Sepanjang perkembangannya, ada banyak ahli yang memberikan definisi Psikologi Forensik. Secara umum, definisi Psikologi Forensik dapat dibagi menjadi 2 kelompok: definisi luas dan definisi sempit. Salah satu definisi luas diberikan oleh Monahan dan Loftus (1982) menjelaskan Psikologi Forensik sebagai cabang psikologi yang dapat diaplikasikan dalam area hukum dan peradilan.
Sedangkan salah satu definisi sempit dijelaskan oleh Blackburn (1993), dimana psikologi forensik diartikan sebagai penerapan kajian psikologi di proses peradilan. Dari perspektif kepolisian, psikologi forensik dilihat sebagai ilmu yang membantu pengungkapan kejahatan dalam proses hukum; hal ini tergolong sebagai definisi sempit psikologi forensik. Baca juga mengenai : dampak psikologis pelaku kriminalitas
Pengertian Psikologi Forensik adalah psikologi yang mengaplikasikan ilmunya untuk membantu penyelesaian masalah kriminalitas. Di Indonesia, profesi psikologi forensik masih kurang dikenal, baik di kalangan psikolog maupun aparat kriminalitas. Tugas psikologi forensik pada proses peradilan pidana yaitu membantu pada saat pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun ketika terpidana berada di lembaga pemasyarakatan. Baca juga mengenai : hukum perkembangan dalam psikologi pendidikan
11 Alasan Mengapa Psikologi Forensik Dibutuhkan untuk Kriminalitas
1. Dapat menjadi referensi ilmu yang mempelajari bagaimana tujuan, motif, pikiran, dan perasaan orang-orang yang terlibat dalam proses kriminalitas.
2. Sebab semua ilmu psikologi forensik adalah dasar dari Kriminalitas karena segala aspek perilaku manusia dapat menjadi subyek regulasi kriminalitas. Baca juga mengenai : aplikasi psikologi sosial dalam hukum
3. Menjadi bidang psikologi forensik terapan yang fokus pada pengumpulan, pemeriksaan dan penyajian bukti untuk proses peradilan.
4. Sebagai upaya penelitian yang memeriksa aspek perilaku manusia yang terkait dengan proses kriminalitas dan peradilan (misal: memori dan kesaksian, pembuatan putusan hakim dan juri, perilaku krimimal), dan penerapan profesi psikologi forensik dalam dan atau dengan kaitan dengan sistem kriminalitas, yang mencakup sistem kriminalitas pidana dan perdata, serta interaksi antara keduanya. Baca juga mengenai : aplikasi psikologi dalam hukum
5. Sebab psikologi forensik memberikan penjelasan mengenai berbagai komponen psikologi forensiks dari proses kriminalitas. Dalam hal ini, psikologi forensik dilihat sebagai komponen yang lebih kuat dan mampu berikan kontribusi yang kuat pada kriminalitas. Psikologi forensik mengkaji proses dan produk kriminalitas, yang akan memberikan kontribusi untuk mempengaruhi bagaimana kriminalitas dapat mempengaruhi perilaku masyarakat. Baca juga mengenai : kode etik psikologi
6. Sebab terdapat hubungan dimana riset-riset psikologi forensik dapat dikembangkan dan hasilnya diterapkan pada bidang kriminalitas. Dalam hal ini, hubungan antara psikologi forensik dan kriminalitas dianggap setara, sehingga masing-masing punya kemampuan untuk memberikan dan menerima. Psikologi forensik bisa menawarkan berbagai riset terkait dengan kriminalitas, untuk memberikan masukan pada bidang kriminalitas untuk mengoptimalkan prosesnya.
7. Psikolog sangat dibutuhkan di Lapas, contohnya pada kasus percobaan bunuh diri, yang para narapidananya tidak tertangani secara baik karena tidak setiap lapas memiliki psikolog. Selain itu, pemahaman petugas lapas kurang baik terkait dengan rehabilitasi psikologis sehingga mereka sering memberikan hukuman dengan tujuan mengurangi perilaku negatif narapidana (seperti berkelahi, berbohongi). Disini psikolog forensik dibutuhkan di dalam rangka melakukan asesmen dan intervensi psikologis pada narapidana.
Untuk menjalankan peran sebagai psikolog forensik, seorang psikolog harus menguasai pengetahuan psikolog dan hukum, serta memiliki keterampilan sebagai psikolog forensik. Psikologi forensik sebenarnya merupakan perpaduan dari psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi sosial dan psikologi kognitif.
