Home » Ilmu Psikologi » Psikologi Sosial » 13 Penerapan Psikologi Sosial dalam Hukum

13 Penerapan Psikologi Sosial dalam Hukum

by Hana Masita

Hukum adalah sebuah perangkat dalam kehidupan kita yang berguna untuk mengatur kehidupan manusia yang kompleks. Dengan keberadaan hukum, kehidupan manusia menjadi lebih teratur dan tidak melanggar hak orang lain.

Blackburn (dalam Bartol & Bartol, 1994) membagi peran psikologi dalam hokum sebagai berikut:

  • Psychology in law, yang merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hokum seperti psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan.
  • Psychology and law, meliputi bidang psycho-legal research yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengan hukum.
  • Psychology of law, yaitu hubungan hukum dan psikologi, hukum sebagai penentu perilaku. Isu yang dikaji di sini contohnya adalah bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat.

Menurut Mark Constanzo (2006), psikologi dalam hukum memiliki peran sebagai penasehat, evaluator dan pembaharu. Maka, di sini kita akan mengetahui lebih lanjut penerapan psikologi sosial dalam hukum yang juga akan membuat kita memahami begitu luasnya peran psikologi dalam kehidupan kita. (Baca juga: Kegunaan Psikologi dalam Bidang Hukum)

  1. Pendekatan Tipologi Fisik dalam Kepribadian

Pendekatan ini dipopulerkan oleh Sheldon dan Kretchmer. Dengan pendekatan ini, Sheldon dan Kretchmer menganggap bahwa ada hubungan antara tipe tubuh seseorang secara fisik dengan tipe kepribadiannya. Artinya, akan ada perbedaan kepribadian orang yang tinggi, pendek, gemuk, kurus dan bentuk tubuh lainnya.

Baca juga:

Misalnya, ada anggapan bahwa seseorang yang bertubuh muscular lebih cenderung untuk berbuat tindak kriminal. Atau seseorang yang memiliki bentuk kepala pendek, rambut merah, dan rahang yang tidak menonjol lebih identik dengan fisik seorang pencuri. Pendekatan ini mungkin akan berguna untuk melihat potensi awal seseorang melakukan tindak kejahatan.

  1. Pendekatan Teori Trait Kepribadian

Berbeda dengan teori sebelumnya, teori trait kepribadian lebih memandang karakteristik kepribadian tertentu yang lebih mempengaruhi seseorang melakukan tindak melawan hukum. Sebagai contoh seseorang yang memiliki karakter pemberani, dominan, ekstrovert dan memiliki motivasi tinggi memenuhi kebutuhan fisiknya cenderung berpotensi melakukan tindak kriminal. (Baca juga: Kepribadian Extrovert)

  1. Pendekatan Psikoanalisis

Pendekatan ini menyebutkan bahwa tindak criminal muncul karena adanya hubungan yang tidak baik dengan orang tua sehingga pelaku memiliki emosi yang bisa tersalurkan melalui tindak criminal. Umumnya, kriminalitas terjadi akibat hubungan cinta ibu dan anak yang hilang ataupun kurangnya perhatian ayah kepada anak yang menyebabkannya ingin melakukan tindakan buruk untuk mendapatkan perhatian.

  1. Pendekatan Teori Belajar Sosial

Melalui pendekatan ini, kita belajar bahwa seseorang yang berperilaku kriminal merupakan akibat dari proses belajar dari lingkungannya. Sebagai contoh, selama hidupnya dia melihat adanya penyimpangan di rumah, kelompok, sekolah atau lingkungan yang lain sehingga dia melihatnya sebagai contoh untuk juga berbuat kriminal. Maka, untuk menghadapi hal ini kita harus menjaga hukum secara menyeluruh di lingkungan untuk mencegah munculnya penyimpangan karena sesedikit apapun penyimpangan tersebut bisa meluas jika tidak segera ditangani. (Baca juga: Psikologi Lingkungan)

  1. Pendekatan Teori Kognitif

Dengan pendekatan ini, para peneliti mencoba untuk memahami pola berpikir seorang pelaku kriminal. Peneliti akan mengambil sampel seperti pelaku yang ahli memanipulasi, liar dan kompulsif, ataupun seseorang yang tidak bisa mengendalikan diri untuk berbuat kejahatan. Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa para pelaku kriminal memiliki logika yang internal dan konsisten, namun salah dan tidak bertanggung jawab. (Baca juga: Psikologi Kognitif)

  1. Investigasi Kasus Tindak Pidana

Dalam menyelesaikan sebuah kasus pidana, akan dibutuhkan banyak informasi dari korban, saksi, dan tersangka. Keputusan akan didasarkan pada informasi yang diberikan oleh masing-masing pihak tersebut, dimana jaksa maupun hakim tidak bisa melihat sendiri kebenaran informasi yang didapatkan. Maka, di sini peran saksi sangatlah krusial.

