Kekerasan seksual adalah semua kontak seksual antara seorang anak dan orang dewasa atau menggunakan anak – anak untuk tujuan seksual. Yang disebut anak – anak adalah seseorang yang berada di bawah usia 18 tahun. Seringkali kekerasan seksual dilakukan oleh seseorang yang dikenal dan dipercaya oleh anak. Eksploitasi seksual adalah bentuk lain dari kekerasan seksual terhadap anak – anak, yang terjadi ketika seorang anak diajak berbicara atau dipaksa melakukan tindakan seksual dengan imbalan seperti uang, obat – obatan, makanan atau tempat berteduh. Anak – anak dengan penyakit mental, masalah belajar atau disabilitas fisik dua kali lebih beresiko dilaporkan mengalami kekerasan seksual pada anak daripada teman – teman sebayanya.
Masalah – masalah kesehatan ini juga membuatnya semakin sulit untuk mengidentifikasi masalah kesehatan mental seperti stress pasca trauma yang terkait dengan penganiayaan. Kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi pada komunitas manapun, tetapi faktor seperti kemiskinan, tidak memiliki tempat tinggal, kehilangan dan rasisme bisa meningkatkan resiko mengalami kekerasan seksual pada anak. Para penyintas yang pernah mengalami kekerasan seksual pada masa kanak – kanaknya akan mengalami serangkaian perasaan yang intens dan membuat kewalahan. Walaupun pengalaman individu dan reaksi adalah unik dan tidak sama, ada beberapa respon terhadap kekerasan seksual anak yang umum terjadi pada banyak penyintas atau mantan korban kekerasan seksual di masa kecilnya.
Banyak efek psikologis dari kekerasan seksual pada anak terlihat pada anak di usia berapapun, karena tidak ada seorang anakpun yang disiapkan secara psikologis untuk menghadapi stimulasi secara seksual. Bahkan seorang anak yang tidak mengetahui bagaimana salahnya aktivitas seksual tersebut bisa mengalami masalah yang timbul dari ketidak mampuan mengatasi kekerasan seksual pada anak. Ketika anak bertambah dewasa, efek kekerasan seksual pada anak mungkin akan semakin jelas. Kebanyakan penyiksanya dikenal oleh para korban dan sang anak seringkali terjebak diantara kesetiaan mereka pada penyiksanya dan perasaan bahwa apa yang terjadi adalah salah. Menceritakannya kepada seseorang menjadi sesuatu yang menakutkan karena sang anak takut akan membuat mereka berada dalam kesulitan, dipermalukan atau dihakimi, kehilangan kasih sayang, mengalami kekerasan lagi karena ancaman penyiksanya, dan perpecahan keluarga. Beberapa efek kekerasan seksual pada anak yang bisa terjadi adalah:
1. Gangguan pola makan
Para penyintas kekerasan seksual dapat terpengaruh dalam berbagai cara termasuk kepada persepsi diri mereka terhadap tubuhnya sendiri. Hal ini akan mempengaruhi pengendalian diri dan kebiasaan makan. Sebagian mungkin akan menggunakan makan sebagai sarana pelampiasan untuk mengatasi traumanya, untuk kembali merasa memegang kendali atas kehidupannya sendiri, dan mengimbangi perasaan serta emosi yang membuat kewalahan. Hal ini dapat menimbulkan ciri – ciri anoreksia, tanda – tanda anoreksia atau penyakit bulimia. Tiga macam gangguan pola makan yang bisa terjadi yaitu anoreksia nervosa, bulimia nervosa dan binge eating yang dapat merusak tubuh dalam jangka panjang.
2. Rasa malu dan bersalah
Para penyintas kemungkinan akan mengalami efek kekerasan seksual pada anak dengan merasa bersalah atau malu karena mereka tidak membuat langkah atau usaha langsung untuk menghentikan penyiksaan tersebut. Rasa bersalah juga bisa timbul karena pada saat itu mereka mengalami ke senangan fisik walaupun dipaksa untuk melakukannya. Ketahui juga mengenai konsep seksualitas dalam kajian psikologi, cara mengatasi kecanduan seksual dan tanda wanita memiliki gangguan seksual.
3. Gangguan atau kelainan tidur
Para penyintas mungkin mengalami kesulitan tidur sebagai efek kekerasan seksual pada anak karena mengalami trauma. Mereka juga mungkin mengalami kegelisahan atau kecemasan karena terus mengingat pengalaman di masa kecilnya, sebab anak – anak bisa mengalami kekerasan di tempat tidurnya sendiri. Ada pula resiko gangguan perilaku seksual pada remaja yang pernah mengalami kekerasan seksual sebelumnya.
