Home » Ilmu Psikologi » 12 Alasan Mengapa Orang Seringkali Membully di Media Sosial

12 Alasan Mengapa Orang Seringkali Membully di Media Sosial

by Arby Suharyanto

Media sosial memang membuat kita terhubung dengan siapa pun dengan mudah dan cepat. Namun, fitur chat atau komen yang disediakan media sosial juga mempermudah terjadinya bullying. Bisa dilakukan oleh siapa saja, juga bisa menimpa siapa saja. Sering sekali kita dengar, bagaimana seseorang kena bully ‘berjamaah’ gara-gara ‘terpeleset’ hal sepele. Bahkan, keputusan pribadi seseorang yang tidak ada kaitan dengan publik, atau menyakiti orang lain, bisa menjadi sasaran perundungan. Berikut 12 Alasan Mengapa Orang Seringkali Membully Di Media Sosial

1. Tidak ada kerjaan

“Sebetulnya, orang yang suka mem-bully di media sosial itu karena dia sedang tidak ada kerjaan,” ujar Meily Badriati, Koordinator Program Sarjana Reguler Komunikasi, FISIP UI. Meski terkesan berseloroh, Meily benar adanya, karena ketika seseorang sedang ada pekerjaan biasanya dia sudah tidak ada waktu lagi untuk membuka-buka media sosial, bukan? Baca juga mengenai : dampak psikologis pelaku bullying

2. Mudah terbawa tren

Saat seseorang memiliki waktu luang untuk membuka media sosial, maka dia bisa mudah terbawa tren. Misalnya, ada satu orang yang sedang di-bully, bisa saja iseng-iseng dia ikut-ikutan, padahal belum tentu dia tahu persoalan mengapa orang tersebut di-bully. Baca juga mengenai : pengaruh bullying pada perkembangan mental remaja

Padahal, di hutan belantara dunia maya banyak sekali trolls, yaitu orang yang mengirim pesan (atau juga pesan itu sendiri) yang bertujuan untuk memancing tanggapan emosional atau kemarahan dari pengguna lainnya. Karena itu ada istilah yang sangat terkenal: don’t feed the trolls. Baca juga mengenai : peran orang tua dalam kasus bullying

3. Identitas yang bisa disembunyikan

Identitas yang tidak jelas atau anonim di dunia maya menjadi alasan mengapa seseorang gampang menghujat orang lain. “Di media sosial seseorang bisa menggunakan identitas yang tidak jelas sehingga mudah mem-bully karena merasa tidak ada tanggung jawab,” ujar Listyo Yuwono, psikolog dari Universitas Surabaya. Baca juga mengenai : teori bullying dalam psikologi

4. Kualitas diri yang rendah

Hal ini didukung sifat media sosial yang memungkinkan tidak ada rasa keterkaitan dengan orang yang di-bully. Makin jauh kualitas relasi seseorang, maka makin mudah melakukan karena tidak ada ikatan emosi atau ikatan kepentingan antara pelaku dengan korban. Baca juga mengenai : dampak psikologis cyber bullying bagi korban

5. Penuh kemudahan

Sebagai media baru, yang sangat identik dengan perkembangan internet memang menyediakan berbagai kemudahan, terutama dalam berinteraksi dengan orang lain. Persoalannya, perkembangan teknologi belum tentu diikuti dengan pemahaman dan kebijaksanaan bagaimana cara memanfaatkan teknologi tersebut secara tepat guna. Karena dilakukan oleh banyak orang, bullying di media sosial ini seperti sudah menjadi hal biasa, dan seolah-olah sudah diterima oleh masyarakat.

6. Dianggap sebagai ruang pribadi

“Padahal, masih meragukan juga apakah hal ini memang benar-benar diterima atau justru karena ketidakpedulian sehingga masyarakat tidak menjadikannya hal yang perlu dipikirkan. Orang baru akan berpikir atau bergerak ketika ia menjadi korban, atau korban adalah orang yang terdekatnya,” ujar Listyo. Meily menambahkan, harus diakui bahwa sebagian besar netizen kita masih merasa bahwa media sosial itu adalah ruang pribadi.