Baca juga:

Dengan menggunakan penerapan psikologi sosial dalam dunia hukum, akan dilakukan usaha untuk meminimalisir bias di pernyataan saksi. Secara psikologi sangat mungkin untuk saksi lupa tentang kejadiannya dan tidak bisa memberi kesaksian yang akurat. Maka, bisa digunakan teknik hypnosis dan wawancara kognitif. Biasanya, teknik ini dilakukan di saat saksi diwawancara pertama kali di kepolisian

  1. Membuat profil psikologi

Ilmu psikologi juga dapat diterapkan untuk membantu polisi menemukan barang bukti. Psikolog akan bisa memberi pandangan untuk membangun psychological profiling dari para calon tersangka serta menginterpretasikan hal-hal yang ditemukan di tempat kejadian perkara yang tidak bisa dilihat jika kita hanya melihat secara kasat mata saja.

  1. Mengarahkan proses interogasi

Psikolog seringkali bisa menjadi hakim ad-hoc pada suatu perkara tertentu. Hal ini dikarenakan psikolog akan memiliki keahlian mengendalikan percakapan dan mengarahkan proses interogasi. Ilmu psikologi sosial juga akan membantu seseorang menjadi lebih peka dan melihat manusia dari sisi kepribadiannya. (Baca juga: Cara Kerja Psikologi Forensik)

  1. Memahami motif atau alasan sebuah tindak kriminal

Psikologi social akan membuat kita lebih memahami perilaku sosial, sesuai dengan situasi, lingkungan dan faktor-faktor lainnya. Maka, penerapan psikologi dalam hukum bisa dalam bentuk memahami motif pelaku kriminal melakukan tindak kejahatannya. Hal ini tentu akan berguna untuk memutuskan perkara, sekaligus juga sebagai bahan mempelajari dampak sosial di masyarakat.

  1. Menentukan putusan perkara

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, ilmu psikologi akan membantu untuk memanusiakan terdakwa. Artinya, kita akan mencoba memahami perilakunya, pola pikirnya, hingga motif tindak kejahatannya. Hal ini tentu akan bisa digunakan sebagai dasar pertimbangan putusan perkara oleh hakim. Sebisa mungkin sanksi yang diberikan adalah sanksi yang seadil-adilnya dan tetap menjaga hak terdakwa sebagai manusia. (Baca juga: Kode Etik Psikologi)

  1. Mengartikan isyarat tertentu

Seringkali dalam proses hukum ditemukan temuan yang tidak berarti secara nyata, namun mengandung isyarat-isyarat tertentu. Maka, di sini psikologi bisa memiliki peran untuk mengartikan isyarat-isyarat tersebut dengan melihat fakta hukum dari awal hingga akhir dan menarik benang merahnya.

  1. Memberi alternatif solusi

Tidak jarang bukti-bukti yang ditemukan kurang kuat dalam hukum sehingga hukuman yang diberikan pun tidak jelas dan sulit ditentukan. Dalam hal ini, psikologi sosial bisa berguna untuk memberi solusi berdasarkan aspek psikologi. (Baca juga: 15 Penerapan Antropologi Psikologi Dalam Kehidupan Nyata)

  1. Memahami stereotype

Yusti Probowati dalam pembahasannya tentang proses kognitif manusia menyebutkan bahwa stereotype memegang pengaruh pada proses retrieval dalam hokum. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Probowati, hakim pribumi Indonesia cenderung memiliki stereotype yang negative terhadap terdakwa beretnis Tionghoa. Mereka cenderung akan member hukuman yang lebih berat jika terdakwa berasal dari etnis Tionghoa. Maka, hal ini harus dipahami agar ke depannya hakim akan bisa memberi sanksi yang lebih sesuai dan tidak memandang etnis. (Baca juga: Teori Identitas Sosial)

Penerapan psikologi sosial dalam hukum ternyata cukup banyak dan akan sangat membantu penegakan hukum. Semoga bermanfaat, ya!

You may also like