4. Krisis kepercayaan
Banyak penyintas dikhianati oleh orang dewasa yang paling mereka percaya yang menjadi tempat mereka bergantung seperti keluarga, guru dan lain sebagainya, orang yang seharusnya peduli kepada mereka, yang bersikeras menyayangi mereka namun melakukan penganiayaan. Belajar untuk mempercayai orang lain bisa sangat sulit dengan situasi demikian, karena itu adalah efek kekerasan seksual pada anak yang membuatnya sulit mempercayai orang lain lagi. Sekitar 93% persen korban dibawah usia 18 tahun mengenal siapa penganiaya mereka.
5. Mengalami situasi yang mirip
Banyak penyintas yang sudah memasuki usia dewasa menemukan diri mereka berada di situasi yang menyiksa dan merupakan situasi berbahaya dari suatu hubungan. Wanita yang mengalami kekerasan seksual sebelum usia 18 dilaporkan memiliki resiko dua kali lebih besar mengalami kekerasan sebagai orang dewasa. Ketahui juga mengenai gangguan seksual dalam psikologi abnormal.
6. Pengulangan memori
Banyak penyintas yang mengalami efek kekerasan seksual pada anak berupa trauma karena kenangan akan peristiwa tersebut yang kerap muncul. Biasanya kenangan tersebut muncul secara visual berupa kilasan – kilasan peristiwa yang seringkali terpicu dari suatu event, tindakan, atau bahkan dari aroma yang mengingatkan kepada peristiwa itu.
7. Disosiasi
Disosiasi adalah pelepasan dari realitas yang dijalani para korban, dan bisa membuat penderitanya menjadi sulit berfungsi dalam dunia nyata. Para penyintas kerap mengalami proses dimana pikiran memberi jarak tersendiri pada pengalaman buruk karena terlalu banyak hal yang harus diproses dalam waktu bersamaan. Kehilangan koneksi dengan pikiran, ingatan, perasaan, tindakan atau kesadaran akan identitas diri adalah mekanisme cara mengatasi efek kekerasan seksual pada anak dan mungkin akan mempengaruhi aspek – aspek dari fungsi diri seorang korban.
8. Trauma seksual
Satu lagi efek kekerasan seksual pada anak yang bisa terjadi adalah bahwa para korban harus menerima kenyataan bahwa pengalaman seksual pertama mereka adalah karena kekerasan. Ingatan lama mungkin akan mempengaruhi kemampuan si penyintas untuk melakukan aktivitas seksual atau hubungan seksual, yang bisa membawa perasaan frustrasi, ketakutan atau merasa dipermalukan.
9. Depresi
Perilaku menyalahkan diri sendiri merupakan salah satu efek kekerasan seksual pada anak yang bisa berlangsung dalam jangka pendek dan jangka panjang yang paling umum, sebagai keterampilan yang datang secara naluri untuk mengatasi masalah. Korban merasa bahwa seharusnya mereka bisa melakukan tindakan yang berbeda untuk menghindarkan kejadian tersebut, merasa ada sesuatu yang salah dalam dirinya sehingga layak untuk menjadi korban. Depresi erat terkait dengan menyalahkan diri sendiri sehingga menjadi isu kesehatan mental yang serius dan tidak mudah disembuhkan. Bahkan bisa berkembang menjadi kurang empati, tidak memiliki motivasi untuk mencari bantuan, mengisolasi diri, merasa marah, agresif, dan upaya melukai diri sendiri atau upaya bunuh diri.
10. Sindrom trauma perkosaan
Rape trauma syndrome (RTS) merupakan bentuk turunan dari post traumatic stress disorder (PTSD), yaitu kondisi yang mempengaruhi korban perempuan muda dan dewasa. Karena kekerasan seksual dipandang para wanita sebagai sesuatu yang mengancam nyawa, juga ketakutan akan kehilangan nyawa ketika diserang secara seksual sehingga setelahnya mengalami syok berupa kedinginan, pingsan, disorientasi, muntah, gemetaran. Setelah kejadian para korban umum mengalami insomnia, kilas balik, mual muntah, mudah kaget, sakit kepala, agitasi dan agresi, mengisolasi diri, mengalami mimpi buruk. Juga peningkatan rasa takut dan cemas, gejala disosiatif dan mati rasa. Korban juga bisa mengalami efek kekerasan seksual pada anak secara fisik seperti nyeri perut dan punggung bawah, iritasi tenggorokan, masalah menstruasi dan kandungan lainnya, menderita penyakit kelamin menular, bahkan kehamilan yang tidak diinginkan. Mereka juga bisa bersikap menolak kenyataan dengan menganggap peristiwa itu tidak pernah terjadi, takut akan aktivitas seksual, hingga kehilangan minat terhadap kegiatan seksual sama sekali.
