Pandangan yang menganggap bahwa orang tua perlu memberikan punishment atau hukuman fisik kepada anak masih terjadi hingga di era modern sekarang. Pasalnya, pemberian hukuman fisik dirasa jauh lebih efektif untuk memberikan efek jera pada kebengalan anak yang tidak mematuhi orang tua.
Pada umumnya, orang tua yang menerapkan bentuk konsekuensi aturan keluarga secara fisik ini biasanya berkaitan dengan latar belakang orang tua yang semasa kecilnya juga mendapatkan perlakuan yang sama. Karena dianggap berhasil, orang tua merasa layak untuk mencobanya pada penerapan pola asuh anak untuk membangun kedisiplinan anak.
Padahal, karakter yang berbeda, dengan perkembangan zaman yang juga mempengaruhinya, seharusnya bisa memberikan pemahaman orang tua tentang opsi lain, yang berkenaan dengan reward dan punishment dalam psikologi pendidikan yang aman bagi perkembangan sosiopsikologis anak.
Menurut American Academy of Pediatrics, hukuman fisik dapat meningkatkan sikap agresi pada anak di lingkungan sekolah. Konvensi PBB tentang Hak Anak juga telah menetapkan bahwa anak-anak dan remaja berhak atas perlindungan dari segala bentuk hukuman fisik. Selain itu, penelitian WHO pada situs resminya juga memaparkan berbagai dampak buruk akibat hukuman fisik pada anak yang bisa berjangka panjang sehingga disarankan untuk tidak dilakukan oleh para orang tua.
Kebanyakan masyarakat konservatif merasa bahwa didikan orang tua yang efektif adalah menggunakan hukuman berupa kekerasan fisik. Sebenarnya, hukuman fisik tidak selalu menjadi kunci kedisiplinan anak, meski beberapa memang terbukti mewujudkan anak yang patuh dengan cara didikan keras.
Hukuman fisik hanya menjadi peringatan keras dan bisa memicu berbagai faktor. Apabila maksud orang tua menghukum fisik anak untuk mendidik supaya anak bisa mengontrol diri, maka yang muncul adalah pemahaman bahwa anak sedang dikontrol oleh orang tua. Dalam jangka panjangnya, apabila stimulus kekerasan fisik tidak muncul, maka anak merasa tidak perlu mengontrol dirinya. Cara ini menjadi sangat tidak efektif.
Sejalan dengan penelitian para ahli, hukuman fisik pada anak justru akan menimbulkan munculnya jenis-jenis agresivitas yang merangsang tindakan buruk lainnya.
Banyak beredar kasus kekerasan fisik terhadap anak yang sangat merugikan anak secara fisiologis tubuh. Ketika orang tua tega melakukan kekerasan fisik, image yang terbangun di kepala anak adalah orang tuanya sangat menyeramkan. Apakah image seperti ini yang diharapkan oleh orang tua?
Apabila orang tua memandang anak sebagai anugrah, tidak mungkin sampai tega melihat tubuh anaknya mengalami luka hingga tak jarang mengalami kecacatan fisik. Semakin terluka, semakin terkendala melakukan aktivitas, maka orang tua mungkin semakin abuse pada anaknya.
Respon psikis anak sebagai dampak hukuman fisik bisa bermacam-maca rupa, salah satunya dengan menjadi anak yang sangat agresif. Melalui hukuman fisik yang anak terima, maka anak secara otomatis belajar untuk defense atau melindungi dirinya dengan cara melawan balik orang tua.
Sebab-akibat yang ditimbulkan ini tentu sangat tidak sehat, apalagi orang tua tidak mau menurunkan egonya.
Tidak menutup kemungkinan dampak anak yang mengalami hukuman fisik akan meniru kebiasaan tersebut untuk dicoba kepada orang lain. Karena menjadi suatu kebiasaan, akhirnya mindset anak mengatakan bahwa anak diperbolehkan melakukan kekerasan fisik apabila terdapat hal yang tidak sesuai dengan pola pikirnya.
Kebiasaan ini bisa berujung pada kekerasan fisik pada teman, pasangan, keluarga, dan parahnya bisa berakibat pada tindakan kriminal yang diwajarkan oleh si anak.
Karena terjadi suasana yang panas dan diliputi dengan tekanan mental yang bercampur aduk di kepala anak, maka dampak yang jelas akan terjadi adalah hubungan anak dan orang tua menjadi tidak harmonis.
Anak akan cenderung menganggap kehadiran orang tua tidak semulia yang digambarkan pada keluarga-keluarga lain. Secara otomatis, rasa hormat pada orang tua menjadi hilang.
Semua yang berhubungan dengan kekerasan pasti akan meninggalkan bekas trauma yang mendalam pada penerimanya. Trauma tersebut bisa mengganggu aktivitas sehari-hari dengan munculnya tekanan dan proses terjadinya depresi yang mempengaruhi jalan pikiran yang seharusnya berjalan dengan baik-baik saja.
Gangguan emosional yang dialami sejak usia anak biasanya akan menjadi momok yang terbawa hingga di jenjang usia yang semakin dewasa. Kita sebagai orang tua tentu tidak ingin anak kita tumbuh menjadi individu yang memiliki luka batin yang tidak dapat disembuhkan. Tetapi, faktanya memberikan hukuman fisik membawa dampak psikologis yang berat pada kebanyakan anak. Proses penyembuhan dirinya membutuhkan waktu dan bantuan dari para ahli.
Dampak psikologis ini dibarengi dengan perasaan hilangnya harga diri, merendahkan diri, merasa tidak berdaya, sehingga berpengaruh terhadap keseluruhan pola pikir anak.
