Menurut penuturan dari beberapa psikolog, masyarakat sosial sudah terlanjur mengeneralisasikan semua anak korban perceraian orang tuanya sehingga otomatis menyebut mereka sebagai anak broken home. Pasalnya, tidak sedikit orang tua bercerai yang tetap menjalankan masing-masing perannya secara optimal.
Sehingga kondisi mental anak tergolong stabil dan tidak terjadi konflik yang meresahkan. Pada kondisi mental ini, pelabelan broken home dirasa kurang tepat. Jika kita memahami bersama, istilah broken home dalam perspektif yang lebih luas mencakup keadaan keluarga yang mengalami perceraian dan keluarga yang tidak harmonis meski dilengkapi dengan keutuhan pasangan orang tua.
Jadi, untuk memberikan batasan pembahasannya, dalam hal ini anak broken home merujuk pada anak korban perceraian orang tuanya yang tidak didukung oleh keoptimalan struktur dan peran sosial sebagai orang tua di dalam keluarga, mencakup aspek peran ayah di dalam keluarga dan peran ibu di dalam keluarga.
Stigma dan stereotip pada anak broken home sebagai individu yang gagal, diidentikkan dengan kenakalan atau anak yang bermasalah tampaknya perlu dihapuskan dari masyarakat kita. Pandangan kurang baik ini tidak jarang menyebabkan perasaan diskriminasi yang dirasakan oleh anak-anak korban perceraian, meski memang perceraian berdampak pada psikologis anak. Padahal, perkembangan diri anak sangat bergantung pada pola didikan yang diberikan orang tua.
Berikut ini beberapa tips cara mendidik anak broken home yang bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran bersama.
Cara mendidik anak broken home harus diawali dengan kesadaran reflektif mengenai tanggung jawab sebagai orang tua. Menyadari bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk mengasuh dan membesarkan anak dengan baik menjadi dasar utama orang tua untuk memikirkan langkah selanjutnya.
Tanggung jawab itu tidak semerta-merta hanya mengacu pada kebutuhan finansial dan material anak untuk bertahan hidup, tetapi komitmen bersama untuk tidak meninggalkan tanggung jawab peran sebagai ayah dan ibu untuk anak sekalipun harus berpisah.
Meski tidak mudah, kedua orang tua mesti menjauhkan diri dari egosentrisme sehingga tidak menimpakan asuhan hanya pada satu pihak. Konflik-konflik yang menjadi pemicu perceraian baiknya disingkirkan sehingga keduanya bisa lebih menerima keadaan secara ikhlas.
Kalau cara awal ini tidak dilakukan dengan baik, anak akan menjadi korban ke-toxic-an orang tuanya sehingga anak harus berpikir lebih berat. Satu sisi berpikir bagaimana caranya menerima keadaan, sisi lain berpikir bagaimana cara menghadapi toxic parents.
Berdamai dari segala macam bentuk perang batin pasti membutuhkan proses waktu yang tidak sebentar, tetapi orang tua cukup berfokus pada perkembangan anak hingga di masa depan. Ini juga berkaitan dengan tanggung jawab yang dipikul bersama demi melindungi mental anak yang sudah cukup goyah akibat perceraian orang tuanya.
Selain dilakukan demi anak, menyelesaikan permasalahan dengan pasangan secara progresif akan membantu membangun ketenangan batin di dalam diri kita sendiri. Berdamai dengan keadaan bisa membantu proses penyembuhan diri atau self-healing sehingga, sebagai orang tua, kita bisa kembali menjadi pribadi yang tangguh dan siap “melayani” anak dengan cara-cara sehat.
Anak broken home yang melihat orang tuanya berpisah dan tidak lagi tinggal di dalam satu rumah akan kesulitan untuk memilih dengan siapa ia menetap. Problema ini sebenarnya bisa disikapi dengan baik melalui cara orang tua menerapkan pola co-parenting.
Masih dalam satu lingkup dengan dua poin sebelumnya, orang tua perlu menanamkan kesadaran diri untuk saling bekerja sama membesarkan anak dengan pola asuhan yang disepakati bersama. Perlu menjadi perhatian, kesepatakan cara mengatur pengasuhan ini jangan sampai membuat anak broken home merasakan kebingungan dan justru merasa tertekan dengan keadaan baru yang harus diadaptasi oleh anak.
