Home » Gangguan Psikologi » Penyebab Gangguan Mental di Sekolah dan Cara Mengatasinya

Penyebab Gangguan Mental di Sekolah dan Cara Mengatasinya

by Arby Suharyanto

Ketidaksiapan dalam menghadapi ujian, bullying, ketidakpercayaandiri, kehamilan di luar nikah, bahkan perilaku bunuh diri karena tidak lulus UN merupakan beberapa indikasi adanya ketidakmampuan pada pribadi siswa dalam menangani masalah pada dirinya yang juga merupakan tanda adanya gangguan kesehatan mental, mengingat remaja merupakan fase yang rawan, labil, dan dinamis.

Sebelum melangkah lebih jauh, kesehatan mental pada umumnya tak kalah penting dengan masalah kesehatan jasmani dan bila pada hal ini mengalami gangguan maka akan dapat menimbulkan hal-hal negatif yang tidak diinginkan layaknya gangguan pada kesehatan jasmani. Baca juga mengenai : gangguan mental yang tidak dapat disembuhkan

Yang membedakan dari keduanya adalah gangguan pada kesehatan mental berakibat pada timbulnya perilaku menyimpang (maladjustment) yang tidak diinginkan baik oleh diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Penyimpangan perilaku ini tidak sepenuhnya disadari sebagai bentuk gangguan pada individu bahkan tak jarang saat seseorang merasa baik-baik saja dengan dirinya secara tak sadar sedang dalam masalah mental yang mungkin dinilai kritis. Baca juga mengenai : gangguan jiwa terbanyak di Indonesia

Penyimpangan diwujudkan dalam berbagai perilaku yang secara umum dapat diterima di masyarakat maupun yang dipandang sebagai bentuk kelainan. Maka dibutuhkan adanya pemahaman kesehatan mental dan tak mengesampingkan hal ini begitu saja untuk dapat membangun kesadaran untuk hidup secara sehat baik jasmani maupun mental. Baca juga mengenai : gangguan mental yang paling berbahaya

Kesehatan mental dapat dipahami sebagai terwujudnya keharmonisan antara fungsi-fungsi serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya. (Zakiah Darajat: 1975). Baca juga mengenai : gangguan mental yang unik

Penyebab Gangguan Mental di Sekolah dan Cara Mengatasinya.

1. Perubahan psikoseksual

Produksi hormon testosteron dan hormon estrogen mempengaruhi fungsi otak, emosi, dorongan seks dan perilaku remaja. Selain timbulnya dorongan seksual yang merupakan manifestasi langsung dari pengaruh hormon tersebut, dapat juga terjadi modifikasi dari dorongan seksual itu dan menjelma dalam bentuk pemujaan terhadap tokoh-tokoh olah raga, musik, penyanyi, bintang film, pahlawan, dan lainnya. Baca juga mengenai : gangguan jiwa yang tidak disadari

Remaja sangat sensitif terhadap pandangan teman sebaya sehingga ia seringkali membandingkan dirinya dengan remaja lain yang sebaya, bila dirinya secara jasmani berbeda dengan teman sebayanya maka hal ini dapat memicu terjadinya perasaan malu atau rendah diri.

2. Pengaruh teman sebaya

Kelompok teman sebaya mempunyai peran dan pengaruh yang besar terhadap kehidupan seorang remaja. Interaksi sosial dan afiliasi teman sebaya mempunyai peranan yang besar dalam mendorong terbentuknya berbagai keterampilan sosial. Bagi remaja, rumah adalah landasan dasar sedangkan dunianya adalah sekolah. Pada fase perkembangan remaja, anak tidak saja mengagumi orangtuanya, tetapi juga mengagumi figur-figur di luar lingkungan rumah, seperti teman sebaya, guru, orangtua temanya, olahragawan, dan lainnya.

Dengan demikian, bagi remaja hubungan yang terpenting bagi diri mereka selain orangtua adalah teman-teman sebaya dan seminatnya. Remaja mencoba untuk bersikap independent dari keluarganya akibat peran teman sebayanya. Di lain pihak, pengaruh dan interaksi teman sebaya juga dapat memicu timbulnya perilaku antisosial, seperti mencuri, melanggar hak orang lain, serta membolos, dan lainnya.