Selain membuat anak belajar melawan orang tua dengan kekerasan pula, hukuman fisik bisa memicu perilaku yang justru merusak dirinya sendiri, dengan cara menyakiti tubuhnya sendiri dengan benda-benda tajam. Perilaku ini biasanya dilakukan karena anak merasa harus melepaskan lukanya, tetapi anak tidak tahu harus melakukan apa untuk me-release rasa sakit tersebut.
Dampak hukuman fisik yang membuat anak melakukan self-injury (seperti, memukul kepala dengan benda) dianggap menjadi salah satu pelepas stress akibat tekanan yang dirasakan, yang diharapkan dapat mengurangi beban perasaan dan pikirannya. Buruknya, dampak ini bisa berlanjut hingga ke tingkat keinginan bunuh diri ketika anak mulai beranjak remaja dan mengenal istilah bunuh diri. Ciri-ciri orang ingin melakukan bunuh diri bisa terlihat, tetapi apakah semua orang tua sudah cukup peka terhadap perasaan anak?
Anak memandang dengan cara-cara yang bisa dijangkaunya sehingga pada akhirnya terpaksa melakukan hal-hal yang destruktif atau merusak.
Dampak perasaan takut dan cemas yang ditimbulkan dari hukuman fisik biasanya akan diproses di dalam pikiran. Anak yang tertekan akan memikirkan cara yang paling aman supaya tidak sering mendapatkan perlakuan kasar dari orang tua, salah satunya dengan berlatih berbohong.
Berbohong menjadi cara bertahan hidup anak untuk menghindari kesalahan yang memicu hukuman fisik. Selain itu, anak tidak mungkin bisa secara bebas dan leluasa terbuka tentang apa saja yang dialaminya kepada orang tua.
Dampak berikutnya berkaitan dengan aspek-aspek yang disebutkan di dalam tulisan ini, yakni timbulnya pemberontakan terhadap nilai-nilai moral yang dianggap tidak berguna sekalipun diterapkan.
Perilaku menurunnya internalisasi moral di dalam diri anak disebabkan karena hukuman fisik yang dilakukan orang tua tentu dianggap sebagai pelanggaran dari moral yang seharusnya diberlakukan di lingkup keluarga.
Psychology Today menyebutkan bahwa hukuman fisik pada anak berdampak pada kerusakan pada bagian otak yang dapat mengganggu perkembangan berpikir anak. Kerusakan otak ini bisa memicu penurunan IQ pula, yang berhubungan pula dengan kemampuan belajar dan akademik di sekolah. Melalui pemaparan ini, maka jelas bahwa hukuman fisik tidak sepenuhnya dapat dibenarkan untuk dilakukan para orang tua.
Mungkin, orang tua merasa bahwa tindakan hukuman tersebut dapat bekerja efektif agar anak mau bergerak untuk menunjukkan perubahan signifikan yang bisa membanggakan orang tuanya. Tetapi, apakah orang tua sadar bahwa tindakan tersebut justru menghilangkan minat anak sehingga merusak potensi yang seharusnya bisa dikembangkan lebih besar?
Dampak hukuman fisik terburuk adalah merangsang keinginan anak untuk melampaui batas kewajaran dengan cara masuk ke dalam pergaulan bebas dan tidak bertanggung jawab ketika beranjak remaja dan dewasa. Perbuatan ini diasumsikan sebagai cara anak untuk mendapatkan perhatian dari orang secara tidak langsung.
Maksudnya, ini menjadi peringatan bagi orang tua bahwa dampak dari tindakan orang tua yang menyakiti perasaan anak bisa berpengaruh besar terhadap perkembangan psikologis anak. Anak merasa orang tua mesti bertanggung jawab, sekaligus satu-satunya lingkaran pertemanan yang membuatnya melupakan tekanan mental di dalam diri anak.
Pertemuan dengan zat-zat adiktif, obat-obatan, gaya hidup liar dan melanggar norma, tawuran, dan perilaku kurang sehat lainnya menjadi pelarian anak dari pola asuh orang tua yang dianggap tidak manusiawi.
Dari semua dampak yang telah disebutkan, semuanya mengarah pada satu titik rendah di dalam diri anak yang mengalami hukuman fisik, yaitu menurunnya gairah hidup untuk berkembang menjadi manusia berkualitas unggul.
Jika orang tuanya saja memperlakukan anaknya seperti itu, maka tidak ada alasan untuk anak mengembangkan potensi dan kelebihan yang anak miliki. Dampak-dampak buruk yang saling berkaitan tadi menjadi alarm bagi para orang tua bahwa pemberian hukuman secara fisik bisa menjauhkan anak dari karakteristik kesehatan mental yang sehat.
Fobia merupakan ketakutan yang dialami oleh manusia namun sudah dalam tahap sulit untuk dikendalikan dan…
Menikmati pemandangan alam dan menikmati udara yang menyejukan menjadi salah satu yang bisa kita rasakan…
Ada berbagai jenis dan juga tipe dari phobia atau rasa cemas, dan ketakutan berlebihan. Faktanya…
Berbicara mengenai fobia ataupun mengatasi rasa takut yang dialami oleh seseorang ada banyak sekali jenis…
Istilah Somniphobia atau dikenal dengan nama hypnophobia merupakan rasa takut yang berlebih saat seseorang jauh…
Berbicara mengenai fobia, ada beberap jenis fobia yang dikenal ditengah masyarakat. Misalnya fobia ketinggian, fobia…