Orang tua perlu mengerti pendekatan psikologi dalam membentuk pribadi anak yang tepat sehingga tidak menyebabkan kesalahan didikan pada anak broken home. Apalagi sampai membentuk karakter anak yang potensial bermasalah, seperti berwatak keras, susah berkomitmen dengan orang, tidak dapat dipercaya, atau justru pemurung.
Maka, tanggung jawab orang tua akan semakin bertambah, seperti bagaimana cara mengatasi anak yang berwatak keras, dan permasalahan lainnya. Co-parenting dilakukan dengan maksimal supaya anak tetap mendapatkan kepercayaan dan nilai-nilai yang bisa dijadikan pembelajaran bagi anak pada perkembangan ke depan.
Pada awal penerapannya, mungkin akan tampak menyusahkan dan kadang-kadang bingung pula menetapkan pola yang sesuai dengan kebutuhan si anak. Akan tetapi, dengan kerja sama yang baik, kemungkinan pemenuhan kebutuhan figur ayah dan ibu untuk perkembangan anak dapat dicapai dengan lebih baik.
Menceritakan secara terbuka kepada anak terkait keadaan perceraian yang harus dialami memang menjadi dilema bagi orang tua. Apabila memilih berterus terang, muncul rasa takut anaknya shock dan dilanda rasa tidak menerima yang bisa membuncah. Apabila memilih menyembunyikannya, anak juga akan bingung dengan perubahan tingkah laku orang tua yang tidak lagi hidup bersama.
Menurut psikolog, cara mendidik anak broken home yang paling tepat adalah jujur dan terbuka dengan anak melalui penjelasan sederhana yang bisa diengerti oleh anak. Ini dilakukan di awal agar ke depannya anak tidak merasa dipermainkan oleh orang tua. Cara ini juga meminimalisasi perasaan kecewa yang berlebihan terhadap orang tua.
Pengalaman menyakitkan tentu membutuhkan proses waktu untuk bisa diterima dengan hati yang ikhlas. Sebagai orang tua, kita perlu sekali dalam membangun pemikiran yang positif untuk menghadapi segala ujian yang melanda keluarga. Cara mendidik anak broken home secara bijaksana adalah dengan cara memberikan arahan verbal yang menuntun pola pikir anak untuk tetap memandang segala sesuatu dari sisi positifnya.
Dampak perceraian yang harus dialami pula oleh anak merupakan permasalahan yang berada di luar kendali dan rencana, maka orang tua perlu menanamkan rasa berserah diri kepada takdir yang harus dijalani. Tidak mudah menanamkan pemikiran-pemikiran positif di dalam keadaan seperti ini. Tetapi, bantuan orang tua untuk menciptakan mindset positif secara terus menerus akan perlahan dicontoh oleh anak.
Apalagi dengan adanya faktor pergaulan anak di sekolah, orang tua perlu memberi penekanan dengan kasih sayang bahwa berbeda kondisi tidak menjadikan anak berbeda golongan dengan teman-temannya. Apabila orang tua tidak pernah lelah menuntun perasaan anak, maka kekuatan di dalam diri anak juga semakin menguat.
Komunikasi adalah kunci terpenting di dalam upaya mempertahankan keharmonisan keluarga. Cara mendidik anak broken home juga memerlukan aspek komunikasi dan keterbukaan pikiran antaranggota keluarga.
Sebagai anak broken home, pendekatan-pendekatan secara psikososial dan mental sangat diperlukan. Maka, orang tua perlu mengemban konsekuensi bersama dengan tidak mengurangi intensitas komunikasi di dalam keluarga sehingga anak bisa benar-benar menerima keadaan.
Didikan yang dilandasi oleh kedekatan intim seperti ini membuat anak merasa akan baik-baik saja meskipun pada akhirnya ayah dan ibu si anak memang harus berpisah. Anak tetap merasa bisa berbincang dan mencurahkan isi hatinya, baik pada ayah maupun ibu. Ini adalah situasi yang sangat mendukung pola didikan anak broken home.
Berkaitan dengan kesehatan mental anak, pengalaman yang mengguncang perasaan anak biasanya diikuti dengan rasa tidak aman dalam berbagai hal yang akan dilakukan, bahkan bisa berlanjut hingga usia dewasa. Orang tua perlu peka terhadap perkembangan psikologis anak dengan melihat dari tingkah laku dan perubahan kebiasaan pasca perceraian.