3. Perilaku berisiko tinggi

Remaja kerap berhubungan berbagai perilaku berisiko tinggi sebagai bentuk dari identitas diri. 80% dari remaja berusia 11-15 tahun dikatakan pernah menunjukkan perilaku berisiko tinggi minimal satu kali dalam periode tersebut, seperti berkelakuan buruk di sekolah, penyalahgunaan zat, serta perilaku antisosial (mencuri, berkelahi, atau bolos)

dan 50% remaja tersebut juga menunjukkan adanya perilaku berisiko tinggi lainnya seperti mengemudi dalam keadaan mabuk, melakukan hubungan seksual tanpa kontrasepsi, dan perilaku criminal yang bersifat minor. Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa 50% remaja pernah menggunakan marijuana, 65% remaja merokok, dan 82% pernah mencoba menggunakan alkohol.

Dengan melakukan perbuatan tersebut, mereka mengatakan bahwa mereka merasa lebih dapat diterima, menjadi pusat perhatian oleh kelompok sebayanya, dan mengatakan bahwa melakukan perilaku berisiko tinggi merupakan kondisi yang mendatangkan rasa kenikmatan (fun). Walaupun demikian,

sebagian remaja juga menyatakan bahwa melakukan perbuatan yang berisiko sebenarnya merupakan cara mereka untuk mengurangi perasaan tidak nyaman dalam diri mereka atau mengurangi rasa ketegangan. Dalam beberapa kasus perilaku berisiko tinggi ini berlanjut hingga individu mencapai usia dewasa.

4. Kegagalan pembentukan identitas diri

Menurut J. Piaget, awal masa remaja terjadi transformasi kognitif yang besar menuju cara berpikir yang lebih abstrak, konseptual, dan berorientasi ke masa depan (future oriented). Remaja mulai menunjukkan minat dan kemampuan di bidang tulisan, seni, musik, olah raga, dan keagamaan. E. Erikson dalam teori perkembangan psikososialnya menyatakan bahwa tugas utama di masa remaja adalah membentuk identitas diri yang mantap yang didefinisikan sebagai kesadaran akan diri sendiri serta tujuan hidup yang lebih terarah.

Mereka mulai belajar dan menyerap semua masalah yang ada dalam lingkungannya dan mulai menentukan pilihan yang terbaik untuk mereka seperti teman, minat, atau pun sekolah. Di lain pihak, kondisi ini justru seringkali memicu perseteruan dengan orangtua atau lingkungan yang tidak mengerti makna perkembangan di masa remaja dan tetap merasa bahwa mereka belum mampu serta memperlakukan mereka seperti anak yang lebih kecil.

Secara perlahan, remaja mulai mencampurkan nilai-nilai moral yang beragam yang berasal dari berbagai sumber ke dalam nilai moral yang mereka anut, dengan demikian terbentuklah superego yang khas yang merupakan ciri khas bagi remaja tersebut sehingga terjawab pertanyaan siapakah aku? dan kemanakah tujuan hidup saya?

Bila terjadi kegagalan atau gangguan proses identitas diri ini maka terbentuk kondisi kebingungan peran (role confusion). Role confusion ini sering dinyatakan dalam bentuk negativisme seperti, menentang dan perasaan tidak percaya akan kemampuan diri sendiri. Negativisme ini merupakan suatu cara untuk mengekspresikan kemarahan akibat perasaan diri yang tidak adekuat akibat dari gangguan dalam proses pembentukan identitas diri di masa remaja ini.

5. Gangguan perkembangan moral

Moralitas adalah suatu konformitas terhadap standar, hak, dan kewajiban yang diterima secara bersama, apabila ads dua standar yang secara sosial diterima bersama tetapi saling konflik maka umumnya remaja mengambil keputusan untuk memilih apa yang sesuai berdasarkan hati nuraninya.