11. Hypoactive seksual desire disorder (IDD/HSDD)
Ini adalah efek kekerasan seksual pada anak berupa kondisi medis yang berarti rendahnya hasrat seksual, juga umum disebut sebagai apatisme atau keengganan seksual. Kondisi ini bisa menjadi kondisi utama atau sekunder dan memberikan perbedaan yang besar dalam rencana pengobatan. Kondisi utama atau primer terjadi jika seseorang tidak pernah mengalami hasrat seksual dan tidak atau jarang terlibat dalam hubungan seksual, tidak pernah memulai atau merespon rangsangan secara seksual. Kondisi sekunder terjadi jika penyintas pada awalnya memiliki hasrat seksual yang normal namun menjadi tidak tertarik sama sekali karena pengalaman pernah dianiaya tersebut. Sebabnya, hubungan seksual akan menjadi pemicu yang mengingatkan mereka akan peristiwa itu.
12. Penyalahgunaan obat – obatan dan alkohol
Salah satu efek kekerasan seksual pada anak adalah resiko penyalahgunaan obat – obatan yang merupakan coping mechanism atau cara mengatasi trauma dengan cara yang salah. Alkohol dan obat – obatan dapat memberikan perasaan nyaman yang membuat para penyintas dapat melupakan sejenak mengenai trauma mereka, sehingga mereka merasa baik – baik saja tanpa stres dan tekanan batin yang dialaminya selama itu.
13. Merasa kotor dan tidak berharga
Korban atau penyintas anak – anak kerap menyatakan bahwa dirinya kotor atau ada sesuatu yang salah di bagian alat kelamin mereka. Kekerasan seksual terhadap anak dapat membuat korbannya merasa diri tidak lagi berguna, tubuhnya kotor dan rusak, bahkan takut bahwa ada yang salah dalam dirinya sehingga menjadi korban dari penganiayaan seksual tersebut. Mereka juga dapat merasa takut terhadap sentuhan dan sulit diajak bekerja sama dalam pemeriksaan fisik.
14. Menjadi pelaku
Efek kekerasan seksual pada anak yang tidak kalah menyeramkan adalah bahwa mereka bisa saja berubah dari seorang korban dan penyintas menjadi seorang pelaku kekerasan seksual pada anak lainnya. Tidak sedikit berita – berita yang mencantumkan bahwa seorang pelaku kekerasan seksual ternyata merupakan korban kekerasan yang sama di masa kecilnya. Sekita 35 % pelaku kekerasan seksual pada anak pernah mengalami penyiksaan yang sama di masa lalunya, dan jumlahnya lebih tinggi pada pria. Hal ini sangat mungkin terjadi jika korban tidak mendapatkan penanganan ahli dan bantuan yang tepat seperti konseling untuk menghindari pola penyiksaan tersebut.
Penelitian telah menunjukkan berulang kali bahwa efek kekerasan seksual pada anak bisa membawa dampak yang serius pada kesehatan mental dan fisik, sebagaimana penyesuaian seksual para korban nantinya. Tergantung kepada tingkat keparahan dan jumlah trauma yang dialami, kekerasan seksual pada anak bisa membawa efek yang luas dan dalam jangka waktu yang lama. Jika anak tidak mendapatkan konseling yang efektif, mereka bisa mengalami kesulitan jauh di masa depannya nanti. Peristiwa kekerasan itu diibaratkan seperti bumerang, yang jika tidak ditangani dengan baik maka akan berbalik menyerang korban kembali. Itulah sebabnya anak – anak yang mendapatkan dukungan dan pengertian dari penanggung jawab mereka sebagaimana perawatan yang efektif akan bisa pulih tanpa adanya efek jangka panjang dengan cara mengatasi trauma akibat pelecehan seksual yang tepat.
Fobia merupakan ketakutan yang dialami oleh manusia namun sudah dalam tahap sulit untuk dikendalikan dan…
Menikmati pemandangan alam dan menikmati udara yang menyejukan menjadi salah satu yang bisa kita rasakan…
Ada berbagai jenis dan juga tipe dari phobia atau rasa cemas, dan ketakutan berlebihan. Faktanya…
Berbicara mengenai fobia ataupun mengatasi rasa takut yang dialami oleh seseorang ada banyak sekali jenis…
Istilah Somniphobia atau dikenal dengan nama hypnophobia merupakan rasa takut yang berlebih saat seseorang jauh…
Berbicara mengenai fobia, ada beberap jenis fobia yang dikenal ditengah masyarakat. Misalnya fobia ketinggian, fobia…