Belakangan ini istilah fetish atau dalam bahasa Indonesia fetishisme sering didengar oleh masyarakat, Hal ini disebabkan oleh kasus seorang pria yang diketahui memiliki fetish terhadap kain jarik (selendang jawa) yang dipakai untuk membungkus seseorang seperti orang meninggal yang akan dikuburkan.
Peristiwa tersebut mengakibatkan pelaku yang berinisial G ditahan dan saat ini namanya kembali menjadi pembicaraan di media sosial Twitter karena diketahui sempat beberapa kali memberikan komentar memaksa untuk mendapatkan ikuti balik dari mahasiswa baru di suatu universitas.
Lalu, apa itu sebenarnya fetish? Bagaimana ciri-ciri yang ditunjukkan? Apa saja penyebabnya? Dan bagaimana cara mengatasinya? Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai fetishisme yang merupakan salah satu jenis dari paraphilia atau kondisi penyimpangan seksual.
Apa itu Fetishisme?
Menurut Lianawati, (2020), fetishisme merupakan kondisi di mana individu mengalami rangsangan seksual atau memiliki fantasi seksual terhadap benda-benda mati yang bersifat kompulsif (dorongan yang sangat kuat) sehingga sulit dikendalikan.
MSD Manuals atau Merck Manuals memberikan pengertian berbeda terhadap fetishisme dan gangguan fetishisme. Sebagai suatu kondisi, fetishisme adalah penggunaan benda mati (fetish) sebagai metode yang dipilih untuk memunculkan gairah seksual, tetapi sebenarnya tidak hanya terbatas pada benda, bisa juga bagian tubuh atau aktivitas tertentu yang tidak normal.
Sedangkan gangguan fetishisme atau fetishistic disorder lebih mengarah pada gairah seksual yang datang dari benda mati atau bagian tubuh nongenital, tetapi terjadi secara berulang dan intens sehingga mengakibatkan penderitaan yang signifikan atau gangguan fungsi dalam kehidupan sehari-hari.
Ciri-ciri Fetishisme
Berdasarkan pedoman The Diagnostics and Statistical Manual of Mental Disorder fifth edition (DSM-V), ciri-ciri yang dapat menjadi kriteria diagnosis penderita gangguan fetishisme dapat berupa:
- Waktu terjadinya gejala terjadi paling tidak selama enam bulan berturut turut sehingga penderitanya memiliki dorongan, fantasi seksual, atau perilaku yang berulang-ulang, intens, serta membangkitkan gairah seksual dengan melibatkan benda mati, seperti pakaian dalam, sepatu, apron, atau pada bagian tubuh selain organ genital.
- Dorongan, fantasi seksual, atau perilaku mengakibatkan distress yang signifikan atau ketidakmampuan dalam bersosialisasi, melakukan pekerjaan, atau fungsi personal lainnya di kehidupan sehari-hari.
- Benda-benda yang menjadi sumber fetshisme bukanlah pakaian untuk cross-dressing (contoh: laki-laki memakai pakaian perempuan) dan juga bukan dirancang untuk stimulasi genital taktil, seperti vibrator.
Seseorang yang mengalami fetishisme sebagai gangguan di beberapa kasus hanya dapat merasakan rangsangan seksual dan mencapai fase orgasme hanya ketika terdapat benda fetish-nya tersebut. Akibatnya, sering kali mereka merasa malu hingga stress karena tidak dapat terangsang secara normalnya manusia.
Pada kasus lain, penderita gangguan fetishisme masih dapat merasakan rangsangan dan memberi respons seksual, tetapi tingkatannya rendah sehingga menyebabkan rasa rendah diri atau bahkan ketegangan dalam hubungan romantis.
Penyebab Fetishisme
Dilansir dari Psychology Today, pada dasarnya, para peneliti atau ahli belum dapat menetapkan penyebab fetishisme secara pasti. Namun, gangguan ini dapat ditunjukkan selama masa pubertas dan bahkan berkembang sejak sebelum fase remaja. Dengan demikian, beberapa teori percaya bahwa fetishisme disebabkan oleh pengalaman masa kecil.
Pengalaman tersebut berkaitan dengan bentuk gairah atau kepuasan seksual yang sangat kuat. Begitu pula dengan teori lain yang menyebutkan bahwa fetishisme terkait dengan masa setelah anak-anak dan saat masa remaja yang dikaitkan dengan masturbasi dan pubertas. Secara umum memang kondisi yang dialami individu di masa kecil dapat diimitasi dalam perilaku ketika ia dewasa.
Terdapat teori lain yang mengatakan bahwa fetishisme pada laki-laki mungkin disebabkan oleh rasa ragu terhadap kejantanan, potensi, atau dapat juga karena rasa takut akan penolakan dan penghinaan atas kondisi yang ia miliki. Hal ini menyebabkan orang tersebut mengalihkan gairah seksualnya pada benda lain sehingga dapat melindungi dirinya atau mengkompensasi rasa ketidakmampuannya.
Cara Mengatasi Fetishisme
Fetishisme di satu sisi tidak berbahaya, tetapi jika sudah parah juga dapat berbahaya. Fetishisme yang meningkat intensitas serta frekuensinya sudah menjadi gangguan terhadap kehidupan pribadi individu sehingga harus segera diatasi dengan cara yang tidak jauh berbeda dari gangguan stres atau gangguan fungsi lainnya.
Panduan DSM-5 sendiri tidak memberikan cara yang spesifik untuk mengatasi fetishisme. Akan tetapi, pendekatan terapi sekaligus pemberian obat-obatan, seperti SSRI atau androgen dapat secara efektif membantu penderitanya untuk membantu proses penyembuhan semakin cepat dan maksimal.
Sudah ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa perpaduan terapi perilaku dan kognitif dengan terapi menggunakan obat-obatan berpengaruh positif terhadap kondisi fetishisme. Jenis obat antiandrogens dapat menurunkan tingkat hormon testosteron sementara dan telah digunakan untuk pengobatan gangguan ini.
Kesimpulan Pembahasan
Kesimpulannya, fetishisme merupakan salah satu dari berbagai jenis paraphilia atau penyimpangan seksual yang dapat berupa kondisi atau gangguan pada keberfungsian diri. Sebagai kondisi, fetishisme tidak mengganggu individu, sedangkan ketika sudah menjadi gangguan, fetishisme cenderung membuat individu merasa stres dan rendah diri.
Masalah ini pada umumnya ditandai oleh dorongan untuk mendapatkan gairah seksual dari benda atau bagian tubuh nongenital, benda atau tubuh tersebut tidak terkait jenis kelamin atau bagian genital, dan waktu munculnya gejala minimal enam bulan berturut-turut. Hal tersebut dapat berakibat pada rasa malu, tekanan (distress), bahkan permasalahan dalam hubungan.
Belum dapat dipastikan faktor penyebab fetishisme ini. Akan tetapi banyak teori yang menunjukkan bahwa hal ini biasanya dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil atau bisa juga karena saat dewasa, laki-laki merasa khawatir dirinya tidak cukup mampu dalam hal seksual. Oleh karena itu diperlukan upaya penanganan yang efektif, yakni dengan kombinasi terapi perilaku dan kognitif serta terapi obat-obatan.