Psikolog forensik memiliki keahlian yang lebih spesifik dibandingkan psikolog umum. Contohnya di Lapas, dibutuhkan kemampuan terapi (psikologi klinis) yang khusus permasalahan kriminal, sedangkan di kepolisian dibutuhkan asesmen yang khusus pada individu pelaku kriminal.
8. Peran psikolog forensik di dalam peradilan pidana di pengadilan yaitu sebagai saksi ahli bagi korban (contohnya kasus KDRT, kasus dengan korban anak-anak, seperti perkosaan dan penculikan anak), dan bagi pelaku dengan permasalahan psikologis (contohnya mental retarded, pedophilia dan psikopat).
Psikolog forensik juga dapat bekerja untuk pengacara di dalam memberikan masukan terkait dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan kliennya agar tampak meyakinkan. Sebelum persidangan yang sesungguhnya, psikolog merancang kalimat, ekspresi dan gaya yang akan ditampilkan terdakwa agar ia tidak mendapat hukum berat.
9. Interogasi dilakukan bertujuan agar pelaku mengakui kesalahannya. Teknik lama yang digunakan polisi yaitu dengan melakukan kekerasan fisik. Teknik ini banyak mendapatkan kecaman karena orang yang tidak bersalah dapat mengakui kesalahan akibat tidak tahan oleh kekerasan fisik yang diterimanya. Teknik interogasi dengan menggunakan teori psikologi dapat digunakan, contohnya dengan teknik maksimalisasi dan minimalisasi. Psikolog forensik dapat memberi pelatihan kepada polisi mengenai teknik interogasi yang menggunakan prinsip psikologi.
Criminal profiling dapat disusun dengan bantuan teori psikologi. Psikolog forensik dapat membantu polisi melacak perilaku dengan menyusun profil kriminal pelaku. Contohnya pada kasus teroris, yang berguna di dalam langkah penyidikan di kepolisian maupun masukan bagi hakim (contoh : apakah tepat terotis dihukum mati atau hanya seumur hidup). Psikolog forensik juga dapat membatu polisi dengan melakukan asesmen untuk memberikan gambaran mengenai kondisi mental pelaku.
10. Beberapa kasus dengan trauma berat menolak untuk menceritakan kejadian yang dialaminya. Untuk itu, psikolog forensik dapat membantu polisi di dalam melakukan penggalian informasi terhadap korban, contohnya pada anak-anak atau wanita korban kekerasan. Penggalian korban perkosaan pada anak yang masih sangat belia dapat digunakan alat bantu boneka.
Psikolog forensik dapat melakukan otopsi psikologi. Pada kasus di Malang ketika seorang ibu membunuh empat anaknya dan ia bunuh diri. Seorang psikolog dapat menyusun otopsi psikologis berdasarkan sumber bukti tidak langsung, yaitu catatan yang ditinggalkan oleh almarhum, data yang diperoleh dari teman, keluarga korban atau teman kerja. Tujuan otopsi psikologi yaitu untuk merekonstruksi keadaan emosional, kepribadian, pikiran dan gaya hidup almarhum. Otopsi psikologi akan membantu polisi di dalam menyimpulkan kemungkinan korban dibunuh atau bunuh diri.
11. Proses peradilan pidana bergantung pada hasil investigasi terhadap saksi, karena baik polisi, jaksa maupun hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Penelitian menemukan hakim dan juri di Amerikan menaruh kepercayaan 90% terhadap pernyataan saksi, padahal banyak penelitian yang membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak yang bias. DIperlukan teknik investigasi saksi yang tepat, antara lain, teknik hipnosis dan wawancara kognitif.
Teknik hipnosis digunakan jika informasi mengenai suatu kejadian tidak mengalami kemajuan berarti atau pada saksi atau korban yang emosional (malu, marah) yang menghilangkan memorinya. Dengan teknik hipnosis, ia merasa bebas dan dapat memunculkan ingatannya kembali. Adapun wawancara kognitif merupakan teknik yang diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward Geiselman pada tahun 1992.
Tujuannya yaitu untuk meningkatkan proses retrieval yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas informasi dengan cara membuat saksi atau korban merasa relaks dan kooperatif. Geiselman menemukan bahwa teknik wawancara kognitif menghasilkan 25 sampai 35 persen lebih banyak dan lebih akurat dibandingkan dengan teknik wawancara standar kepolisian. Psikolog forensik dapat melakukan pelatihan teknik invenstigasi saksi pada polisi.