsip penjumlahan (yang sudah dipahami anak) dan prinsip perkalian (informasi baru yang dipahami anak) (Nugroho, 2015: 295).
- Akomodasi
Akomodasi merupakan proses mengadaptasi struktur kognitif ke situasi baru. Penerapan sistem perkalian di maksudkan kedalam sistem yang lebih spesifik (Wijayanti, 2015: 85). Contoh: siswa sudah mengetahui prinsip perkalian dan guru memberikan soal perkalian (Georgia (2010: 254).
- Equilibrasi
Equilibrasi merupakan proses penyesuaian konstan antara asimilasi dan adaptasi. Hal ini sebagai penyeimbang agar siswa dapat lebih berkembang dan meningkatkan pengetahuannya. Tetapi pada saat yang sama menjaga stabilitas mental dengan sendirinya diperlukan proses penyeimbangan (Wijayanti, 2015: 86).
Tanpa proses ini, perkembangan kognitif seseorang berhenti dan bergerak secara tidak teratur, sedangkan orang dengan kemampuan keseimbangan yang baik dapat mengatur informasi yang diterimanya dengan urutan yang benar, baik, jelas dan logis (Nurdyansyah, 2016: 50).