Home » Ilmu Psikologi » Psikologi Sosial » 10 Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum

10 Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum

by Hana Masita

Psikologi adalah sebuah ilmu yang sangat luas dan bisa diterapkan ke banyak bidang kehidupan manusia. Hal ini karena kondisi kejiwaan dan psikis manusia sangat mempengaruhi manusia di setiap sendi kehidupannya sehingga untuk bisa memahaminya kita memerlukan ilmu psikologi.

Demikian halnya dalam kehidupan manusia yang memiliki hukum tertentu, dibutuhkan peran ilmu psikologi untuk bisa menerapkan hukum dengan memahami individu manusia yang menjalankan hukum tersebut.

Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan keberadaan hukum untuk membuat batasan dan melindungi hak-hak setiap individu. Tidak jarang dalam penerapan hukum tersebut terjadi pelanggaran-pelanggaran yang menimbulkan masalah sosial berat.

Dalam hal ini, psikologi membantu untuk bisa memberi solusi untuk masalah sosial yang terjadi, dimana dalam masalah sosial itu pihak yang terlibat adalah manusia yang memiliki kondisi psikis dan kejiwaan yang berbeda-beda. (Baca juga: Fungsi Jiwa dalam Psikologi)

Blackburn (Bartol & Bartol, 1994 ; Kapardis, 1995), mengemukakan bahwa psikologi memiliki beberapa peran dalam bidang hukum, antara lain:

  • Psychology in law, yaitu aplikasi praktik psikologi dalam bidang hukum, misalnya ketika psikolog diundang untuk menjadi saksi ahli saat persidangan. (Baca juga: Peran Psikologi Klinis dalam Psikologi Forensik)
  • Psychology and law, yaitu ketika psikologi diaplikasikan sebagai penelitian tentang individu yang terlibat dengan proses hukum, seperti hakim, pengacara, dan lain-lain.
  • Psychology of law, yang membahas hubungan lebih abstrak antara hukum dan psikologi, seperti pengaruh hukum terhadap perilaku.

Maka, psikologi memiliki peran yang sangat penting untuk mempelajari para pelaku hukum, mengidentifikasi cara berpikir mereka, hingga bisa membantu menentukan keputusan hukum yang dibutuhkan. Untuk itu, kali ini kita akan membahas 10 aplikasi psikologi dalam sistem hukum. Hal ini akan membantu kita untuk lebih memahami pentingnya psikologi dalam hidup kita. Simak terus, ya!

  1. Membangun profil psikologis

Menurut Prof. Adrianus Meliala, Ph. D., psikolog sangat membantu pihak kepolisian membangun profil psikologis calon tersangka hingga menginterpretasikan bukti-bukti yang ditemukan untuk mendukung penyelidikan dan bisa menjadi barang bukti. Barang bukti ini bisa berupa barang bukti psikologis yang sering tidak bisa diidentifikasi tanpa bantuan psikolog.

  1. Membantu investigasi kasus

Seringkali dalam melakukan investigasi sebuah kasus pihak kepolisian merasa kesulitan karena tidak bisa melihat sendiri kasus yang terjadi dan hanya bergantung pada keterangan saksi, korban dan tersangka.

Keterangan saksi, korban dan tersangka ini sangat rentan mengalami ‘kerusakan’ akibat stress, tekanan dan faktor lainnya yang bisa membuat informasi menjadi kurang akurat. Maka, dalam hal inilah aplikasi psikologi menjadi penting dalam sistem hukum.

Baca juga:

Menggunakan teknik psikologi, pihak kepolisian akan terbantu menggali informasi dan mengurangi terjadi bias. Ada dua teknik psikologi yang bisa mengurangi bias informasi, yaitu teknik hipnosis dan wawancara kognitif. Kedua teknik ini membutuhkan keterampilan sehingga sangat penting untuk para praktisi hukum juga mempelajari psikologi.

  1. Meningkatkan akurasi saksi mata

Psikologi mencoba untuk membuat kesaksian yang diberikan saksi mata atau korban menjadi seakurat mungkin sehingga bisa membantu jalannya peradilan. Dalam hal ini, dengan ilmu psikologi akan dicoba dilakukan prosedur tertentu yang bisa meningkatkan akurasi kesaksian.

Misalnya, dengan membuat reka adegan atau memberi gambar-gambar tertentu yang bisa membantu saksi mata atau korban mengingat dan menjelaskan kembali kejadian perkara.