Dalam pembentukan moralitasnya, remaja mengambil nilai etika dari orangtua dan agama dalam upaya mengendalikan perilakunya. Selain itu, mereka juga mengambil nilai apa yang terbaik bagi masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, penting bagi orangtua untuk memberi suri teladan yang baik dan bukan hanya menuntut remaja berperilaku baik, tetapi orangtua sendiri tidak berbuat demikian.

Secara moral, seseorang wajib menuruti standar moral yang ada namun sebatas bila hal itu tidak mebahayakan kesehatan, bersifat manusiawi, serta berlandaskan hak asasi manusia. Dengan berakhirnya masa remaja dan memasuki usia dewasa, terbentuklah suatu konsep moralitas yang mantap dalam diri remaja. Jika pembentukan ini terganggu maka remaja dapat menunjukkan berbagai pola perilaku antisosial dan perilaku menentang yang tentunya mengganggu interaksi remaja tersebut dengan lingkungannya, serta dapat memicu berbagai konflik.

6. Stres di masa remaja

Banyak hal dan kondisi yang dapat menimbulkan tekanan (stres) dalam masa remaja. Mereka berhadapkan dengan berbagai perubahan yang sedang terjadi dalam dirinya maupun target perkembangan yang harus dicapai sesuai dengan usianya. Di pihak lain, mereka juga berhadapan dengan berbagai tantangan yang berkaitan dengan pubertas, perubahan peran sosial, dan lingkungan dalam usaha untuk mencapai kemandirian.

Tantangan ini tentunya berpotensi untuk menimbulkan masalah perilaku dan memicu timbulnya tekanan yang nyata dalam kehidupan remaja jika mereka tidak mampu mengatasi kondisi tantangan tersebut.

Cara Mengatasi

Peran Orangtua

  • Menanamkan pola asuh yang baik pada anak sejak prenatal dan balita
  • Membekali anak dengan dasar moral dan agama
  • Mengerti komunikasi yang baik dan efektif antara orangtua – anak
  • Menjalin kerjasama yang baik dengan guru
  • Menjadi tokoh panutan dalam perilaku maupun menjaga lingkungan yang sehat
  • Menerapkan disiplin yang konsisten pada anak Hindarkan anak dari NAPZA

Peran Guru

  • Bersahabat dengan siswa
  • Menciptakan kondisi sekolah yang nyaman
  • Memberikan keleluasaan siswa untuk mengekspresikan diri pada kegiatan ekstrakurikuler
  • Menyediakan sarana dan prasarana bermain dan olahraga
  • Meningkatkan peran dan pemberdayaan guru BP
  • Meningkatkan disiplin sekolah dan sangsi yang tegas
  • Meningkatkan kerjasama dengan orangtua, sesama guru dan sekolah lain
  • Meningkatkan keamanan terpadu sekolah bekerjasama dengan Polsek setempa
  • Mengadakan kompetisi sehat, seni budaya dan olahraga antar sekolah
  • Menciptakan kondisi sekolah yang memungkinkan anak berkembang secara sehat adalah hal fisik, mental, spiritual dan sosial
  • Meningkatkan deteksi dini penyalahgunaan NAPZA

Peran Pemerintah dan masyarakat

  • Menghidupkan kembali kurikulum budi pekerti
  • Menyediakan sarana/prasarana yang dapat menampung agresifitas anak melalui olahraga dan bermain
  • Menegakkan hukum, sangsi dan disiplin yang tegas
  • Memberikan keteladanan
  • Menanggulangi NAPZA, dengan menerapkan peraturan dan hukumnya secara tegas
  • Lokasi sekolah dijauhkan dari pusat perbelanjaan dan pusat hiburan

Peran Media

  • Sajikan tayangan atau berita tanpa kekerasan (jam tayang sesaui usia)y
  • Sampaikan berita dengan kalimat benar dan tepat (tidak provokatif)y
  • Adanya rubrik khusus dalam media masa (cetak, elektronik) yang bebas ybiaya khusus untuk remaja

Semoga bermanfaat, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

You may also like