Sembari melakukan cara-cara yang telah dipaparkan pada poin sebelumnya, orang tua perlu menunjukkan bahasa tubuh yang meyakinkan anak bahwa keadaan baru ini bisa dilalui bersama dengan baik.
Dari perilaku orang tua yang rukun, kerja sama, diskusi, dan komunikasi yang sehat, secara tidak langsung memberikan pemahaman kepada anak bahwa anak berada di lingkungan yang membuatnya merasa aman. Anak merasa tidak takut akan mendengar pertengkaran atau kejadian yang membuatnya merasa lemah.
Salah satu ketakutan terbesar anak broken home adalah menyaksikan orang tuanya berselisih dengan cara yang kasar. Selain menaruh iba pada orang tua, anak juga otomatis merasakan sedih yang luar biasa. Ini karena dipicu oleh pikiran-pikiran “Kenapa aku harus lahir di keluarga yang seperti ini?” atau “Kenapa aku tidak seperti teman-temanku?” yang membuat anak mengutuk banyak hal dalam hidupnya.
Menghindari kemungkinan tersebut, maka orang tua perlu sekali menjaga sikapnya di depan anak. Cara mendidik ini bersifat dua arah, yakni sekaligus menjadi kesempatan bagi pasangan orang tua untuk belajar meregulasikan emosi diri sehingga perdebatan baiknya diselesaikan dengan diskusi yang berkepala dingin.
Penting diketahui oleh para orang tua, salah satu cara mendidik anak broken home yang bisa membantu proses recovery diri anak dalam menghadapi perceraian orang tua adalah mengajak anak melakukan hobi atau kegemarannya. Tidak melupakan anak sebagai individu yang berhak merasakan masa perkembangannya sesuai dengan fase usianya.
Setiap orang tua pasti bisa menerka permainan, kegiatan, atau ketertarikan anak sejak usia dini dan cara mengetahui bakat anak sejak dini. Melalui pengamatan tersebut, orang tua perlu terus menghidupkan suasana yang hangat dan menyenangkan dengan mengarahkan keaktifan anak pada kegiatan positif tersebut.
Ini akan menunjukkan bahwa apapun yang terjadi, orang tua ternyata tetap peduli dengan apa yang menjadi minatnya. Hal ini adalah salah satu poin besar yang mungkin hingga dewasa akan menjadi kesan yang sangat berharga di diri anak apabila orang tua ingat apa saja yang membuat anaknya bahagia.
Cara mendidik anak broken home yang tidak kalah penting adalah mengajari anak konsep teori empati dalam psikologi terhadap sesama manusia. Melalui cara ini, orang tua tidak hanya fokus pada proses mental anak, tetapi juga melatih perasaan anak untuk melakukan mekanisme coping salah satunya dengan mengasihi orang lain.
Ini bukan berarti anak diajarkan untuk menutup kesedihan diri sendiri dan lebih peduli terhadap orang lain. Orang tua perlu memberi penjelasan bahwa dengan mengasihi orang lain, kita juga akan mengalami peningkatan kekuatan perasaan yang akan membantu proses penerimaan diri terhadap segala keadaan menyedihkan yang akan menimpa keluarga.
Selain itu, didikan mengenai sikap positif ini juga sekaligus menjadi ruang pendekatan diri antara anak dan orang tua sehingga anak broken home tidak lagi merasa kesepian.
Fobia merupakan ketakutan yang dialami oleh manusia namun sudah dalam tahap sulit untuk dikendalikan dan…
Menikmati pemandangan alam dan menikmati udara yang menyejukan menjadi salah satu yang bisa kita rasakan…
Ada berbagai jenis dan juga tipe dari phobia atau rasa cemas, dan ketakutan berlebihan. Faktanya…
Berbicara mengenai fobia ataupun mengatasi rasa takut yang dialami oleh seseorang ada banyak sekali jenis…
Istilah Somniphobia atau dikenal dengan nama hypnophobia merupakan rasa takut yang berlebih saat seseorang jauh…
Berbicara mengenai fobia, ada beberap jenis fobia yang dikenal ditengah masyarakat. Misalnya fobia ketinggian, fobia…