  1. Memberi kesaksian ahli

Memberi kesaksian ahli merupakan aplikasi yang paling to the point dari psikologi untuk bidang hukum. Para psikolog sosial bisa memberi kerangka pemahaman untuk pihak peradilan yang membantu mengevaluasi bukti yang ditemukan dalam kasus tertentu. Kesaksian ahli ini dianggap penting karena pengadilan tidak ingin bukti-bukti yang dijadikan pertimbangan hukum bukan merupakan bukti yang reliable atau tidak jelas.

Maka, dalam hal ini psikolog yang menjadi saksi ahli harus sangat cermat memberi topik yang berkualitas dan relevan tentang stereotip gender, identifikasi saksi mata, tes poligraf dan lain-lain.

  1. Amicus curiae

Aplikasi psikologi dalam sistem hukum berikutnya adalah dengan amicus curiae atau ‘sahabat pengadilan’. Amicus curiae merupakan ringkasan ilmu psikologi yang relevan untuk digunakan hakim sebagai panduan konteks ilmiah dalam memutuskan kasus tertentu. Amicus curiae adalah pihak yang merasa memiliki kepentingan terhadap perkara tertentu, lalu memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.

Keterlibatan amicus curiae ini hanya sebatas memberi pendapat atau opininya saja. Namun, praktik ini umum digunakan di negara dengan sistem hukum common law, bukan civil law seperti Indonesia.

  1. Mempelajari efek psikologi terhadap perilaku hukum

Sistem hukum yang ada memang telah dibuat sebaik mungkin, namun bukan berarti sempurna. Banyak orang yang terlibat dalam proses hukum merupakan orang yang menganggap apa yang mereka lakukan adalah benar, namun ternyata salah di mata hukum. Maka, di sini ada salah satu studi psikologi yaitu psikologi forensik yang mempelajari efek dari berbagai faktor psikologi yang ada terhadap proses hukum yang dialami.

  1. Rehabilitasi trauma

Psikolog akan sangat berperan dalam menangani korban kejahatan yang mengalami trauma atau paska terjadinya kecelakaan tertentu. Dalam hal ini, psikologi mempelajari juga ‘Efek Media’ yaitu sebuah keyakinan untuk mempercayai apa yang diberitakan oleh media. Menurut Gilbert, Tafarodi & Malone (1993), terdapat kepercayaan ‘Tidak mungkin diberitakan di media jika tidak benar’.

Padahal banyak media yang memberitakan suatu kejadian dengan sangat mengerikan sehingga membuat publik ingin mengidentifikasi dan ikut memberi hukuman kepada individu yang terlibat atau bertanggung jawab atas kejadian tersebut. (Baca juga: Macam-Macam Trauma Psikologis)

  1. Pendekatan tipologi fisik

Seorang tokoh bernama Kretchmer mengajukan sebuah teori konstitusi dalam kepribadian, yang berpendapat bahwa terdapat hubungan antara tipe tubuh secara fisik dengan kepribadian seseorang.

Menurutnya, ada tiga tipe jaringan embrionik di tubuh manusia, yaitu Endoderm (sistem digestif), Ectoderm (sistem kulit dan saraf), dan Mesoderm (tulang dan otot). Berdasarkan teori Kretchmer, perkembangan yang tidak seimbang pada fisiologis seseorang akan mengganggu kepribadian orang tersebut.

Baca juga:

Sedikit berbeda dengan teori Kretchmer, seorang tokoh bernama William Sheldon mengajukan teori tipologi somatik, yang membagi bentuk tubuh seseorang menjadi 3 tipe, yaitu Endomorf (gemuk), Mesomorf (berotot), dan Ektomorf (tinggi dan kurus). Menurut Sheldon, tipe mesomorph adalah tipe yang paling berpotensi melakukan tindak kriminal.

  1. Teori trait kepribadian

Dalam pendekatan ini disebutkan bahwa sifat atau karakter seseorang sangat memiliki peran dalam kecenderungannya melakukan tindak kriminal. Kesimpulan ini diperoleh dari hasil-hasil pengukuran tes kepribadian, baik dengan teknik kuesioner maupun teknik proyektif.

  1. Pendekatan psikoanalisis

Dengan pendekatan psikoanalisis, psikolog mencoba memahami bahwa terdapat faktor psikologis seseorang yang mempengaruhinya bertindak melanggar hukum. Biasanya, seorang pelaku criminal memiliki ego dan super ego yang lemah untuk mengontrol impuls dalam dirinya untuk mendapatkan kesenangan. Akibatnya, dia bertindak seenaknya dan tidak lagi peduli dengan hukum yang berlaku di lingkungan sosialnya.

Baca juga:

Dari pembahasan di atas, diharapkan kita dapat memahami aplikasi psikologi dalam sistem hukum yang sangat luas. Semoga bermanfaat!

You may also like