7. Tidak memiliki dasar pendidikan

Sayangnya, rendahnya internet literacy ini tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan. Tentu kita yang rajin mengikuti keriuhan media sosial paham, betapa banyak orang pintar yang tergelincir oleh omongannya sendiri. Misalnya seorang tokoh yang dalam salah satu tweet-nya setelah pilkada DKI, dia mengibaratkan kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam pilkada DKI Jakarta itu adalah pil yang diberikan kepada anak autis. Kontan saja, netizen banyak yang mengecam tweet tersebut.

8. Karakteristik Kepribadian

Kepribadian ini ditinjau dari dalam diri pelaku dan korban membully di media sosial. Kedua karakteristik ini saling berkaitan, sehingga memperkuat terjadinya bullying dalam teknologi komunikasi.

Karakteristik kepribadian pelaku:

  • Memiliki kepribadian yang dominan, kuat dan menunjukan sedikit rasa empati pada orang lain
  • Cenderung memiliki sikap positif terhadap kekerasan dibandingkan anak lainnya
  • Tidak berani menghadapi resiko karena perbuatannya sendiri
  • Memiliki kebutuhan sensasi akan hal-hal dan pengalaman baru

Karakteristik kepribadian korban/target:

  • Rapuh
  • Lemah
  • Belum dewasa
  • Kemampuan dan pengetahuan yang belum cukup untuk membuat sebuah keputusan secara efektif

9. Lingkungan

Tentunya perilaku membully di media sosial ini juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Lingkungan keluarga dan sekolah merupakan hal yang krusial dalam pembentukan kepribadian seseorang. Pengalaman yang kurang bahagia, ketidakharmonisan keluarga, kekerasan, dan kurangnya perhatian pada masa kecil bisa menjadikan orang tersebut sebagai “Attention Seeker”, dimana orang tersebut melakukan hal-hal apapun agar dirinya diperhatikan.

Situasi lingkungan yang kurang memberikan perhatian menjadikan pelaku tersebut memiliki pemikiran yang salah. Bahwa dengan melakukan bullying dapat membuatnya diperhatikan dan diakui. Namun, ia menggunakan media sosial dan internet untuk mem-bully orang lain karena tidak berani melakukannya secara langsung.

10. Motivasi

Berikut ini ialah motivasi dan tujuan seseorang melakukan membully di media sosial

  • Marah dan sakit hati sehingga ingin melakukan balas dendam pada orang lain
  • Memiliki keinginan yang tinggi untuk mencari hal-hal baru yang berbau sensasi
  • Ingin menonjolkan ego untuk menyakiti orang lain
  • Merasa bosan karena tidak memiliki kegiatan dan menganggur
  • Berusaha mencari hiburan untuk ditertawakan agar mendapatkan reaksi
  • Ketakutan pelaku berhadapan langsung dengan korban/target

11. Media

Motivasi di atas ditunjang oleh kecanggihan teknologi pada era globalisasi yang sangat memungkinkan terjadinya membully di media sosial. Teknologi yang menyediakan ruang untuk memberikan pendapat serta mengizinkan orang untuk menggunakan akun tak bernama. Sehingga, para pelaku dapat menyamarkan aksi mereka dan membuat rasa aman untuk tidak tertangkap di dunia nyata. Kecepatan hitungan detik informasi dipublikasikan, disebar, dan dibaca oleh orang juga menjadikan pemicu maraknya membully di media sosial.

12. Aksi dan Reaksi

Nyatanya, tak semua membully di media sosial terjadi karena faktor kepribadian pelaku yang dominan dan ingin mencari sensasi. Orang yang baik sekalipun juga memiliki kemungkinan menjadi pelaku membully di media sosial jika ia terjebak dalam sebuah kondisi yang memaksanya untuk melakukannya. Seseorang bisa saja terpaksa mengeluarkan kata-kata buruk sebagai reaksi dari aksi.

Namun, orang yang melihatnya langsung menghakimi orang tersebut sebagai pelaku membully di media sosial yang sangat jahat, karena mereka hanya mengetahui reaksi tersebut tanpa mengetahui apa yang mengawalinya. Kebanyakan kasus dalam sosial media memang diawali dengan hanya sebatas membalas komentar impulsif dan emosional yang melecehkan seseorang atau diawali dengan seseorang yang memberikan pernyataan yang tidak dapat diterima oleh masyarakat.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

You may also like